Akhir-akhir ini bermunculan oknum-oknum yang tidak mau bertanggung jawab yang mencoba membenturkan antara kiai NU dan para habaib. Dua aset Islam besar di Indonesia itu tak hentinya ditabrakkan satu sama lain, karena tujuan yang tidak jelas arahnya. Ada dugaan, hendak menghancurkan Islam Indonesia.
Dalam rentan sejarah yang panjang, NU dan Habaib memiliki hubungan erat yang sulit dipisahkan satu sama lain. Misalnya saja, saat Kiai Hasyim Asyari hendak mendirikan NU, beliau sowan ke Makkah terlebih dulu. Di sana beliau menemui dua ulama besar, yaitu Kiai Khalil Bangkalan dan Habib Hasyim Umar Ibn Thaha Ibn Yahya (salah seorang ulama keturunan Arab/Habib). Selain itu, tokoh pertama yang menuliskan biografi K.H Hasyim Asyari adalah seorang Habib bernama Habib Ahsan Syihab.
Pasca disetujuinya mendirikan NU oleh Kiai Khalil dan Habib Hasyim itu, Kiai Hasyim pulang untuk mendirikan NU di Indonesia. Pada waktu akan mendirikan Markas NU di Jayakarta, beliau pun kembali sowan terlebih dahulu kepada seorang Habib, yaitu Habib Kwitang. Namun sebelum Kiai Hasyim datang, Habib Ali ini sudah mengutus muridnya bernama Kiai Muh Marzuki, untuk mencari informasi terkait NU. Setelah ia tau dan memberikan informasi pada Habib Ali akan pentingnya NU untuk mengembangkan Islam, Habib Ali pun meyakini, dan menyetujui Kiai Hasyim mendirikan Markas NU di Jayakarta. Tidak hanya itu, beliau bahkan bergabung dengan NU, dan kemudian diikuti oleh 1000 masyarakat lainnya untuk gabung dengan NU.
Dalam rentan sejarah itu pula, Kiai Hasyim sebagai pendiri NU, belajar kepada salah satu keturunan Arab, atau Habib, yaitu Habib Husein, yang merupakan salah satu mufti Syafii di Makkah.
Selain aspek historis, aspek lain yang membuktikan kedekatan antara kiai NU dan habaib adalah pada corak Islam yang dikembangkan keduanya. Pertama misalnya, baik kiai NU atau Habaib keduanya dikenal moderat. Para Habaib sebagaimana diajari oleh nenek moyangnya, Habib Fagih Muqaddam, untuk menanamkan keyakinan bahwa inti ajaran Islam adalah moderat. Pada satu waktu pula, Habib Fagih pernah mematahkan pedang dengan menyatakan bahwa Islam tidak butuh peperangan, Islam agama moderat.
Selain itu, ikatan hati antara kiai NU dan habaib terekam pada panggilan orang-orang NU kepada keturunan Arab dengan panggilan ‘habaib’ yang artinya yang dicintai. Begitu pun para Habaib memanggil orang-orang NU dengan panggilan ‘muhibbin’ yang artinya orang-orang yang mencintai.
Kedua, keduanya menjadikan budaya sebagai instrumen penting dalam dakwah. Sebagaimana diketahui, para Wali Songo memiliki keturunan yang bersambung ke Yaman, bersambung dengan Rasulullah. Ketika mereka berdakwah ke Indonesia, mereka tidak membawa istri, dan menikahi orang Indonesia demi menyebarkan Islam di sana. Apalagi NU, dengan jargonnya Islam Nusantara, membuktikan bahwa organisasi Islam tersebut menjadikan budaya sebagai ornamen penting dalam menyebar Islam.
Ketiga, keduanya menjunjung tinggi nilai spiritualitas. Para habaib memiliki tarekat bernama Alawiyah, dengan Ratib al-Haddad sebagai bacaan untuk meningkatkan spiritualitas mereka. Amalan bacaan ratib itu bahkan diterapkan oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai NU, kepada Santri-Santri nya di pesantren. Sisi spiritualitas NU kentara dalam keputusan Muktamar ke 3 di Surabaya dan ke 6 di Cirebon, yang memutuskan bahwa tarekat adalah faham sah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Keempat, baik kiai NU atau habaib keduanya mengedepankan kebangsaan. Pada 1903, para habaib mendirikan Jamiyat al-Khair untuk mendidik masyarakat Indonesia agar tidak tertipu dan tertindas oleh para penjajah. Pada tahun 1934, keturunan Arab itu juga bersumpah sebagai pemuda tanah Air Indonesia, meski berketurunan Arab. Pada waktu itu juga mereka mendirikan partai Arab Indonesia. Namun seketika pada 1945, saat Indonesia merdeka, partai itu dibubarkan, karena tujuan awalnya memang untuk memerdekakan Indonesia.
Sedangkan para kiai NU, kecintaan para kiai tersebut pada bangsanya tidak diragukan. Jargon hubbul wathan minal iman, adalah bukti nyata akan kecintaan kiai NU kepada bangsanya. Sudah banyak NU berbakti kepada negara dari mulai merebut kemerdekaan hingga saat sekarang. Baik di ranah agama atau politik.
Maka, baik kiai NU atau habaib keduanya merupakan entitas penting bagi Indonesia. Keduanya sudah memiliki hubungan hati yang sangat erat. Menghindari konflik yang akhir-akhir ini keduanya coba dibenturkan oleh orang yang tidak mau bertanggung jawab adalah keharusan siapapun. Karena jika keduanya konflik, berbenturan, maka tidak akan tau seberapa besar kerusakan dan kerugian bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam.