Yorris Raweyai, Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar (PP-AMPG) dan mantan Ketua Pemuda Pancasila baru saja datang dari Papua membawa 7 tuntutan yang fantastis. Satu poin yang ‘agaknya’ pesanan dan berbentuk peluru politik adalah permintaan ‘Membubarkan ormas Banser’.
Tuntutan ini sangat tak biasa karena enam tuntutan lainnya diarahkan kepada pemerintah, sedangkan pada poin ganjil ini, tuntutan diarahkan pada pihak ketiga. Jelas, tuntutan ini by design dan dipesan oleh pihak yang sudah sangat memaksa.
Memang, Banser sebuah pengecualian. Catatan Ian Doughlas Wilson tentang ‘Politik Jatah Preman’ ormas jalanan tidak sedikitpun menyebutkan Banser berada dalam relasi umum yang biasa terjalin antara praktik kekuasaan praktis dan ormas jalanan. Anda bolak-balikan buku itupun, nama Banser tidak muncul.
Lagipula, keunikan Banser merupakan ancaman bagi FPI dan PP yang merupakan bagian dari sisa politik patronase Orde baru. Banser tidak didirikan oleh sekelompok Jendral yang sewaktu-waktu mendirikan Partai politik hanya karena sedang pensiun. Bagaimanapun, pertumbuhan Banser bisa menjadi ancaman munculnya moda baru dalam strategi kebudayaan masyarakat sipil yang lepas dari tradisi patronase sebagaimana PP dan FPI.
Kalau boleh jujur, secara terbuka Golkar dan watak Orde baru memiliki trauma yang tidak biasa terhadap ‘orang NU’. Tengah Malam tahun 2001 , Gusdur sebagai presiden yang merupakan representasi politik NU pernah mengeluarkan dekrit. Salahsatu isinya: Membubarkan Golkar! Jadi memang wajar di akar rumput, Banser dihadap-hadapkan dengan FPI dan PP karena kedua pihak ini memiliki watak organisasi yang berbeda. FPI dan PP didirikan diwilayah perkotaan. Menurut Wilson, FPI masuk kategori ‘centeng moralis’ (hal.56-7) dan Pemuda Pancasila sebagai ormas ‘beking’ (hal.97-9). Sedangkan Banser tidak keduanya.
Sejak isu Papua (kembali) menguat ke gelanggang politik Nasional, saya sudah mencium pola tak biasa namun sangat familiar. Entah kenapa, buat saya pilihan Tommy Soeharto untuk menjadi caleg di Papua adalah suatu strategi politik yang tak biasa. Jelas, yang dikejar bukan elektabilitas namun hendak menjaga sesuatu yang kita belum tahu batasannya.
Cara paling mudah memahami gerakan politik semacam ini bisa memakai cara-cara investigasi keuangan. Bila investigasi keuangan biasanya adalah follow the money, maka dalam membaca jejaring Orde Baru cukup melihat kemana ormas jalanan mengarahkan moncongnya. FPI memang pernah disebut ‘attack dog’ polisi dalam dokumen wikileaks. Sewaktu-waktu bisa ditarik ulur sesuai kebutuhan Negara. Tapi itu masa lalu, kata Munarman. sekarang FPI punya divisi khusus ‘Khilafah’.
Saya sudah mencurigai sejak awal, mengapa Tri Susanti Caleg Gerindra dan tokoh FKPPI Surabaya yang merupakan korlap ‘Pengepungan Asrama Papua hingga keluar sebutan ‘Monyet’, kemudian jejak digital memperlihatkan partisipasi FPI dalam pengepungan asrama Papua, namun kambing hitam diarahkan pada Banser?
Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua dengan jelas diikuti oleh FPI dengan korlap FKPPI. Berikut pengakuan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Surabaya, Mahdi Al Habsy yang membenarkan bahwa anggotanya mengikuti aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua, Jumat (16/8).
“Kan kita dari FPI cuma diajak sama FKPPI itu. Kan mereka yang jadi korlapnya. Kita diajak untuk berpartisipasi saja,”
Ada Banser? tidak ada!
