Imam Al Ghazali berpendapat bahwa seburuk-buruk ulama yang dekat dengan penguasa, sebab jabatan sebagai penguasa baginya urusan duniawi dan keduniawian berpotensi merusak jiwa. Tidak jarang ulama yang dekat dengan penguasa mengeluarkan fatwa yang berpihak. Sebaliknya Imam Malik berpendapat ulama baiknya dekat dengan penguasa, agar bisa memberikan masukan dan menghindari penguasa mengambil keputusan dzolim.
Menurut saya, mengetahui banyaknya pendapat ulama terhadap satu hal adalah hal yang menyenangkan, karena dapat membuat masyarakat awam dapat memilih dalil beragama yang nyaman, sehingga menimbulkan qalbun saliem (hati yang damai) dalam beragama.
Apalagi melihat fenomena hitam-putih beragama yang sedang nge-trend seperti saat ini. Kalau melakukan ini berarti dosa. Tidak ada dalil tekstualnya berarti haram. Sesuatu yang haram akan menimbulkan dosa yang berujung auto-munafik hingga auto-neraka. Ngeri-ngeri sedaplah.
Sesungguhnya ulama-ulama memiliki hasil ijtihad yang seringkali berbeda, sehingga hukum satu hal berfariasi; bisa A, bisa B dan bisa C. Tidak mesti kalau memiliki perbedaan pendapat berarti pasti ada salah satu salah dan benar. Logikanya bukan kayak pilihan ganda ujian sekolah.
Justru banyaknya pendapat dan sudut pandang akan membuat kita semakin dekat dengan kebenaran. Semua pendapat bisa dilakukan, disesuaikan ruang dan waktu dan yang memudahkan.
Misal ketika haji atau umrah, mayoritas di Indonesia bermadzhab Syafi’i, sehingga umumnya berpendapat jika memiliki wudhu lalu menyentuh yang bukan muhram akan membatalkan wudhu. Tetapi ketika memutari Ka’bah (tawaf) yang laki-laki dan perempuan bercampur, kita bisa menggantikan cara wudhu serta berniat menggunakan cara imam Malik. Sebab beliau berpendapat menyentuh yang bukan muhram tidak membatalkan wudhu dengan beberapa catatan.
Beragama bukan berarti menjadi tegang dan kaku dalam memahami kehidupan. Justru kalau masih demikian, sangat disarankan mempelajari pemikiran ulama-ulama menetapkan hukum syariat atas 1 hal. Maka sangat beruntung kalau sempat mengaji syariat diajarkan 4 madzhab, karena akan membuat kita beragama menjadi nyantai dan tidak takfiri
Apakah boleh mengikuti pendapat ulama yang tidak ada dalil tekstualnya? Tentu saja boleh, kita malah memiliki hak untuk mengikuti pendapat ulama. “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7). Ayat ini menjadi dalil hendaklah taqlid (mengikuti) yang lebih tahu, dalam hal ini ulama.
Ulama yang sanad keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan. Sumber keilmuannya jelas. Bukan ulama ketika ditanya akan meminta jawaban dari Mbah Google. Bukan pula artis yang ganti life style ujug-ujug memimpin tablig akbar. Bukan!
Tentu saja hal ini bukanlah untuk menggampangkan perkara agama. Tidak. Tetapi semata menyampaikan bahwa beragama itu penuh kemudahan. Kita dibolehkan memilih tata cara beragama sehingga terlahir rasa nyaman, tidak kaku dan tidak menolak yang berbeda. Inilah disebut wasathiyah (moderat); …Dan kami telah jadikan kalian umat yang berada di jalan tengah (moderat) (QS. Al Baqarah : 143).
Memilih jalan tengah atau wasathiyah adalah cara mengedepankan keterbukaan dan kemudahan dalam beragama sehingga akan muncul penghormatan terhadap yang berbeda pendapat dalam satu hal. Jikapun cara pandang moderat ini tidak disampaikan, saya merasa menutupi pilihan menuju “kebenaran”.
Apalagi era kids jaman now, ada beberapa golongan yang mudah membid’ahkan beberapa cara beragama golongan lain. Meski tidak bisa dibenarkan, sebenarnya tidak pula dibenarkan. Maka hendaknya golongan tersebut disikapi dengan bijak. Mereka pun memiliki dalil dan juga belajar paham bergamaa seperti itu dari guru agamanya. Jadi jangan dianggap serius.
Kalau tetap dibid’ahkan, jawab saja “Gitu aja kok bid’ah”.