Bagaimana Istilah ulama dalam perspektif al-Qur’an dan tafsir?Untuk mengetahui gambaran yang dimaksud dengan istilah ulama dan ulama yang bagaimana yang mendapatkan kemuliaan sebagai pewaris para Nabi seperti yang tertera dalam hadis yang sangat terkenal itu.
Secara bahasa, kata ‘ulama, bentuk jamak dari kata ‘aliim, memiliki arti mengetahui, memahami secara mendalam. Dalam KBBI, ulama berarti orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama islam.
Dalam kesempatan ini, penulis akan menggunakan QS. Fathir ayat 28 sebagai pijakan dalam pembahasan ini berdasarkan pendapat para intelektual yang menguasai bidang tafsir. Ayat itu berbunyi:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Kata ulama dalam surat ini berbeda dengan kata ulama yang berada pada surat al-Syu’ara. Dalam surat ini, kata ulama disebutkan dengan menyertakan huruf alif-lam (al) diawalnya, sehingga akan memiliki pengertian yang berbeda dengan kata ulama yang tidak disertai dengan huruf alif-lam (al) pada awalnya. Dalam gramatikal arab, “al” memiliki faidah mema’rifatkan kalimat yang nakiroh. Dalam artian kata yang kemasukan “al” akan levih spesifik dibandingkan dengan yang tidak bersamaan dengan “al”.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa sifat dan karakteristik mahluk Tuhan yang memiliki rasa takut kepada Allah hanyalah “al-’ulama”. Fakhruddin al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib volume 26 hal. 21 menjelaskan bahwa kemunculan rasa takut seseorang disesuaikan dengan seberapa jauh dia mengetahui yang ditakutinya. Karena “al-’alim” adalah predikat bagi orang yang telah mengetahui (sifat) Allah, sehingga pemilik sifat ini tumbuh pada dirinya sikap takut kepada-Nya. Dan inilah yang menyebabkan derajat dan kedudukan seorang “ al-’alim” lebih tinggi daripada “‘abid” atau ahli ibadah namun tidak mengetahui ilmunya secara mendalam. Hal ini bersumber dari pemahaman atas firman Allah “inna akramkum ‘indallahi atqaakum” bahwa yang paling mulia disisi Allah diantara kalian adalah yang paling bertaqawa.
Lebih lanjut, al-Razi mengatakan bahwa ketaqwaan (yang menjadi barometer utama) tidak bisa diperoleh melainkan dengan ilmu. Dalam artian, semakin lebih dalam ilmu seseorang maka semakin tinggi nilai ketaqwaannya.
Meskipun al-Razi mengkategorikan kemuliaan seseorang ditentukan oleh seberapa dalam ilmu yang dikuasainya bukan seberapa banyak amal dan perbuatan baik yang telah dilakukannya, beliau menggaris bawahi bahwa orang yang berilmu dan tidak mengamalkan ilmunya maka dia telah menciderai dan merobek kemuliaan ilmu tersebut.
Ibnu Katsir (w. 774 H.) dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adzim volume 6 hal. 482-483 menyebutkan bahwa Sufyan al-Tsauri dengan mengikuti pendapatnya Abu Hayyan al-Timi mengatakan: ulama ada tiga macam, yakni mereka yang mengetahui Allah dan perintah-Nya, mengetahui Allah tetapi tidak mengetahui perintah-perintah-Nya, dan tidak mengetahui Allah tetapi mengetahui perintah-perintah-Nya. Mengetahui Allah dalam hal ini adalah takut kepada Allah, sedangkan mengetahui perintah-perintah-Nya berarti mengetahui kewajiban dan garis yang telah ditentukan oleh Allah.
Memahami keterangan Ibnu Katsir di atas akan terbantu dari keterangan al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dengan mengutip pendapat Rabi’ bin Annas, beliau berkata: “orang yang tidak takut kepada Allah berarti dia bukan orang ‘alim”.
Di sini semakin tampak bahwa maksud dari Ibnu Katsir di atas adalah kedalaman pengetahuan seandainya belum muncul rasa takut kepada Allah maka tidak dikategorikan sebagai “al-’ulama”.
Kesimpulannya, sebenarnya derajat kemuliaan seseorang adalah bergantung kepada sikap taqwanya. Karena tidak mungkin seseorang bisa bertaqwa secara maksimal tanpa didasari dengan pengetahuan yang dalam, sehingga kualitas dan kuantitas ilmu serta perbuatan menjadi jembatan untuk mendapatkan anugerah kemuliaan disisi Allah. Intinya, tandanya orang alim di samping mengetahui dia harus mengamalkan ilmunya.
Ketika kita perhatikan, rasa takut kepada Allah yang melekat pada diri ‘ulama adalah konsekuensi logis setelah mengetahui-Nya dan mengamalkan pengetahuannya. Karena tidak mungkin memiliki rasa takut kepada Allah tanpa mengetahui-Nya sebagaimana belum tentu orang yang mengetahui-Nya memiliki rasa takut kepada-Nya, meskipun seharusnya orang yang mengetahui-Nya harus memiliki rasa takut kepada-Nya. Intinya, ulama dalam istilah indonesia adalah al-’ulama dalam bahasa al-Qur’an. Wallahu a’lam bi al-shawab.