Namun disosial media, kampanye bahwa FPI tidak terlibat begitu massif disertai narasi bahwa sebetulnya ’Banser’ hadir dalam pengepungan berbau rasis tersebut. Tentu saja mudah mengenali hoax semacam ini. Hal ini mengingatkan kita akan kejadian pembakaran Bendera HTI yang berakhir pada de-islamisasi Banser dimata umat Islam. Atau membuat Banser sekan-akan bukan Islam.
Hal itu memang diupayakan oleh para gerombolan digital (MCA). Gerombolan digital ini (ingat mereka gerombolan offline ataupun online) menyuguhi publik dengan propaganda bahwa Banser anti-Islam. Semua propaganda politik ini terlihat jelas dari gerakan 80 akun berbeda diYoutube yang memposting video pembakaran tersebut dengan narasi yang sama kurang dari satu jam. Masif terencana.
Tujuh Tuntutan yang didalamnya adalah ‘membubarkan Banser’ menjadi kunci akumulasi rekayasa konflik yang sedang dibentuk. Mungkin saja saya kehilangan beberapa domino jika poin ganjil ini tidak muncul.
Awalnya begini, apabila anda pernah membaca dokumen perjanjian antara PT Freeport dan Pemerintahan Indonesia, dan Kontrak Karyanya, mata anda akan pedih. Negara berada jauh dikaki perusahaan. Saking memalukannya, petinggi Freeport perlu membocorkan informasi kepada Newyorktimes bahwa perusahaan harus membayar biaya tambahan pengamanan Perusahaan kepada TNI-POLRI ditanah Papua. Bukannya malu, Ketua DPR-RI kita malah minta saham.
Intinya, kalau anda melihat bagaimana pemerintah dari masa ke masa setelah Orde Baru hendak menggugat kedudukan Freeport, maka berlaku mitos; bukannya Freeport yang goyang, tapi pemerintahannya yang akan bergetar.
Ketika Jokowi menggunakan mekanisme pasar untuk memiliki saham Freeport, saya kira hal itu seharusnya membuat pemerintahannya bergetar. Maka bukan hal yang aneh apabila ‘Alumni 212’ yang mengklaim sebagai suara ’umat Islam’ menampakan wajah riang gembira ketika satu meja diacara haul Jendral Soeharto bersama sang anak bungsunya, Tommy Soeharto sang Caleg di Papua.
Serangan kepada pemerintahan secara acak bahkan menggunakan elemen-elemen ormas jalanan untuk meramaikan suasana memang terjadi secara massif. Sebagaimana peristiwa 17 Oktober 1952, seandainya Soekarno tidak memiliki jendral yang setia, ‘kudeta’ Jendral A.H Nasution mungkin akan berhasil. artinya, masih banyak jendral yang setia kepada pemerintahan.
Hal di atas hanya menjelaskan mengapa Jokowi lolos dari berbagai serangan politik. Untuk Banser sendiri memang merupakan target bersama karena kedudukannya yang strategis. Kemenangan Jokowi-Ma’ruf merupakan tanda bahwa masuknya gerbong NU ke pemerintahan. Tentu dalam hal ini Banser mendapatkan posisi sangat strategis dalam kebijakan nasional. Ini berita buruk bagi Ormas yang secara terbuka menyerang Banser. .
Tapi, saya menduga Banser memang menjadi ancaman seluruh elemen watak ormas Jalanan Orde Baru karena wataknya tidak sanggup dijangkau ‘centeng moralis’ dan ormas ‘jatah preman’.
Kontrak Freeport, Pencalegan Tommy Soeharto di Papua, 7 Tuntutan Papua yang isinya ‘membubarkan Banser melalui tangan Yorrys sang Angkatan Muda Golkar dan Mantan Ketua PP, FPI yang sudah siaga di udara untuk mendiskreditkan Banser, hingga Pernyataan Hidayat Nur Wahid yang terlalu dini membela Banser merupakan gerakan satu pintu untuk transaksi kekuasaan.
Banser diserang agar NU mengendorkan posisinya dalam kekuasaan. Tradisi posisi tawar kekuasaan menggunakan ancaman disintegrasi ini merupakan tradisi kotor yang harus disudahi. Hal ini mengubur suara-suara mereka yang benar-benar menjadi korban dan dikirim ke alam baka secara tidak terhormat.