Orang mengelola negara dengan cara beragam. Kadang pimpinan eksekutif dipilih langsung, kadang tidak langsung. Kadang eksekutif dipisahkan dari legislatif, kadang bercampur. Bentuk negara beda-beda, format ketata-negaraan juga bisa beda-beda.
Karena itu, di muka bumi sekarang kita bisa melihat puluhan bahkan ratusan ragam pengelolaan negara. Satu negara berbeda dari negara yang lain. Tak ada satu negara yang benar-benar identik dengan negara lain, meski bertetangga sekalipun. Ini semua terjadi karena orang berbeda-beda pandangan dan terus berdebat soal aspek-aspek penyelenggaraan negara.
Barangkali satu-satunya aspek yang tidak terlalu diperdebatkan orang dalam penyelenggaraan politik kenegaraan adalah pengawasan. Sejak dulu hingga sekarang orang cenderung menyepakati bahwa pemimpin harus diawasi oleh rakyat. Mekanismenya boleh berbeda-beda, tapi prinsipnya sama.
Dalam sejarah Islam, orang mengenal dialog antara Khalifah Umar bin Khattab dengan rakyatnya. Umar pernah meminta di depan publik untuk diawasi dan diluruskan dalam mengemban amanah kekhalifahan. Salah seorang yang hadir di situ menjawab bahwa dia akan meluruskan Sang Khalifah dengan pedangnya apabila dia berbuat bengkok. Umar pun mengucap syukur atas hal itu.
Dalam sebuah negara demokratis modern, pengawasan itu menjadi kian penting. Prinsip penyelenggaraan negara modern meletakkan rakyat sebagai pemberi mandat. Pemimpin adalah pihak yang menerima mandat. Mereka bahkan adalah peminta mandat dari rakyat. Ketika seseorang mencalonkan diri sebagi presiden, gubernur, bupati, walikota, bahkan kepala desa atau ketua RT, pada prinsipnya mereka sedang meminta mandat dari rakyat – sekaligus meminta hak kuasa dan hak finansial untuk menjalankan mandat itu.
Ketika rakyat memberi mandat pada pemimpin (misalnya pada Jokowi sebagai presiden RI, pada Anies Baswedan sebagai gubernur DKI), sebenarnya rakyat sedang menugaskan mereka untuk mentransformasi visi berbasis ideologi yang mereka punya, menjadi SOLUSI. Untuk menemukan solusi bagi masalah kita bersama itu, politisi pemenang mandat lalu diberi kewenangan, fasilitas dan penghasilan besar.
Tapi mereka bisa salah. Dan sudah terbukti bahwa siapapun yang berkuasa akan salah. Jauh-jauh hari, seorang pemikir bernama Lord Acton sudah mengingatkan: “power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” Karena itu, manusia sudah lama membiasakan ada penyeimbang terhadap kekuasaan. Siapapun yang sedang berkuasa harus diawasi dan dikritisi, agar “tendency to corrupt” itu tak berubah menjadi “absolute corruption.”
Sadaqah terpenting dari elemen civil society dalam demokrasi adalah pengawasan dan kritisisme pada penguasa, bukan dukungan. Dukungan hanya diperlukan oleh politisi saat pemilu. Dukungan pada politisi selesaikan di bilik suara. Cuma itu yang mereka butuhkan. Selebihnya yang diperlukan penguasa adalah kritikan agar mereka terus bisa berbuat lebih baik.
Bukankah kritik harus disertai saran solusi? Ya bagus juga kalau disertai dengan solusi. Tapi tidak juga tidak apa-apa. Tugas mencari solusi sudah kita mandatkan pada sang pemenang pemilu. Kewenangan, fasilitas dan penghasilan besar yang kita berikan pada orang seperti Jokowi, Anies, Ganjar, Olly Dondokambey dan lain-lain adalah imbalan bagi tugas untuk mencari solusi.
Bagi demokrasi, rakyat yang sibuk mengkritik penguasa itu jauh lebih bermanfaat ketimbang rakyat yang sibuk mendukung dan membela penguasa. Rakyat yang sibuk menjadi lovers politisi terpilih itu manfaatnya jauh di bawah rakyat yang nyinyir. Tentu saja, nyinyir yang pakai otak dan data tetap lebih baik daripada nyinyir yang asal-asalan. Tapi soal itu bisa kita bahas lain kali. Yang penting prinsipnya adalah: rakyat yang baik adalah rakyat siap untuk nyinyir dalam rangka mengawasi penguasa!!!