Profesor Yusril Ihza Mahendra, ketua umum Partai Bulan Bintang, membuat pernyataan yang memantik banyak reaksi. Yusril berujar: …kita melihat terjadi keresahan sosial, makin hari makin luas, terutama kelompok Islam tertekan. Ulama dikriminalisasi, bahkan ada yang dianiaya dan sebagainya. Maka solusinya, masih kata Yusril, lebih baik 2019 kita mencari presiden yang baru.
Wacana ganti presiden, terutama di medsos, memang sedang mengemuka belakangan ini. Bisa dimaklumi karena memang 2019 sudah di depan mata. Tak aneh jika para politisi membuat sejumlah manuver. Termasuk manuver Yusril yang mengatasnamakan umat Islam.
Saya kira pernyataan Yusril tersebut adalah lagu lama.
Polanya selalu sama, mudah ditebak. Selalu bawa-bawa “umat Islam”. Seolah ia mewakili “umat Islam” seluruh Indonesia. Padahal, selalu saja tak jelas umat Islam yang mana yang ia maksud. Tapi teknik propaganda macam itu senantiasa digunakan.
Faktanya, umat Islam di Indonesia sebetulnya sedang baik-baik saja. Pemerintah tidak sedang merepresi Islam atau agama apapun. Jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan rezimSoeharto tentu sangat jauh sekali. Lagipula, tentu menjadi blunderbesar bagi Jokowi jika ia menekan umat Islam, agama mayoritas di Indonesia.
Apa pamrih Jokowi menekan Islam? Jokowi tak bodoh, ia tak akan melakukan itu.
Yusril tampaknya masih larut dalam euforia pilkada DKI, ketika sentimen agama mampu mengantarkan Anies-Sandi ke kursi DKI 1 dan 2. Mesti diakui, di Indonesia, agama adalah satu hal yang sedemikian sensitif (Baca: Kenapa sih Umat Islam kok Merasa Tertekan). Seolah tak boleh disenggol apalagi diusik sedikitpun. Lebih-lebih terhadap agama mayoritas, jangan coba-coba dan main-main. Yusril tahu itu dan seakan ingin terus memanfaatkannya.
Masalahnya, meski manuver Yusril itu sah, hal tersebut tak akan mencerdaskan masyarakat. Mestinya, masyarakat diajak untuk jadi pemilih rasional. Kalaupun ingin mewacanakan ganti presiden 2019, harusnya dengan “sarangan-serangan” yang bermutu. Misalnya soal kasus Novel Baswedan yang tak kunjung tuntas, pembangunan pabrik semen di Rembang dan bandara di Kulonprogo dst. Hanya saja isu-isu itu memang tak laku di kalangan masyarakat akar rumput.
Hari ini, lebih mudah menyulut api dengan bahan bakar agama.
Jokowi adalah seorang muslim dan nyaris mustahil ia memusuhi agamanya sendiri. Ia sebetulnya juga dekat dengan ulama. Termasuk sering menyambangi pesantren dan mengundang kiai ke istana. Namun, lawan-lawan politiknya seperti tak pernah lelah membuat propaganda “Jokowi anti Islam” dan bahkan “Jokowi PKI”. Kebohongan itu terus diulang dan seolah menjadi kebenaran. Ndilalah-nya partai asal Jokowi juga bukan partai Islam.
Jika kita jeli melihat, saat ini angin segar sebetulnya sedang berhembus ke arah umat Islam. Belajar dari pilkada DKI, sejumlah partai membuat kemasan Nasionalis-Santri di sejumlah pilgub. Paling tidak bisa kita lihat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jawa Tengah Ganjar berpasangan dengan Gus Yasin, putra ulama kharismatik. Sementara Sudirman Said menggandeng Ida Fauziah. Di Jawa Timur ada Gus Ipul-Puti dan Khofifah Emil. Siapa pun yang menang, “umat Islam” juaranya. Demikian juga di Jawa Barat, kandidat terkuat, Ridwan Kamil, berduet dengan Uu’ yang berlatar santri.
Jadi, sebetulnya di wilayah mana umat Islam tertekan, Profesor Yusril? Ah, saya tahu, mereka yang tertekan adalah para korban First Travel dan Abu Tours.
Tapi apakah Yusril bersuara untuk korban-korban itu? Sampai sekarang, saya belum mendengarnya.