“Ada hantu berkeliaran di Eropa –hantu komunisme”. Kalimat itu barangkali adalah sebuah sarkasme seorang filusuf besar Jerman, Karl Marx dalam menertawakan zamannya. Ketika itu, kekuasaan monarki, teokrasi dan borjuasi Eropa pada akhir abad ke-19, begitu ketakutan terhadap gerakan massa kaum buruh yang bangkit dari eksploitasinya. Seolah sarkasme yang ditulis Marx dalam mengawali karya Comunist Manifest-nya tersebut diulangi oleh orang-orang yang tidak pernah sama sekali membaca tulisannya. Mereka adalah sebagian dari umat Islam di negeri kita yang ketakutan hantu itu akan bangkit kembali dari kubur.
Barangkali, kalimat sarkasme Marx di atas jika kita ubah untuk dikontekstualisasikan ke zaman ini (abad 21) di Indonesia menjadi “ada hantu berkeliaran di Indonesia –hantu kebangkitan PKI”. Jika pada zaman Marx masih hidup, hantu itu dikejar-kejar oleh kerajaan, gereja dan borjuasi. Saat ini di Indonesia, hantu itu dikejar oleh sebagian ummat Islam. Mereka menganggap bahwa PKI akan bangkit lagi dan mereka siap menggebuknya.
Isu terkait peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 dan PKI, pada dasarnya bagi sebagian besar penduduk Indonesia masihlah keruh dan tak lekas jernih. Bagi mereka-mereka –penduduk Indonesia yang dibesarkan oleh zaman Orde Baru Suharto, mereka hanya akan tahu bahwa peristiwa itu bahwa PKI adalah partai ateis, pembunuh dewan jenderal dan musuh umat Islam.
Generasi mereka, barangkali yang saat ini termasuk juga orang tua kita, dulu melihat sejarah hanya versi kekuasaan, yaitu melalui referensi film karya Arifin C. Nor dengan judul “Penghianatan G30S/PKI” yang setiap akhir September diwajibkan untuk ditonton. Padahal karya itu banyak adegannya adalah sebuah fiktif dan bukan fakta sejarah.Tidak layak sebagaimana klaimnya bahwa film tersebut adalah film sejarah.
Arifin C. Nor mengadaptasi film tersebut dari versi sejarah yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan yang mempunyai kedekatan dengan rezim orba. Salah satu manipulasi dalam film itu adalah adegan penyiletan dewan jenderal yang dilakukan oleh Gerwani (organisasi wanita yang berafiliasi dengan PKI). Padahal, menurut Benedict Anderson yang merujuk hasil laporan dokter forensik, bahwa jenazah para jenderal tersebut di tembak, bukan di siksa dengan cara disilet sebagaimana adegan di film.
Berdasarkan dengan latar belakang dan pengetahuan sejarah yang manipulatif seperti itulah, umat Islam tanah air memiliki pemahaman atas peristiwa sejarah. Sebagian umat Islam tanah air kita dengan merawat keyakian atas sejarah manipulatif, yang barangkali sekaligus sebuah kebodohan, bahwa kita harus terus mewaspadai kebangkitan PKI yang akan menjadi ancaman bagi umat Islam.
Padahal, perlu diketahui bahwa PKI yang oleh sebagian umat Islam itu dituduh akan bangkit kembali, telah terkubur dalam lubang-lubang pembantaian massal tahun 1965-66. Menurut data sejarawan, ada yang menyebutkan jumlahnya ada 78 ribu orang, ada pula yang menyebutkan ada 500 ribu hingga satu juta orang yang menjadi korban. Perbedaan data itu barangkali hanya perdebatan para sejarawan. Dan mirisnya bahwa pembunuhan massal terhadap simpatisan PKI tersebut bukanlah sebuah hasil keputusan sidang pengadilan sebagaimana seharusnya dilakukan.
Menurut sidang HAM International Tribunal Peoples (IPT) 1965 di Den Hag, Belanda, peristiwa itu adalah salah satu pelanggaran HAM berat yang terjadi di dunia. Dengan demikian, sungguh mirislah jika kita menuduh orang-orang yang pada tahun-tahun 1965-66 itu kita anggap sebagai ancaman untuk umat Islam, ternyata adalah orang-orang yang teraniaya dengan ternggut hak asasinya.
Semua silang sengkurat pemahaman sebagian umat Islam yang masih kekeuh dengan keyakinan bahwa PKI akan bangkit adalah sebuah delusi akibat manipulasi sejarah. Pada saat ini, dengan pemahaman kesejarahan yang manipulatif dan doktriner orde baru tersebut, mereka menjadi kelompok massa yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik.
Mereka hingga saat ini masih sering melakukan sweeping dan melakukan pembubaran diskusi-diskusi akademik di kampus. Saya masih teringat ketika tahun 2014 ketika saya awal kuliah di Jogja melihat rombongan laki-laki bersorban dan berperawakan besar-besar menyerbu kampus saya yang akan melaksanakan nonton film Senyap untuk diskusi akademik.
Entah akan sampai kapan kekeliruan ini akan terus dilanjutkan. Jika mereka tidak menginsyafi kekeliruan sejarah ini, sesungguhnya mereka hanya akan menjadi kelompok reaksioner yang akan siap digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu guna kepentingan politik.
Sesungguhnya, kita sebagai umat Islam yang iman kepada tuhan yang mempunyai sifat welas asih (rahman dan rahim). Memiliki kewajiban untuk menjernihkan sejarah dan membela orang-orang yang pada tahun itu direnggut hak asasinya dan dibantai tanpa ada landasan hukum yang jelas. Wallahua’lam
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute dan dapat disapa melalui akun twitter @m_fakhru_riza