Dalam whitepaper yang diterbitkan Alvara Research Center bulan Desember 2018 yang bertajuk “Catatan Akhir Tahun 2018: Moving Forward”, kami memprediksikan bahwa ada tiga isu utama yang berpengaruh terhadap pemilu presiden 2019 yaitu populisme berbasis agama, pemilih muda, dan ekonomi.
Pertama, Populisme agama. Isu politik identitas seringkali muncul di sepanjang tahun 2018, terutama identitas keagamaan. Berawal dari Pilkada DKI Jakarta dan aksi 212 menjadi salah satu bukti menguatnya kembali isu tersebut. Desakan politisasi agama tidak lepas dari infiltrasi kelompok yang menuntut implementasi politik berbasis agama. Riset Alvara Research Center, Oktober, tahun 2018 menemukan sebanyak 15,5% masyarakat di Indonesia menyatakan setuju dengan penerapan ideologi Islam. Sedangkan, 14,5% masyarakat mendukung penerapan khilafah di Indonesia. Ceruk pemilih yang membawa isu agama mengambil bagian penting dalam Pemilu 2019, termasuk mencari dukungan politik kepada kontestan pemilu 2019.
Kedua, pemilih muda. Generasi milenial memiliki posisi penting dalam pemilu 2019. Mereka merupakan ceruk pemilih terbesar pada pemilu 2019. BPS mencatat, jumlah pemilih berusia 20-38 tahun mencapai 48%. Kepulauan dengan sebaran pemilih milenial paling banyak berada di Pulau Jawa, sebanyak 47 juta jiwa dan Sumatera sebesar 18,5 juta jiwa. Jika dilihat lebih dalam, provinsi dengan jumlah milenial terbesar adalah Jawa Barat 15,7 juta jiwa, Jawa Timur 11,8 juta jiwa, dan Jawa Tengah 10,2 juta jiwa.
Ketiga, isu ekonomi. Persoalan ekonomi dan ketenagakerjaan masih menjadi permasalahan utama yang dialami oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. Survei Alvara Reseach Center pada bulan Oktober dan Desember 2018 menemukan bahwa kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah paling rendah adalah pada aspek ekonomi nasional, peningkatan ekonomi keluarga, kesejahteraan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, stabilitas harga kebutuhan pokok.
Ketiga isu ini kemudian tercermin dalam komposisi kedua pasang kandidat pasangan capres-cawapres yang berkontestasi dalam pilpres 2019. Posisi KH Ma‘ruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo memiliki peran sentral dalam meredam isu populisme berbasis agama yang sering dilontarkan oleh kubu pendukung Prabowo. Posisi Sandiaga Uno sebagai Cawapres Prabowo Subianto juga menjadi penting karena Sandiaga Uno relatif lebih diterima anak muda dan berlatar belakang pengusaha.
Pemilu Presiden 2019, tanggal 17 April 2019 telah berhasil dilaksanakan aman dan damai, dan menurut berbagai lembaga survei yang melakukan quick count menunjukkan keunggulan Joko Widodo – Ma’ruf Amin berkisar di 54-55%.
Berbekal data quick count dan exit poll dari berbagai lembaga survei, kami melakukan analisis bagaimana pengaruh tiga isu tersebut dalam pilpres 2019. Data exit poll yang dilakukan oleh Indikator Politik yang menunjukkan bahwa dikelompok pemilih muda terjadi pertarungan yang ketat antara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandi. Hal ini konsisten dengan survei yang dilakuka oleh Alvara Research Center selama 4 bulan terakhir yang menunjukkan keunggulan Joko Widodo – Ma’ruf Amin semakin tinggi di kelompok pemilih usia dewasa dan tua.
