Rocky Gerung menyebutkan satu istilah unik yakni “Ukhuwah Youtubiyah”, yang juga diasumsikannya sebagai wadah akal sehat masih bisa dioperasikan dan ini terkait 212. Tentu pernyataan Rocky ini disambut tepuk tangan oleh hadirin lainnya, seperti Refly Harun, Neno Warisman, Habib Ali Al-Habsyi dan lain-lain.
Pernyataan tersebut saya tonton di salah satu akun media sosial yang menayangkan siaran langsung perhelatan Dialog Nasional sekaligus Reuni 212. Tak butuh waktu lama, pernyataan tersebut kemudian beredar luas di media sosial. Kemarin (2/11), Rocky Gerung mengeluarkan istilah dalam acara terkait 212 tersebut guna menambahkan adanya hubungan yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat Indonesia, yakni “Ukhuwah Wathaniyah” dan “Ukhuwah Islamiyah”.
Rocky melihat bahwa ada sebuah relasi atau persaudaraan baru yang hadir akhir-akhir ini, yakni “Ukhuwah Youtubiyah”. Dia mengartikan secara literal bahwa istilah tersebut berarti persahabatan sesama pengguna Youtube. Menurutnya, di Youtubelah politik bisa diperlihatkan secara terang-terangan, karena dia menganggap penguasa (dalam hal ini pemerintahan Jokowi) dan Pasar dapat mengendalikan seluruh saluran warga mendapatkan informasi politik.
Dengan gaya sarkasme ala Rocky, dia juga mengkritik penurunan baliho yang dilakukan oleh TNI. “Bagaimana bisa menurunkan spanduk jika digantung di langit” kata Rocky Gerung. Saluran pandangan politik selama ini bermasalah disebut oleh Rocky Gerung dapat diselesaikan dengan kehadiran gerakan non-formal ini.
Sisi menarik dalam pernyataan Rocky adalah penggunaan internet atau media sosial sebagai jalan keluar sebagai persoalan saluran pandangan politik yang disebutnya sedang macet. Benarkah begitu?
Youtube adalah platform media sosial berbasis visual atau gambar bergerak memang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia. Jika merujuk data yang dikeluarkan oleh katadata.id yang mengutip survei survei We are Social menyebutkan penduduk Indonesia yang aktif bermain media sosial (medsos) mencapai 150 juta orang. Dari beragam jenis medsos, Youtube yang paling banyak dimainkan, terutama untuk memutar musik.
Ariel Heryanto berpendapat bahwa kedekatan kultur lisan di masyarakat Indonesia adalah alasan mengapa media visual sangat populer. Pendapat Ariel merujuk pada kegemaran masyarakat Indonesia sekarang sangat menyukai film drama Korea di internet, termasuk Youtube.
Kedekatan kultur visual tersebut memang banyak menarik penonton di berbagai konten, termasuk isu politik dan keagamaan. Bahkan, tidak sedikit orang yang menjadikan Youtube dan media sosial lainnya sebagai sumber informasi mereka. Contohnya, Fenita Arie, istri dari Arie Untung, pernah menceritakan baahwa dia belajar kembali dan mencari informasi soal Islam lewat internet dan menonton video ceramah para ustaz di Youtube.
Google mengatakan bahwa 57 persen pengguna YouTube mencari konten hiburan, serta 86 persen juga menyatakan terbiasa mengunjungi situs tersebut untuk mempelajari informasi baru. Pengguna internet mengunjungi YouTube bukan hanya untuk mendapatkan hiburan, tetapi juga untuk belajar atau mendapatkan informasi.
Momentum tersebut juga dapat dirasakan di Indonesia. Pada tanggal 9 Mei 2018, Google mewakili YouTube menyampaikan hasil riset yang dilaksanakan bersama Kantar TNS. Riset tersebut mempelajari penggunaan YouTube di Indonesia. Google menyampaikan berbagai informasi mengenai peningkatan popularitas, perbedaan pasar urban dan rural, hingga jenis konten yang diminati warganet Indonesia.
Saat kondisi perpolitikan kita memang sudah terjangkiti lama dengan persoalan poitik pencitraan, yang saat media sosial mulai populer di masyarakat maka tidak sedikit politisi yang memanfaatkannya sebagai lahan untuk meneguhkan pencitraannya. Youtube adalah salah satu platform yang paling banyak diakses netizen tentu menggiurkan bagi politisi untuk hadir di sana sebagai bagian dari promosi diri.
Selain irisan dengan politik pencitraan, Youtube yang terus berkembang pesat juga mulai menggeser televisi. Menurut hasil riset, 92 persen pengguna Indonesia menyatakan YouTube adalah tujuan pertama mereka ketika mencari konten video. Secara umum, pengguna Indonesia berpendapat bahwa YouTube memudahkan mereka dalam mencari konten yang menarik dengan topik yang beragam.
