Andai saja misuh itu boleh, bisa jadi aku akan misuhi orang yang beberapa waktu lalu aku lihat videonya di IG. Katanya, sanad itu tak harus pakai guru. Ini jelas-jelas bertentangan dengan konsep mainstream keilmuan islam. Statemen yang disampaikan ustadz ini unscientific, maka sudah semestinya bagi orang yang faham ilmu islam menganggap ini pasti rejected.
Definisi sanad sebagaimana yang sudah disampaikan para pakar adalah transformasi ilmu yang bersumber dari guru, guru dari gurunya, terus berlanjut hingga Rasul dengan melalui metode pendengaran secara langsung.
Ini beda dengan ustadz yang saya sebut di atas. Ia, dalam rangka ngeles karena tak punya guru jelas, mengatakan, namanya sanad itu ya pokok sesuatu hal yang sesuai ajaran Rasul itu merupakan sanadnya muttasil. Nyambung nggak nyambung, nggak penting, frekuensinya yang penting sama dengan Nabi, versi mereka.
Doi kayaknya doyan bener dengan asupan gizi dari ustadz semacam Al Albani yang memang beliau nggak jelas kesinambungan sanadnya. Dia pinter, tapi dari literasi, membaca. Ini tentu berbeda dengan guru. Karena jika orang punya guru, bakal ada yang mengarahkan jika salah. Ada yang menegur jika keliru pemahaman. Kalau tak punya guru, siapa yang berani meluruskan? Ini resiko sangat berbahaya bagi orang yang mau memahami agama.
Bagi yang tak punya guru, nggak ada orang yang ia segani, ia enggan diingatkan oleh siapa saja. Nggak boleh ada yang nguthak-athik. Saya paling bener. Itu perasaan orang yang tak punya guru.
Sederhananya saja, orang ngaji tajwid, tahsin Al Quran, mustahil bin tak mungkin, bisa ngaji sesuai tuntunan atau tata cara baca Rasul jika tanpa melalui guru yang kredibel.
Coba bagaimana kita mau mempraktekkan bacaan huruf ‘ك’ saja, yang memuat beberapa sifat, di antaranya hams, syiddah, ishmat, infitah, istifal? Belum lagi bagaimana makhrajnya?
Mustahil ada manusia tanpa guru, hanya dengan membaca bisa mempraktikkan bacaan huruf di atas. Nabi saja perlu dituntun malaikat Jibril, masak kita mau jalan sendiri. Emang lebih hebat dari Nabi?.
Itu baru satu huruf Al Quran ditinjau dari sisi tajwid atau tahsinnya. Belum bagaimana perkalimatnya. Bagaimana artinya, dan bagaimana pandangan para cendikiawan memahaminya?
Semua perlu referensi yang jelas supaya bisa benar-benar valid bahwa ilmu yang ia sampaikan diusung dari jalur yang nyambung sampai Kanjeng Nabi. Tidak sekonyong-konyong ngaku ‘ini lho aku yang paling sesuai Nabi’.
Itu sama orang belajar kamus Enggris tanpa guru, lalu menerjemahkan harfiyah turn back hoax, kemudian dirubah dengan turn back Al Qur’an. Penganut ajaran ini biasa merasa paling benar sendiri dalam beragama.
Maka, kalau belajar bahasa enggris saja harus melalui guru langsung, bagaimana dengan belajar memahami Al Quran, bahasa Tuhan, level sastra sangat tinggi?
Intinya, belajarlah kepada ulama yang benar ulama. Biar pinter….
Misalnya lagi, orang yang tak punya guru, bisa semaunya mentranslate NKRI harga mati diingriskan jadi “NKRI Price dead”
Itu sama juga dengan orang yang menerjemah harfiyah simahum fi wujuhihim min atsaris sujud dengan arti bekas sujud itu jidatnya musti hitam. Ini keliru, Sodara…
Setali tiga uang dengan turn back Quran adalah orang yang maunya memaknai harfiyah Allah berdiam di arasy. Tangan Allah berada di atas tangan mereka lalu dimaknai secara tekstual bahwa Allah itu punya tangan kayak tangan kita.
Begitu pula orang yang nggaya koar-koar ini bid’ah, itu bid’ah, namun ia tak punya perangkat lengkap memahami bahasa arab tentang materi yang ia sampaikan.
Sepenting apa mencari guru kredibel itu?
Dalam Al Quran diceritakan, orang dulu kalau nggak punya guru, belajarnya ke literasi tulisan, diejek. Kepintaran mereka yang dari literasi atau tulisan dianggap cacat. Dalam Al Quran dikatakan
ان هذا لفى الصحف الاولى
Orang yang belajar mandiri kepada shuhuf tanpa guru berpotensi menyimpang tanpa ia sadari. Mana fail mana maf’ul, mana jumlah mana syibh jumlah dan lain sebagainya.
Kanjeng Nabi dulu dikatakan Ummi, nggak bisa baca tulis itu bukan kekurangan. Kala itu, justru orang kalau cerdas namun kecerdasannya sebab catatan, ia dianggap lemah akalnya. Jika ia cerdas namun tanpa catatan, itu cerdas betul. Otaknya encer.
Lalu, dalam al Quran juga dikatakan
فاسئلوا اهل الذكر ات كنتم لا تعلمون
Apabila kita nggak tahu, tanyanya kepada ahladz dikri, orang pinter lagi saleh, bukan ke internet. Internet itu bukan ahladz dzikri. Dia hanya tahu saja, tapi tidak saleh. Itulah pentingnya mencari guru bersanad nan kredibel.