Di laman detik.com saya bertemu berita dengan judul UAS Ulama Paling Berpengaruh Versi LSI, Habib Rizieq Nomor 5. Judul itu merupakan simpulan dari hasi survei LSI Denny JA. Selain UAS dan Rizieq Syihab, ada nama Arifin Ilham, Yusuf Mansur, dan Abdullah Gymnastiar. Memperhatikan judul di detik.com tersebut mendadak saya teringat satu judul buku yang pernah moncer dan kontoversial: 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Di antara 33 sastrawan itu ada nama Denny JA.
Sebetulnya hasil survei LSI tentang ulama berpengaruh itu tidak begitu mengejutkan. Lima besar ulama yang masuk dalam daftar itu saat ini memang berada di bawah lampu sorot media. Beberapa dari mereka adalah nama-nama lama, sempat redup dan kembali mendapat momentum, salah satunya karena bagian dari aksi 212. Pun demikian, pertanyaan yang penting diajukan adalah: apa konsekuensi dari hasil survei yang dirilis LSI?
Hasil survei itu tentu semakin menaikkan “nilai” dari lima ulama tersebut. Di tahun politik, boleh jadi mereka akan menjadi rebutan dua kubu yang sedang berlaga dalam pilpres. Dijadikan mesin pengeruk suara, khususnya suara umat Islam. Hasil survei semakin melegitimasi posisi mereka. Bukan tidak mungkin survei ini adalah hasil pesanan pihak tertentu. Tujuannya sebagai persiapan menjadikan lima ulama itu juru kampanye capres X. Tapi semoga dugaan saya salah.
Perdebatan klasik yang kemudian mengemuka adalah apakah etis seorang ulama bermain di dalam kolam politik praktis yang kerap kali keruh dan kotor? Tidakkah cukup ulama sekadar mengurusi umat dan pesantren? Tidakkah mereka ingin bersama masyarakat meneguhkan persatuan bangsa? Mengingat politik praktis sering kali malah memecah belah.
Saya membaca buku Munawar Fuad Noeh berjudul Kyai di Panggung Pemilu; Dari Kyai Khos sampai High Cost. Buku itu semula adalah disertasinya di University of Malaya. Temuan menarik dari penelitian itu adalah pada pilpres 2004 peran kyai begitu signifikan di Jawa Timur sehingga berkontribusi memenangkan pasangan SBY-JK. Nyaris tidak ada kiai besar yang tak terlibat dalam pilpres 2004. Bahkan Hasyim Muzadi dan Sholahudin Wahid (keduanya adalah pemuka NU yang disegani) turut serta dalam kontestasi pilpres 2004.
Banyak cara yang ditempuh para pemuka agama dalam memaksimalkan perannya pada suatu kontestasi politik. Mulai dari secara terbuka menyatakan dukungan pada calon tertentu, menjadikan pesantren sebagai pusat konsolidasi, menggerakkan jamaahnya untuk memilih calon tertentu, menjadi juru kampanye, memobilisasi massa, mengeluarkan fatwa dan lain-lain. Berbeda dengan pendulang suara lainnya, posisi kiai terbilang beda dan unik. Lebih-lebih jika kita mencermati istilah “dawuh kiai”. Sesuatu yang tentu tak dimiliki vote getter lain.
Selain itu, riset Andi Rosa bertajuk Politik Dakwah dan Dakwah Politik di Era Reformasi Indonesia mengungkap kegiatan Majelis Dzikir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) “Nurussalam” yang memiliki peran strategis. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa majelis ini menjadikan ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep al-‘ummah, al-ukhuwwah al-islāmiyyah, dan al-ta’āwun sebagai landasan dalam menafsirkan ayat sosial integratif yang kemudian dijadikan sebagai sebuah entitas dakwah. Dakwah sebagai komunikasi massa, sejalan dengan komunikasi politik yang lebih cenderung memanfaatkan komunikasi sebagai cara massif untuk menggalang massa.
Artinya, bagaimanapun interaksi pemuka agama dan politik tak terhindarkan. Hanya saja, saya tak terlalu yakin “ulama” yang masuk lima besar hasil survei LSI memiliki kemampuan menjaring suara sebagaimana yang dilakukan kiai-kiai “tradisional”. UAS misalnya, ia memang memiliki banyak pengikut di media sosial dan menurut majalah Tempo ia meraup Rp. 400.000.000 perbulan dari channel Youtube-nya. Namun, saya kira, ia sebetulnya tak begitu powerfull hingga berhak menyandang gelar ulama yang paling berpengaruh, dan suaranya paling didengar.
Lepas dari itu, jika para pemuka agama hasil survei LSI itu hendak turun ke gelanggang politik, semoga mampu menarapkan politik berakhlak, seni berpolitik yang elegan. Menjdikan ukhuwah tidak sekadar jargon. Sebisa mungkin meminimalisir gesekan di masyarakat. Sebab, di atas politik dan agama ada kemanusiaan.