Umat Islam dalam Pusaran Gelombang Kabar Bohong

Umat Islam dalam Pusaran Gelombang Kabar Bohong

Hoaks dan kabar bohong menyelimuti umat islam Indonesia seperti penyakit yang susah diobati

Umat Islam dalam Pusaran Gelombang Kabar Bohong
Para peternak politik memanfaatkan segala hal demi kepentingannya. Pict by Nurul Huda

Ketika beberapa minggu yang lalu saya mendapat undangan seorang teman berdiskusi dengan tema hoaks dan ujaran kebencian  di Solo, saya berpikir keras, masihkah isu hoaks dan ujaran kebencian ini relevan untuk didiskusikan? Saya mengira masa-masa buruk itu telah lewat. Sebuah masa ketika badai berita palsu dan ujaran kebencian menggulung bangunan persaudaraan sesama anak bangsa. Helatan pilkada DKI telah berakhir dan saya kira itu juga akhir dari kegaduhan yang disebabkan hoaks dan kawan-kawannya.

Rupanya saya keliru. Dalam diskusi itu justru terungkap bahwa hoaks dan ujaran kebencian masih tak berhenti disebarluaskan. Salah seorang peserta misalnya berkisah tentang group WA jamaah haji yang hampir tiap hari dibombardir kabar abal-abal. Salah seorang anggota group WA itu (tentu saja bergelar “haji”) tak kenal lelah menyebar berita yang sulit untuk dikatakan valid. Contohnya saja ia membagikan berita bohong tentang Walikota X yang melarang azan dikumandangkan di kotanya. Padahal, setelah diadakan tabayun dengan Walikota X, hal tersebut tak benar sama sekali.

Satu persatu peserta berkisah dan membenarkan bahwa persebaran berita bohong dan ujaran kebencian masih menjadi persoalan yang menuntut penyelesaian. Pelan-pelan solusi dirumuskan dan salah satunya mengerucut pada pentingnya literasi media bagi kaum muda. Dalam diskusi itu terungkap bahwa kelompok anak muda di akhir masa SMA dan awal-awal masuk kuliah adalah yang paling rentan terpapar hoax dan hate speech. Maka, forum itu merekomendasikan pentingnya jemput bola dengan mendatangi SMA-SMA: mengkampanyekan bijak bersosial media, cerdas menggunakan internet, kritis membaca berita dan materi-materi literasi media lainnya

Beberapa hari setelah acara tersebut, sebuah berita dibagikan seorang kawan di salah satu group WA yang saya ikuti. Berita tentang dosen sebuah kampus di Yogyakarta yang tertangkap bersama 14 orang lainnya karena menyebar berita bohong dan ujaran kebencian. Mereka tergabung dalam kelompok MCA (Muslim Cyber Army), gerombolan sejenis Saracen yang beberapa waktu lalu juga telah diringkus pihak kepolisian.

Berita itu memantik banyak reaksi. Di antaranya: bagaimana bisa seorang dosen terlibat dalam “bisnis haram” serupa itu? Siapapun tentu melihat dosen sebagai bagian dari kelompok terpelajar yang mestinya mustahil menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Namun, hoaks dan ujaran kebencian nyatanya memang tidak berkaitan dengan tingkat intelektual seseorang. Hoaks dan ujaran kebencian menyerang sisi emosional. Di sana, nalar dan logika berhenti bekerja. Apalagi jika sudah masuk di dua wilayah sensitif: politik dan agama. Tak peduli apakah ia sudah S2 atau S3, ia masih sangat mungkin jadi penyebar hoax dan hate speech.

Lalu, mengapa MCA harus menyematkan kata “muslim” dalam penamaan kelompok? Hal tersebut merupakan bentuk propaganda. Mereka bermain “identitas”. Penyematan kata “muslim” memudahkan mereka menjaring simpati sekaligus follower. Dalam teori proaganda dikenal istilah glittering generalities. Mohammad Soelhi mengartikan glittering generalities sebagai “teknik propaganda yang menghubungkan sesuatu dengan kata yang sangat baik yang membuat target propaganda merasa senang sehingga bersedia menerima dan menyetujui ide yang ditawarkan secara mentah-mentah”.

Dari sebuah tulisan di Tirto saya tahu bahwa Jonru ternyata pernah berujar: MCA bukanlah suatu organisasi lembaga, komunitas, yayasan, parpol, perusahaan, ataupun organisasi masyarakat. Namun, siapapun yang menyuarakan dakwah membela kebenaran di media sosial adalah bagian MCA. Perhatikan istilah “dakwah membela kebenaran”. Ujaran Jonru itu kian meneguhkan teknik glittering generalities yang mereka gunakan. Harapannya, tentu saja, siapapun yang merasa muslim menjadi bagian dari mereka, atau minimal mendukung gerakan mereka. Pertanyaannya: jika mereka pakai kata “muslim”, sebetulnya kelompok muslim mana yang sedang mereka wakili?

Kemudian, mengapa pula mereka mesti pakai istilah “army”? Sedang berperangkah kita sekarang? Berperang dengan siapa? Genting sekali tampaknya sehingga perlu ada “army”. Dugaan saya, mereka memanfaatkan “semangat membela agama” yang menjangkiti sebagian umat hari ini. Mereka mengajak khalayak muslim untuk menjadi tentara, pejuang dan pembela agama. Ini tentang kebanggaan, tentu saja. Dan mereka cukup berhasil tampaknya. Berhasil mengelabui banyak orang dengan ajakan “berjihad di dunia maya” memerangi “musuh Islam”.

Menjadi cerdas adalah keharusan di era banjir informasi. Dan mestinya kita menyadari bahwa tak semua yang berkilau itu emas. Namanya saja Muslim Cyber Army, kenyataannya adalah pabrik hoax dan hate speech.