BEBERAPA tahun yang lalu saya berada dalam sebuah seminar di Universitas Monash, Australia. Pokok pembicaraannya adalah “Perkembangan Politik di Indonesia”. Ada pertanyaan dari peserta: “Mungkinkah seorang yang tidak beragama Islam menjadi presiden di Indonesia?” Penulis menjawab, kalau dilihat dari bunyi Undang-Undang Dasar ’45 hal itu dapat saja terjadi.
Jawaban ini menimbulkan berbagai macam reaksi. Karena jawaban ini, ada yang menuduh penulis telah berkoalisi dengan Benny Moerdani dan mencalonkannya sebagai Presiden RI. Lebih dari itu bahkan ada yang menuduh penulis sebagai antek orang-orang non-Muslim. Sementara di sisi lain, mereka yang tulus pada UUD ’45 melihat jawaban ini sebagai hal biasa.
Sebagaimana tertulis dalam UUD ’45 yang memungkinkan adanya seorang non-Muslim menjadi presiden di belakang hari, karena Undang-Undang Dasar kita memang tidak pernah mempersoalkan agama seorang calon presiden. Sama halnya dengan Presiden John F Kennedy dari Amerika Serikat yang tidak beragama mayoritas di Amerika Serikat yaitu agama Kristen Protestan. Atau sebagaimana suara beberapa waktu yang lalu agar Colin Powell yang berkulit hitam itu menjadi presiden dari bangsa yang mayoritas berkulit putih. Dalam hal ini berlaku kenyataan, yang terpenting adalah bunyi undang-undangnya bukan sentimen yang terkandung dalam undang-undang itu.
Bagaimana halnya dengan negara kita? Jelas terjadi kemauan berbeda ketika membuat UUD ’45. Dalam sejarahnya ada yang menginginkan UUD ’45 berdasarkan agama, ada juga yang ingin mendirikan negara sekuler. Yang belakangan ini lebih sesuai dengan kenyataan, karena sebagian penduduk Indonesia hanya Islam dalam namanya saja. Mereka dilahirkan, dikhitan, dikawinkan dan dimakamkan dengan cara Islam. Selebihnya mereka tidak tahu apa-apa tentang Islam.
Walaupun demikian, mereka tidak mau disebut Islamnya kurang dari orang-orang yang sering pergi ke masjid, atau yang mengalami pendidikan agama (secara formal) lebih banyak. Mereka juga sama-sama merasakan keislaman yang intens, seperti halnya orang-orang yang memperoleh pendidikanagama cukup dan menjalankan syariah formal keislaman. Buktinya, mereka akan marah kalau dianggap sebagai bukan Muslim dan perasaan mereka akan tersinggung jika Islam disinggung dan dilecehkan. Jangan dikira ribuan orang yang mati mempertahankan keberadaan agama Islam di Indonesia adalah mereka yang mengerti sepenuhnya arti agama tersebut dalam kehidupan. Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa untuk sesuatu yang tidak mereka mengerti, melainkan hanya mempertahankan nama belaka.
Hal seperti ini juga terjadi di Irlandia, di mana orang-orang Katolik melakukan teror terhadap orang-orang Protestan, hanya karena sejarah yang mengarahkan mereka demikian. Bahkan dapat dipastikan orang Katolik saleh yang pergi ke gereja tiap Minggu tidak akan melakukan hal itu. Agama bagi mereka tidak identik dengan kekerasan.
***
DI sinilah letak penting dari hubungan antara agama dan negara. Mungkinkah agama memotivasikan orang untuk menampilkan kekerasan guna memperjuangkan cita-cita? Jawabnya mungkin saja. Orang-orang seperti SM Kartosuwirjo dapat berbuat demikian. Baginya, tidak penting mayoritas bangsa dapat menerima pikiran-pikirannya atau tidak, yang penting instrumen negara berada di tangan, dan dengan demikian secara formal pejabat-pejabat negara berada di tangan, dan dengan demikian secara formal para pejabat negara berada di tangan orang-orang yang berasal dari agama Islam.
Ini yang membedakan dari Amerika Serikat maupun Indonesia yang berdasar UUD ’45. Terlepas dari kemungkinan hal itu dapat terjadi secara historis atau tidak. Dengan menggunakan kata lain, di negeri kita atau di AS setiap orang dapat menjadi presiden. Dia dapat saja menunjuk menteri-menteri dari agama mana pun yang dikehendakinya. Inilah sebabnya di negeri kita selamanya ada menteri yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan sebagainya.
Hal ini terjadi karena undang-undang yang ada memungkinkan hal itu, di samping itu juga untuk menampung jumlah mereka yang besar ataupun mengingat peranan kesejarahan mereka dalam membentuk negara bangsa Indonesia. Ini artinya kaum agama lain tidak tertinggal dalam perang merebut kemerdekaan. Dengan demikian mempertentangkan antara agama seseorang dengan suatu jabatan tertentu, lebih-lebih jabatan kepresidenan merupakan sesuatu hal yang naif, karena di samping bertentangan dengan Undang-Undang Dasar juga dapat melukai hati rakyat.
