Kitab suci Al-qur’an berkali-kali menandaskan, bahwa masalah kecukupan adalah masalah yang kerapkali mengganggu hidup manusia. Dikatakan; “Telah membuat kalian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang kubur” (al-hakum al-takatsur hatta zurtum al-maqabir), jelas dari ayat ini bahwa, upaya mengejar harta sebanyak mungkin dapat melupakannya dari Tuhan, apalagi bila si penderita adalah sesama manusia. Dengan demikian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentukan bahwa manusia harus bersama-sama dalam kehidupan, termasuk dalam mencari apa yang dinamakan “kecukupan” (affluence society), baik yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat.
Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pemikiran Islam ada batasnya, yaitu mencapai tingkat perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama. Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, dan senantiasa dilupakan bahwa ada manusia lain yang menjadi korban. Persaingan bebas tidak lagi mempedulikan siapa korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi pihak yang kalah dalam bentuk kecukupan minimal yang disediakan bagi warga negara. Contoh yang paling umum terjadi dalam asuransi sosial yang memberikan kepada orang yang menganggur 80% pendapatan tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asuransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebutuhan terendah seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama pemerintah, yakni; penyediaan jaminan sosial yang mencukupi kebutuhan standart akan kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerintah menyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan para penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan baru yang tadinya tidak dapat mereka masuki.
Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari persaingan bebas, maka pemerintah akan mampu menanggulangi masalah pengangguran itu dengan menetapkan dasar kecukupan minimal bagi seorang warga negara di bawah garis minimal itu, kalau tercapai jumlah yang ditentukan itu, berarti pemerintah sudah melaksanaakan tugas. Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian minimal tersebut, dan selebihnya manusia dapat mengejar ketinggian maksimal dalam keenakan hidup secara material. Hal ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan ukuran-ukuran pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan yang pincang; masyarakat gay, masyarakat lesbi dan bahkan perkawinan antar sesama lelaki dan perempuan, hingga tak mengherankan jika dalam institusi perkawinan pun juga terjadi perkembangan yang sedemikian rupa. Di sini, sudah tentu ukuran-ukuran moral yang kita ikuti selama ini justru “mengganggu” lembaga-lembaga baru yang akan diwujudkan, seperti P4 (Panitia Penyelesaian perkawinan dan Perceraian).
Dan, sudah tentu pengembangan ukuran materialistik bagi warga negara harus diwujudkan guna pencapaian masyarakat yang sejahtera bagi para warganya. Tetapi, ini tidak meninggalkan ukuran-ukuran moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat digantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandinavia, bahwa angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan besarnya rasa tidak puas atas tatanan spiritual yang dikembangkan. Sikap netral yang tidak memihak pada si lemah, membuat para warga negara gundah perasaannya. Di tengah-tengah kemakmuran serba benda tersebut, ternyata manusia tidak cukup dilayani dengan struktur materialistik belaka, melainkan juga membutuhkan institusi-institusi lain yang lebih mengarah kepada hal-hal spiritual dalam negara yang diperintah oleh kaum sosial demokrat. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil bentuk munculnya nasionalisme sempit atau rasionalisme modal baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut diri mereka memenangkan golongan konservatif.
*****
Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi perhatian benar bagi pemrintah, paling jauh hanya ditangani aspek psikologisnya saja. Yang bersifat materialistik contohnya adalah manusia lanjut usia (Manula). Dalam masyarakat kita, jumlah ini semakin lama semakin bertambah besar, karenanya di berbagai negara di bangunlah sejumlah rumah panti jompo bagi para warga negara yang mencapai usia manula. Mereka berkumpul di rumah-rumah jompo dan hidup bersama manula-manula lain. Negara tidak melihat hal yang aneh dalam keterpisahan (isolasi) antara sesama warga negara. Jadi, yang diperhatikan adalah aspek keterpisahan dari sudut psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari keluarganya.
Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan, seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manula atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawaban-jawaban atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula, dapatkah jawaban-jawaban seperti itu menjadi sama bagi warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara tertentu saja? Karena itu, diperlukan sejumlah lembaga yang dipimpin oleh para pakar dari berbaagai bidang untuk memadu jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi sejumlah kebijakan umum.
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan pertimbangan-pertimbangan kepakaran yang lain. Karenanya, menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam melihat masalahnya tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan secara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan penting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multi-fungsi dan multi-bidang seperti ini.
*****
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerapan-penerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang bersifat sangat sulit dan sangat komplek dalam kehidupan nyata. Karenanya, kita harus bersikap hati-hati dalam masalah ini; kita tidak dapat berlepas-tangan dari aspek-aspek penyediaan jawaban dari sudut pandangan agama atau justru hanya mengandalkan diri.
Pendekatan ini menjadi sesuatu yang bersifat komprehensif, di mana berlawanan dengan lembaga yang lain dari pemerintah yang sama, guna memungkinkan jawaban-jawaban dalam hal ini. Penulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tindakan-tindakan manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata, sungguh rumit bukan?
Jakarta, 23/8/2002
Duta Masyarakat Baru