Dari segi kuantitas penonton, YouTube sudah mulai menyaingi televisi sebagai sarana media yang paling sering diakses orang Indonesia. Dari 1.500 responden yang terlibat dalam penelitian, 53 persen menyatakan mengakses YouTube setiap hari, dan 57 persen menyatakan menonton televisi setiap hari.
Berangkat dari data-data di atas, pernyataan Rocky soal “Ukhuwah Youtubiyah” memang ada benarnya. Terlebih, pengalaman masyarakat Indonesia terhadap sensor informasi dari media massa, baik televisi dan cetak, tentu kehadiran Youtube menjadi wadah potensial untuk menerima sekaligus memproduksi informasi itu sendiri. Sebuah harapan indah sekaligus bahan jualan mimpi dalam Internet.
Namun, jika mengulik lebih dalam persoalan antara irisan politik, informasi dan media sosial, tentu kita akan menjumpai beberapa fakta yang dapat memadamkan impian tersebut, atau malah membalikannya menjadi mimpi buruk. Poin yang dapat menghancurkan mimpi indah jualan internet tersebut adalah pengawasan media sosial.
Sebelum lebih jauh, kita perlu mengetahui bahwa pengawasan media sosial bisa dilakukan dalam dua model, yakni algoritma dan penguasaan modal internet. Adapun pengawasan media sosial dapat dimaknai sebagai pengurangan kontrol individu atas informasi yang mereka ungkapkan tentang atribut mereka dalam konteks sosial yang berbeda, seringkali kepada aktor yang kuat seperti negara atau perusahaan multinasional.
Hal ini membatasi kemampuan netizen untuk mengatur interaksi sosial dan identitas mereka. Ini mungkin juga memiliki “efek mengerikan” pada kemungkinan pengungkapan rahasia dan aktivisme demokratis. Secara lebih luas, teknologi pengawasan baru dapat mengarah pada “pemilahan sosial”, di mana diskriminasi dan hak istimewa mengakar melalui konsekuensi pengumpulan dan analisis data yang tidak direncanakan atau disadari oleh netizen sendiri.
Segregasi informasi yang hadir di gawai kita adalah hasil kalkulasi algoritma rumit yang memperkirakan dan menghitung sikap dan psikologi kita sebagai pengguna. Jadi, apa yang muncul dalam media sosial kita adalah hasil pencarian mesin yang kemudian dihadirkan untuk memuaskan hasrat kita sendiri. Algoritma ini dikenal dengan “Filter Bubble” yang hadir dalam setiap kita berselancar, baik itu status media sosial, iklan hingga hasil pencarian di mesin pencari seperti Google.
Baca juga: Surat untuk Bung Rocky Gerung terkait akal sehat 212
Jadi, Rocky Gerung harus menyadari bahwa tanpa diketahui atau disadari netizen atau pengguna media sosial sudah terbelah terlebih dahulu, tanpa ada komando atau usaha menyatukannya. Kita sebagai netizen sering tidak sadar bahwa infromasi yang kita akses adalah hasil perhitungan algoritma yang menghasilkan data psikologi pilihan dan sikap seseorang.
Oleh sebab itu, “Ukhuwah Youtubiyah” yang dijadikan tawaran oleh Rocky Gerung dan geng 212 ini bisa jadi menambah segregasi konsumsi informasi yang sebelumnya sudah difilter oleh mesin atau penguasa, dalam hal ini tidak saja pemerintah tapi penguasa data internet. Sebab, dalam dunia internet data pengguna adalah sebuah kekayaan yang dapat diperjualbelikan untuk keuntungan ekonomi yang menggiurkan.
Jadi, mimpi kita untuk menghadirkan internet dan media sosial sebagai jalan keluar atas permasalahan saluran politik yang macet, bisa jadi menyimpan potensi bahaya di dalamnya. Bukan akal sehat yang malah tapi malah pemuas nafsu atas informasi yang berpihak pada “kebenaran” yang kita anggap benar. Sehingga keinginan untuk melakukan cek dan tabayyun bisa semakin hilang atau diabaikan.
Saran saya, kehadiran wacana “Ukhuwah Youtubiyah” harus dibekali keberanian mengakses informasi yang berbeda dari apa yang selama ini kita konsumsi dan percaya. Sebab, jika gagal maka yang terjadi hanya memperparah kondisi demokrasi kita yang telah tersegregasi dengan sangat kejam, bahkan tidak jarang saling hina dan caci maki yang sebenarnya hanya bergaung dalam lingkaran mereka sendiri.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin