Banyak masjid yang harus menutup jalan umum ketika shalat Jumat karena jamaah membludak. Beberapa masjid bahkan membuat atap permanen di atas jalan umum biar tidak repot lagi jika ada jamaah umat Muslim yang harus sampai ke tengah jalan.
Tidak ada keberatan terhadap hal itu, setidaknya keberatan yang terbuka. Para pengguna jalan seolah mentolerir dan bisa menerima kegiatan mingguan umat Muslim.
Sementara umat Muslim bisa bebas dan sepenuh hati beribadah, umat lain tidak semua demikian. Jangankan beribadah sampai memakan jalan umum tersebut, di rumah yang kecil dan sederhana, dengan jumlah jamaah yang seuprit pun mereka kerap merasa tidak tenang dan tidak aman. Salah-salah mereka bisa dipaksa bubar. Kalau ngeyel, yang bersangkutan bisa mengalami kekerasan.
Hal itulah yang terjadi pekan lalu di daerah tangerang. Sebuah jamaah Katolik yang sedang menjalankan ibadah diamuk ‘massa’. Dan, ini bukan kali pertama terjadi. Ia adalah peristiwa yang kerap berulang.
Sungguh menyedihkan sekali. Mereka beribadah, menemui Tuhan yang mereka imani. Sama sekali tak ada kejahatan yang mereka lakukan.
Di titik ini kok rasanya ‘kita’ tidak adil ya. Kita bisa beribadah dengan bebas, bahkan jika harus menutup jalan umum sekalipun.
Kita jadi ‘menangan’, ini istilah yang tidak elok, yang meggambarkan egoisme, ketidaksudian berendah hati, dan merasa selalu benar sendiri.
Padahal, secara kuantitas ‘kita’ umat yang jumlahnya sangat besar. Jadi apa makna ‘kebesaran’ itu? Jika yang tampak adalah ‘kekecilan’ dan ‘kekerdilan’, ‘kekanakan’, dan bukan ‘kedewasaan’.
Sebagai umat yang besar, ‘kita’ semestinya bisa ‘melindungi’, ‘ngemong’ dan ‘menjaga’. Kedewasaan umat Islam yang besar di Indonesia ini terletak di antaranya pada kemampuan ‘ngemong’ tersebut.