Dalam beberapa dekade ini, industri giat memberi label halal pada produk-produknya. Sebuah tren untuk menarik minat konsumen agar semakin yakin bahwa apa yang dibelinya sudah sesuai dengan syariat Islam. Pelabelan ini tidak hanya ada di sektor makanan atau kuliner saja, tetapi cakupannya mulai merambah ke sektor wisata, fashion, barang non-konsumsi, dan lainnya.
Sebelum lebih jauh membahas pelabelan halal ini, coba kita telisik terlebih dahulu bagaimana pendapat para ulama terkait dengan istilah halal.
Kata halal merupakan istilah yang terdapat dalam Al-Quran yang digunakan dalam berbagai tempat dengan konsep yang berbeda, yang sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman.
Halal secara bahasa, menurut sebagian pendapat berasal dari akar kata الحل yang artinya ( الإباحة ), yakni sesuatu yang dibolehkan menurut syariat. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata halal memiliki arti “terbuka” ( الفتح ). Secara istilah, berarti setiap sesuatu yang tidak dikenakan sanki penggunaannya atau sesuatu perbuatan yang dibebaskan oleh syariat untuk dilakukan.
Abu Muhammad al-Husayn dari mazhab Syafi’i berpendapat, kata halal berarti sesuatu yang dibolehkan oleh syariat karena baik. Ulama lain, Abdurrahman ibn Nashir ibn al-Sa’di’ ketika mendifinisikan kata halal lebih menyoroti kepada bagaimana cara memperolehnya, yakni bukan dengan cara ghasab, mencuri, dan bukan sebagai hasil mu’amalah yang haram atau berbentuk haram.
Terkait dengan batasan halal, Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan bahwa wilayah keharaman dalam syariat Islam sangatlah sempit. Sebaliknya, wilayah kehalalan terbentang sangat luas. Karena nash yang datang dengan pengharaman sedikit sekali jumlahnya. Selain itu, sesuatu yang tidak ada nash yang mengharamkan atau menghalalkannya, ia kembali kepada hukum asalnya, yakni boleh.
Kembali pada pembahasan pelabelan halal.
Dalam sejarahnya, pelabelan halal (di Indonesia) sebenarnya bukan suatu hal baru yang muncul dalam dasawarsa terakhir. Dikutip dari berbagai sumber, aturan terhadap pelabelan halal sebuah produk sudah dimulai sejak tahun 1976 lalu, yakni berupa Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280 Tahun 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan Berasal dari Babi.
Hingga saat ini, pelabelan tersebut berkembang sedemikian rupa, mulai dari pelabelan halal terhadap barang kosmetik, wisata, fashion, dan lain-lain. Jika ditarik ke atas, maka yang tergambar adalah pertemuan agama pada titik bisnis dan industri.
Pada satu sisi, pelabelan halal ini penting agar konsumen merasa nyaman dan aman dengan apa yang dikonsumsinya. Mengingat konsumen di Indonesia sebagian besarnya merupakan umat Muslim. Pada sisi yang lain, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya pelabelan halal ini semacam menampilkan iklan agar dapat menumbuhkan profit bagi pelaku bisnis suatu produk.
Sebagai contoh, sering kita temui pelabelan halal yang ditampilkan pada produk non-konsumsi seperti pelabelan halal pada kulkas. Hampir dapat dipastikan, ada di antara kita yang menganggap hal tersebut bukan hal yang lumrah. Aneh, malah. Lantas dalam benak penulis sendiri muncul pertanyaan anekdot seperti ini: “Masak semacam kulkas aja harus pakai label halal? Emang kalau kita isi kulkas itu dengan daging babi bisa jadi halal?”
Mari kita coba rincikan satu persatu. Penjelasan yang sebelumnya sudah disebutkan bahwa kriteria halal perlu diperhatikan bagaimana memperolehnya, yakni bukan dengan cara ghasab, mencuri, dan bukan sebagai hasil mu’amalah yang haram atau berbentuk haram. Di lain sisi, wilayah kehalalan lebih luas jika dibandingkan dengan wilayah keharaman, alias selama tidak ada nash yang mengharamkan atau menghalalkannya, ia kembali kepada hukum asalnya, yakni boleh.
Kembali pada pembahasan pelabelan halal pada kulkas. Kulkas sendiri merupakan alat untuk menyimpan makanan agar tidak mudah basi, dapat juga digunakan untuk mendinginkan makanan. Maka dari itu ketika pembuatan produk, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana proses pembuatannya. Harus dipastikan kalau bahan baku yang digunakan adalah bahan baku yang halal, baik dari zat nya, maupun cara memperolehnya.
Coba kita bayangkan, jika bahan baku pembuatan penyimpan makanan tersebut berasal dari zat yang najis. Lantas kita menyimpan makanan ditempat yang najis, dan kemudian kita konsumsi makanan tersebut tanpa mensucikannya terlebih dahulu. Bukankah memakan makanan yang tersentuh najis hukumnya haram?
Wallahu a’lam bisshawab. [rf]