Unity in Diversity: Seberkas Catatan Moral dari Video Blog Nas Daily

Unity in Diversity: Seberkas Catatan Moral dari Video Blog Nas Daily

Video Blogger Nas Daily merupakan satu dari sekian produk budaya populer yang cukup efektif mempengaruhi cara pandang khalayak terhadap sesuatu. Ia mengingatkan kita terhadap satu hal yang sering luput dari kehidupan keagamaan masyarakat modern, yaitu keinginan untuk hidup harmonis dalam keberagaman.

Unity in Diversity: Seberkas Catatan Moral dari Video Blog Nas Daily

Beberapa waktu lalu, Nas Daily muncul di Close the Door Podcast Deddy Corbuzier. Kedatangannya sekaligus mengklarifikasi beberapa tuduhan negatif yang seringkali dilontarkan warganet kepadanya, utamanya ketika ia membuat konten tentang Pulau Bali baru-baru ini dengan tajuk “Whitest Island in Asia?”. Netizen meminta Nas Daily menggali lebih dalam sebuah destinasi daripada hanya mendeskripsikan warna kulit.

“Jikapun Nas ingin membincang Bali, ia tidak perlu mempromosikan gentrifikasi.” ujar seorang netizen.

Selayang pandang, Nas Daily merupakan nama yang dipakai oleh Nuseir Yassin untuk memulai karirnya sebagai video blogger (Vlogger) dengan memproduksi 1000 video satu menit setiap hari. Yassin mengawali karier di industri kreatif setelah mundur dari pekerjaannya sebagai software developer di Venmo pada 2016.

Sejak saat itu, ia aktif membuat konten video yang mengabadikan pengalaman berkelana ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia mengunggah video tersebut melalui berbagai media sosial, termasuk YouTube, Facebook, hingga Instagram.

Salah satu konten yang melambungkan namanya adalah saat ia membuat video berdurasi satu menit setiap hari selama seribu hari. Konten tersebut mulai dirilis sejak 2016 dan ditutup dengan video ke-1.000 pada 5 Januari 2019.

Faktanya, Nas pernah ditolak masuk ke Indonesia pada 2018. Pelarangan itu diduga karena identitas paspornya sebagai warga negara Israel. Pada saat yang sama, Indonesia memang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan sangat menaruh perhatian pada rakyat Palestina yang terus menerus mendapatkan tekanan.

Alasan itu memang sudah diklarifikasi oleh pihak imigrasi Indonesia. Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi mengatakan bahwa tidak ada penolakan visa gara-gara agama, suku, tinggi badan. Semua penolakan visa bergantung pada ketentuan dan regulasi negara yang hendak didatangi.

Namun, alasan kewarganegaraan Israel yang melekat pada Yassin terus menerus menjadi perbincangan, terutama oleh netizen Indonesia. Perbincangan itu rupanya cukup meresahkannya, sehingga ia akhirnya menegaskan dalam Podcast bahwa ia adalah Muslim Palestina yang kebetulan tinggal di Israel.

Nuseir Yassin lahir di Israel dari orang tua Muslim. Orang Israel lebih suka menganggapnya sebagai orang Arab-Israel, tetapi dia mendefinisikan dirinya sendiri sebagai Palestina-Israel.

Untuk berkeliling dunia, ia menggunakan paspor Israel, oleh karena itu ia banyak dicekal oleh negara-negara dunia, bahkan Kuwait Airlines pada 2017 tidak mengizinkannya menggunakan maskapai penerbangannya dengan alasan ia memegang paspor Israel. Hal ini karena Kuwait tidak mengakui Israel dan mengeluarkan larangan untuk berbisnis dengan Israel.

Terlepas dari berbagai kontroversi itu, Nas Daily tampak membawa pesan-pesan khusus melalui video-videonya itu. Salah satu pesan itu adalah pentingnya bersikap terbuka agar tidak mudah menghakimi.

Sebagai seorang vlogger, ia adalah seorang turis yang ingin menyampaikan bahwa seluruh dunia harus bersatu meski berbeda identitas. Pesan ini terekam dalam dua video Nas Daily berjudul How This Country Fix the Religion dan How Steve Harvey Prays.

Jika diakumulasi, dua video itu menyimpulkan satu pesan utama, yaitu ketidaksepakatan Nas terhadap klaim “agamaku lebih baik dari agamamu”.

Ia menjelaskan bahwa klaim itu tidak lahir dari pemikiran satu orang saja, melainkan banyak orang. Menurutnya, itulah yang membuat kekacauan di muka bumi hingga saat ini masih belum selesai.