Bagaimana dengan isu ekonomi dan populisme agama?. Untuk menjawab pertanyaan ini kami menggunakan data sebagai berikut. Untuk data hasil pilpres 2019 setiap provinsi, kami menggunakan hasil quick count SMRC. Sedangkan ntuk data ekonomi kami menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Terkait data ekonomi kami menggunakan 3 indikator yaitu: gini ratio, rasio kesenjangan ekonomi, persentase penduduk miskin, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Dalam scatter plot antara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan Gini Ratio terlihat bahwa tidak ada korelasi yang kuat antara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dengan Gini Ratio, secara statistik korelasinya memang kecil, hanya sebesar 0.18. dan ketika dianalisis menggunakan regresi linear sederhana, ditemukan nilai R2 nya sangat kecil, hanya 0.025.
Hal yang sama juga terlihat dalam scatter plotantara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan jumlah persentasi penduduk miskin, secara statistik korelasinya diantara keduanya hanya sebesar 0.22. dan ketika dibuat regresi linear sederhana, ternyata nilai R2 nya juga sangat kecil, hanya 0.018.
Bagaimana dengan dengan indikator IPM?. Nilai korelasi antara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga hanya sebesar -0.19. dan ketika dibuat regresi linear sederhana, ternyata nilai R2 nya pun hanya 0.030.
Untuk menganalisis isu populisme berbasis agama kami menggunakan pendekatan dengan data persentase jumlah penduduk muslim disetiap provinsi.
Dalam scatter plot antara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan persentase jumlah penduduk muslim terlihat ada korelasi yang cukup kuat antara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dengan persentase penduduk muslim, secara statistik korelasinya sebesar -0.69. dan ketika dibuat regresi linear sederhana, ternyata nilai R2 nya cukup tinggi, 0.47, jauh lebih tinggi dibanding tiga indikator ekonomi sebelumnya.
Dalam scatter plot antara perolehan suara Joko Widodo – Jusuf Kalla tahun 2014 dan persentase penduduk muslim, korelasi antara perolehan suara Joko Widodo – Ma’ruf Amin dengan persentase penduduk muslim, secara statistik korelasinya sebesar -0.37. dan ketika dibuat regresi linear sederhana, ternyata nilai R2 nya juga cukup tinggi, 0.36.
Dari dua scatter plot 2014 dan 2019 ada benang merah yang bisa kita pelajari bahwa agama memiliki peran penting seorang kandidat terpilih menjadi presiden. Semakin besar persentase penduduk muslim semakin kecil yang memilih Joko Widodo, sebaliknya semakin kecil persentase penduduk muslim semakin besar angka kemenangan Joko Widodo.
Namun bila kita bandingkan tingkat korelasi dan dan juga R2 ternyata tahun 2019 lebih besar dibandingkan dengan tahun 2014, artinya pada pilpres 2019 ini faktor agama menjadi semakin penting bagi keterpilihan seorang kandidat menjadi pemenang pilpres.
Akhirnya kesimpulan besar dari analisis yang kami lakukan diatas menunjukkan bahwa pada pilpres 2019ini populisme agama menjadi isu paling siginifikan dibanding isu ekonomi. Politik identitas semakin menguat dan menjadi referensi pemilih ketika menentukan pilihan. Joko Widodo – Ma’ruf Amin diselamatkan oleh perolehan suara yang sangat signifikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kedua provinsi ini adalah basis kalangan nasionalis dan nahdliyin.
Selain itu, hasil Pilpres ini ini secara umum juga menunjukkan adanya tiga temuan menarik. Pertama, keunggulan Prabowo semakin tebal di provinsi-provinsi yang 2014 menang seperti Aceh dan Sumbar. Kedua, keunggulan Jokowi juga semakin tebal di provinsi-provinsi yang 2014 menang, seperti Bali, NTT, dan Papua. Ketiga, jumlah provinsi yang dimenangkan Prabowo lebih banyak dibanding 2014. Ini mengindikasikan bahwa secara politik Indonesia mulai terbelah secara signifikan.
Selesainya pemilu 2019 bukan berarti selesai pula pertarungan politik berbasis ideologi antara nasionalis dan islamis. Jalan terjal ke depan masih harus kita lalui, inilah salah satu pekerjaan rumah penting yang harus dituntaskan oleh pemerintah Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Sungguh, ini tantangan yang tidak mudah.