Sejarah telah memberikan corak yang lain terhadap kemerdekaan kita, yang harus dihormati oleh bangsa kita yang ingin maju. Kalau pikiran ini diterus-teruskan bukan tidak mungkin kita juga akan memberikan kedudukan kunci seperti Mendagri atau Menteri Keuangan kepada golongan minoritas seperti yang telah terjadi di Indonesia. Bukankah hal seperti ini telah terjadi di negeri Irak dengan Menteri Luar Negeri Thareq Azis yang beragama Kristen dan sekarang menjadi perdana menteri?
Berbagai kemungkinan ini yang terbayang di mata kita ketika membandingkan UUD ’45 dengan UUD Irak. Ketika para pemimpin gerakan Islam seperti A Wahid Hasyim, menyetujui UUD ’45 terlepas dari janji-janji lisan yang merupakan konvensi dan konsensus nasional, yang jelas redaksi UUD ’45 memungkinkan munculnya aspirasi-aspirasi nonkeagamaan dalam perkembangan UUD itu sendiri. Ini kalau persoalannya kita serahkan kepada para ahli hukum yang berkecimpung dalam Mahkamah Agung.
***
INILAH yang membuat mengapa saya sebagai Ketua Umum PBNU memberikan jawaban sesuai dengan bunyi UUD ’45 dalam seminar di Monash tersebut, saya memandang jauh ke depan dan tidak mau terikat dengan konvensi maupun janji-janji lisan. Bagi saya yang terpenting adalah kenyataan tertulis yang pada hakikatnya merupakan cermin dari komitmen bersama yang telah disepakati. Praktiskah saya, atau seorang yang berkhianat dari konvensi dan janji-janji lisan? Saya tidak ambil pusing karena bagaimanapun juga kita harus berpegang pada produk tertulis dalam kehidupan bernegara. Konvensi dan janji-janji lisan hampir tidak punya arti bagi pengendali organisasi yang tiap tindakannya memiliki akibat jauh ke depan.
Inilah yang menjadi dasar jawaban penulis atas berbagai tanggapan dan asumsi masyarakat mengenai jawaban saya yang memperbolehkan seorang non-Muslim menjadi presiden di negeri ini. Ungkapan di atas memang berasal dari penulis dan disadari sepenuhnya ketika diucapkan. Dengan kata lain ucapan itu harus diterima sebagaimana adanya. Upaya untuk menguranginya adalah sesuatu yang mengandung kepicikan pandangan yang tidak lain dalam jangka panjang akan menimbulkan kesulitan-kesulitan. Inilah suka duka kita sebagai bangsa. Daripada kita berdebat tentang tafsir suatu undang-undang demi memperjuangkan kepentingan sendiri, akan lebih baik kalau kita berlatih mendisiplinkan diri untuk taat pada undang-undang itu. Sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. Di negara maju ini masyarakat mencoba konsisten dan mendisiplinkan diri pada peraturan perundang-undangan.
Alangkah naifnya jika kita masih terus sibuk merekayasa sebuah undang-undang dengan dalih demi menegakkan undang-undang, padahal yang sebenarnya hanya sekadar menyembunyikan kepentingan politik suatu golongan tertentu. Hingga akhirnya timbul banyak kerancuan; ungkapan yang benar diangga salah tafsir, sedangkan yang sebaliknya dianggap kebenaran.
Pada kecenderungan ini pun dapat ditambahkan upaya untuk menyalahartikan ucapan yang tidak dimaksudkan oleh pengucapnya, melainkan oleh penafsirnya dianggap sebagai kesalahan ucap. Ketika penulis menyampaikan bahwa ada menteri Kabinet Reformasi yang terlibat dalam pembunuhan “tukang santet” di Jawa Timur banyak yang beranggapan bahwa ini salah tafsir. Padahal hal ini penulis sampaikan karena adanya beberapa laporan dari bawah. Tetapi ini tidaklah penting, karena sejarah akan membuktikan sendiri.
Untuk kembali pada pokok persoalan, yang penting adalah adanya teks tertulis dari undang-undang yang harus dipegang bersama. Warga negara tidak boleh menggunakan tafsiran berdasarkan apa yang mereka ingat, melainkan berdasarkan apa yang mereka baca. Ini penting sekali untuk memberikan penjelasan kepada teks undang-undang dasar. Sebuah sikap yang berbeda akan mengaburkan perbedaan pandangan jika tanpa didasari pada suatu yang jelas.
Kenyataan di atas inilah yang harus kita pegang, jangan sampai kita mengulangi hal yang sama, dilihat dari segala sudut gerakan Islam formalis berada pada posisi lemah. Baik keuangan, administratif maupun yang lainnya. Di samping itu mayoritas kehendak umat Islam yang cenderung kultural, tidak memandang formalisme Islam. Mereka justru lebih tertarik pada isu-isu kemanusiaan, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan penguatan ekonomi rakyat.
Dengan demikian formalisme Islam akan mendapat tantangan yang serius bahkan dari kalangan Islam sendiri. Inilah yang perlu kita renungkan lebih jauh dalam kehidupan berbangsa kita saat ini.
Sumber; KOMPAS Sabtu, 21-11-1998.