Sampai sini, pernyataan Nas memang cenderung kontroversial. Ia seakan menuduh bahwa agama merupakan sumber kekacauan di muka bumi. Namun, ia melanjutkan bahwa poin utamanya terletak bahwa klaim kebenaran itu tidak seharusnya mengubah pribadi seseorang menjadi eksklusif. Ia menekankan pada kehidupan antar pemeluk agama yang harmonis.

Nas memberikan contoh negara yang berhasil mengontrol klaim kebenaran tersebut. Negara itu adalah Uni Emirat Arab. Di negara ini, setiap agama memiliki tempat ibadah yang megah. Ada 45 gereja, banyak masjid, Gurdwara yang megah untuk pemeluk Sikh, Kuil untuk penganut Mormon, dan sinagog untuk orang Yahudi. Terdapat sebuah masjid bernama “Masjid Maria Bunda Yesus” yang, menurut Nas, semakin menguatkan semangat toleransi di UEA.

Dalam video kedua, Nas bercerita tentang seorang komedian sukses, pembawa acara tv, entertainer asal Amerika Serikat yang juga sangat relijius bernama Steve Harvey.

Dalam video, Nas Daily menggarisbawahi sebuah statement  bahwa “sering kali orang yang religius menganggap agamanya benar dan orang lain salah, dan hanya ada satu jalan menuju Tuhan”.

Ia sebenarnya tidak mempermasalahkan doktrin klaim kebenaran itu secara mutlak, ia hanya khawatir soal dampak sosial yang muncul ketika seseorang sudah lantang menyalah-nyalahkan orang lain.

Dalam hemat saya, yang tidak benar-benar hemat ini, pernyataan “agama saya yang paling benar” sah-sah saja diucapkan oleh siapa pun. Sebagai Muslim, kita justru harus tegas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Namun, cukupkan sampai situ saja. Tidak perlu ada klaim lanjutan “dan yang lain adalah salah”. Karena klaim kedua ini yang justru menjadi trigger adanya konflik sosial di muka bumi.

Kecenderungan untuk terlalu melihat kesalahan pihak lain menjadikan kita berambisi untuk “meluruskannya”, alih-alih berusaha menjadi Muslim yang baik. Akibatnya, seseorang akan berusaha “memperbaiki” apa yang salah pada orang lain dengan segala hal yang ia bisa. Di titik inilah, seorang Muslim sering terpeleset karena cara yang ia pakai justru sangat jauh dari nilai-nilai agama yang diyakininya.

Nas Daily memang bukanlah Muslim yang taat. Ia mengakuinya sendiri dalam videonya yang berjudul “Am I A Bad Muslim”.

Video itu berisi respon atas komentar audiens Muslim tentang dirinya sebagai seorang Muslim yang buruk. Ia, misalnya, dilabeli sebagai Muslim yang buruk ketika menunjukkan alkohol dalam video, atau ketika memberi informasi tentang ibukota gay dunia yang ada di San Fransisco.

Intinya, dia bercerita bahwa dia bukan orang yang relijius, sembari menegaskan bahwa ia tidak serta merta melupakan identitasnya sebagai Muslim.

“Saya tidak memaksa orang untuk percaya pada keyakinan saya, saya tidak meminta kebebasan. Agama yang baik adalah orang yang menjaga agamanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk diperlihatkan kepada orang lain”. Pernyataan ini berelasi dengan bahasan sebelumnya tentang kecenderungan seorang Muslim untuk menghakimi orang lain sebelum berkaca pada dirinya sendiri.

Video-video Nas Daily memang terkesan tidak beraturan dari segi topik. Ia random saja mengulas sebuah isu yang ia anggap menarik kemudian diunggah di platform sosial medianya.

Tetapi, justru ketidakaturan itulah pesannya. Ia berusaha menampilkan keragaman yang ada di muka bumi sebebas mungkin tanpa filter.

Di luar konten-kontennya yang informatif, ia mengajak audiens untuk merenungi betapa dunia merupakan etalase besar yang menyimpan keragaman dan keunikan. Ia seringkali memantik audiens untuk mempertanyakan sebuah fenomena, yang akhirnya ia jawab sendiri lewat ulasan videonya, sekadar untuk mengajak berpikir kritis.

Video Blogger Nas Daily merupakan satu dari sekian produk budaya populer yang efektif mempengaruhi cara pandang khalayak terhadap sesuatu. Tulisan ini tentu bukan dalam rangka mempromosikan Nas Daily atau sedang dalam proyek kerja sama dengannya.

Namun, dalam topik-topik tertentu, agama misalnya, Nas Daily mengingatkan kita akan satu hal yang sering luput dari kehidupan keagamaan masyarakat modern, yaitu keinginan untuk hidup harmonis dalam keberagaman. Nas mengajak kita untuk berpikir seterbuka mungkin, melihat dunia seluas mungkin, memotret realitas seberagam mungkin, sehingga kita tidak menjadi pribadi yang gemar menghakimi orang lain.