Tetap Produktif saat Haji: Ulama-Ulama yang Menulis Karya Ketika Haji

Tetap Produktif saat Haji: Ulama-Ulama yang Menulis Karya Ketika Haji

Perjalanan haji yang melelahkan tak menyurutkan semangat mereka dalam menulis karya.

Tetap Produktif saat Haji: Ulama-Ulama yang Menulis Karya Ketika Haji

Dibalik perjalanan haji para ulama, terdapat kisah-kisah dan cerita unik yang mengitarinya, karena, bagi mereka haji bukanlah perjalanan fisik semata, melainkan juga sebuah perjalanan rohani yang memiliki nilai luar biasa. Kisah-kisahnya pun beragam mulai dari kendala dan kesulitan selama perjalanan hingga faidah-faidah dan hikmah yang tanpa sengaja mereka temui di tengah perjalanan.

Sementara itu di sisi lain, ternyata ada juga para ulama yang memanfaatkan momen bersejarah dalam hidupnya itu menjadi sebuah lahan produktifitas. Ada yang menjadikan perjalanan tersebut dengan menyambi menulis sebuah karya.

Di antara beberapa ulama yang menuliskan karyanya ketika haji adalah sebagai berikut:  

1. K.H Ma’shum bin Ali

Nama Kiai Ma’shum bin Ali ini kerap disalahpahami dan disamakan dengan Kiai Ma’shum Lasem. Padahal dua nama itu adalah dua tokoh yang berbeda. K.H Ma’shum bin Ali banyak dikenal lewat salah satu mahakarya yang menjadi kurikulum hampir semua pesantren di Indonesia, yakni kitab al-Amtsilat al-Tashrifiyyah. Bahkan mungkin tidak ada satupun santri yang tidak kenal dengan kitab ini.

Namun, di balik nama besar beliau dibidang sharf K.H Mashum Ali juga dikenal sebagai pakar dalam bidang ilmu falak atau astronomi. Beliau banyak melahirkan kitab dan murid yang kelak mengembangkan ilmu astronomi di Indonesia. Di antara murid beliau yang paling moncer dalam ilmu falak adalah Kiai Zubair umar al-Jailani Salatiga dan K.H Turaihan Ajhuri, Kudus yang menjadi ikon ilmu falak di Indonesia.

Selain itu beliau juga mempunyai karya di bidang ilmu ini, yakni Durus al-Falakiyyah, dan Badiat al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal. 

Nah kitab yang disebut terakhir ini secara khusus ditulis oleh K.H Ma’shum bin Ali ketika sedang melakukan perjalanan ibadah haji via kapal laut. Di era itu memang perjalanan haji memakan waktu yang cukup lama, tidak seperti sekarang dengan pesawat yang relatif cepat. Dulu, dengan mode transportasi kapal laut jamaah haji harus memakan waktu yang cukup lama untuk sampai di tanah suci.

Ma’shum bin Ali memanfaatkan waktu yang cukup panjang di atas kapal tersebut untuk menulis kitab Badiat al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal ini.

Ada kisah unik dibalik kitab ini. Ketika menulis dan selesai menulis kitab ini di kapal beliau tidak serta merta puas dengan hasil tulisannya tersebut. Di atas dek kapal tersebut, K.H Ma’shum bin Ali memanfaatkan momen tersebut untuk berguru dan diskusi kepada nelayan yang ada di kapal tersebut. Hal itu beliau maksudkan untuk cross check atas pemahaman beliau yang ditulis dalam kitab Badiat al-Mitsal tadi. Karena bagaimanapun hal yang paling penting dalam ilmu falak adalah sisi observasi lapangan, bagaimana teori diatas kertas bisa dibuktikan secara riil di lapangan.

Nah dalam hal ini beliau mengajak diskusi nelayan tersebut agar tulisannya juga sesuai dengan praktek di lapangan. Beliau sama sekali tidak merasa malu untuk berdiskusi kepada siapapun, terlepas dari apapun latar belakangnya. Hasilnya karya KH. Ma’shum bin Ali tersebut kelak menjadi salah satu referensi penting dalam khazanah ilmu falak di Nusantara.

2. Ibnu Asyir (w. 1040 H/ 1631 M)

Ibnu Asyir sendiri merupakan seorang ulama dari kalangan Malikiyah yang berasal dari tanah Maghrib atau Maroko. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdul Wahid bin Ahmad bin Ali Ibnu Asyir al-Maliki al-Asyari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Asyir. Al-Kattani dalam Salwat al-anfas; Sebuah kompilasi biografi Ulama daerah Fas pernah memujinya:

 كان -رحمه الله- ممن له التبحر في العلوم، والمشاركة في الفنون، عالماً عاملاً، عابداً ورعاً زاهداً

“Ibnu Asyir adalah sosok yang mempunyai kedalaman ilmu yang begitu dalam menyerupai lautan. Keluasan tersebut juga tidak hanya satu disiplin ilmu, melainkan multidisiplin. Sosok yang sangat alim sekaligus sosok yang tekun mengamalkannya. Ahli ibadah, sangat wirai dan juga zuhud.”

Ia terkenal dengan kepakarannya di bidang ilmu qiraat. Ia pun sangat menguasai ilmu rasm atau penulisan Al-Qur’an. Dalam hal ini beliau mempunyai kitab syarh dari Maurid al-Dzam’an.  

Di antara karangan yang membuat namanya moncer di kalangan intelektual adalah  Mursyid al-Muin ‘ala al-Dzoruriy min ‘Ulum al-Din. Kitab ini merupakan kitab matan yang membahas dasar-dasar agama dalam bentuk bait-bait syiir.

Ibnu Thoyyib al-Qodiri mengatakan bahwa Ibnu Asyir mengawali penulisan nadzam ini ketika sedang melakukan ihram Haji. Nadzam yang ditulis tersebut adalah:

وان ترد ترتيب حجك اسمعا * بيانه والذهن منك استجمعا 

“Jika engkau ingin mengetahui urutan dan tartib ibadah haji, maka dengarkanlah penjelasannya dengan sepenuh hati”

Setelah selesai ibadah haji, beliau kemudian menyempurnakan kitab ini hingga selesai. Kitab ini tidak hanya membahas tentang haji akan tetapi juga disilin ilmu lain. Baik itu aqidah, fikih hingga tasawuf. 

Bait nadzam ini terdiri dari 317 bait dengan menggunakan pola bahr rajaz. Nazam ini begitu populer di kalangan masyarakat mazhab Maliki, hingga banyak sekali ulama yang kemudian tertarik mensyarahi nazam ini. (AN)