Mengapa sih Kulkas Saja Harus Halal?

Mengapa sih Kulkas Saja Harus Halal?

Kulkas Halal, bagaimana sih seharusnya bersikap?

Mengapa sih Kulkas Saja Harus Halal?
Kulkas Halal muncul, bagaimana sih kita bersikap?

Kemunculan iklan kulkas dengan label halal pada sebuah iklan membuat kita bertanya,  kenapa sih sampai segitunya memberikan label halal? Lalu, bukankah kulkas bukan merupakan produk makanan, kosmetik, dan obat-obatan, mengapa kemudian mesti mendapatkan sertifikasi halal?

Jauh sebelum munculnya kulkas halal, dua tahun sebelumnya, pada tahun 2016, muncul kontroversi di ruang publik Indonesia ketika Zoya, perusahaan jilbab yang diperuntukkan kelas menengah, mengeluarkan sebuah produk jilbab dengan label halal dari MUI Jawa Barat. Maksud halal di sini, adalah merupakan bahan baku yang digunakan untuk membuat jilbab tersebut. Dengan mengeluarkan produk iklan jilbab dengan label halal, hal ini mengandaikan bahwasanya di luar produk Zoya tersebut berarti bahan jilbabnya tidak halal. Namun, setelah munculnya kontroversi sekaligus kritik kepada iklan Zoya ini, Sigit Endroyono, Creative Director Zoya kemudian meminta maaf dan kemudian melalui konferensi media, ia menarik materi iklan tersebut (www.tribunnews.com, 9 Februari 2018).

Sama persis dengan penjelasan sertifikasi halal jilbab Zoya, maksud dari kulkas yang mendapatkan sertifikasi halal di sini adalah kandungan produk, teknologi, dan proses produksinya dalam pembuatan materi kulkas tersebut. Bahkan, menurut Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (KF MUI), Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA., di laman resmi LPPOM-MUI, www.halalmui.org, meskipun kulkas bukan kategori produk pangan, melainkan masuk dalam barang gunaan, makanya waji mendapatkan sertifikasi halal menurut Undang-undang No. 3 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) (www.tribunews.com, 5 Mei 2018).

Pertanyaan sama juga diajukan dalam konteks ini, jika hanya kulkas Sharp yang halal, bagaimana kulkas-kulkas yang lain, yang selama ini digunakan oleh masyarakat Indonesia dan kebetulan tidak menggunakan merek tersebut? Apakah kulkas yang mereka gunakan menjadi tidak halal?

Dua pertanyaan ini merupakan gugatan umum di tengah pembedaan sebuah produk baru yang dianggap lebih Islami dan menyelamatkan keislaman seseorang. Apalagi, produk ini tidak terkait dengan isu yang selama ini dibahas mengenai persoalan sertifikasi halal, baik itu makanan, kosmetik, ataupun bahan untuk obat-obatan.

Kemunculan sertifikasi kulkas halal tidak bisa sekedar dibaca hanya semata-mata faktor agama, yaitu proses kehalalan yang merupakan faktor terpenting umat Islam untuk mengkonsumsi sebuah barang sehingga dapat menjauhi hal yang dilarang oleh agama. Sebaliknya, konteks ekonomi dan artikulasi momentum serta  sosial bagaimana produk kulkas halal ini muncul menjadi tiga faktor penting untuk dilihat. Ketiga hal itu yang menjadi kunci bagaimana memahami praktik-praktik sertifikasi halal ini. Ini karena, adanya sertifikasi halal bukanlah semata-mata untuk kebaikan konsumen, khususnya masyarakat Muslim, melainkan ada nilai profit yang coba direguk di sana.

Di tengah proses revolusi teknologi, perusahaan teknologi raksasa Jepang yang menguasai dunia, mulai dikalahkan oleh perusahaan teknologi dari Korea Selatan. Sharp adalah satu dari tiga perusahaan raksasa Jepang yang mengalami kerugian berturut-turut, khususnya kegagalan dalam penjualan panel LCD di mana perusahaan tersebut melakukan investasi besar-besaran di tengah krisis finansial pada tahun 2008. Di pasaran, panel LCD Samsung, Korea Selatan lebih diminati. Selain lebih murah, juga adanya peralihan TV digital, di mana Samsung bisa lebih beradaptasi. Di ujung keberangkutan itulah kemudian Foxconn resmi mengakuisisi Sharp awal April 2016 (tirto.id, 18 Mei 2016).

Selain itu, adanya struktur hierarkis sosial antara senioritas dan yunioritas dalam perusahaan Jepang, di mana keputusan harus diambil oleh rapat pimpinan tertinggi menjadi faktor lain mengapa Jepang tertinggal di tengah kecepatan kemajuan teknologi yang selalu menuntut keputusan dan perubahan dengan cepat.

Meskipun kalah bersaing dengan produk buatan Korea Selatan, tetapi Sharp unggul dalam lemari es. Hal ini tercermin dari ucapannya Andri Adi Utomo, Senior General Manager Sales & Marketing Division Sharp, “Sharp paling kuat di lemari es. Kami menjual lebih dari 100 ribu unit dalam sebulan di seluruh Indonesia. Kemudian, berturut-turut LCD TV, mesin cuci, dan AC untuk kontribusi penjualan Sharp di Indonesia”. Di sini, selain memiliki produk lemari es yang beragam, baik dari 1-6 pintu, harganya juga bervariasi sehingga bisa dijangkau pelbagai kalangan (swa.co.id, 11 Mei 2012). Bahkan, menurut Andri, yang kini posisinya menjadi Domestic National Sales Senior General Manager PT SHARP Electronics Indonesia, mencatat bahwa hingga pada kuartal pertama 2018 tercatat sudah 250.000 lemari es yang terjual. Lebih jauh, menurutnya, “secara kuantitas, pada tahun 2017 kita menjual 1 juta unit untuk lemari es”.

Meskipun sudah menjadi produsen lemari es nomor satu, menguasai hingga 26,6 persen pangsa pasar di Indonesia, ia tidak merasa puas dengan kinerja tersebut. Pelbagai strategi marketing digunakan untuk meningkatkan penjualan kulkas tersebut, salah satunya meminta sertifikasi halal MUI. Dengan kata lain, dari ucapan Andri, sertifikasi halal MUI merupakan strategi marketing untuk menguasai lebih luas pasar kulkas di Indonesia. Apalagi peluncuran sertifikasi kulkas halal ini bertepatan dengan jelang datangnya bulan Ramadhan.

Secara sosial, populasi kelas menengah Muslim Indonesia pasca rejim Orde Baru juga meningkat. Namun, peningkatan kelas menengah Muslim ini tidak diiringi dengan ide-ide cosmopolitan. Kelas menengah Muslim ini tumbuh secara bertolak belakang. Satu sisi, menjalankan kehidupan Islam menjadi lebih puritan. Di sisi lain, mereka menjadi sangat konsumtif tidak hanya dalam persoalan membeli barang, melainkan juga ketertarikan terhadap sesuatu hal yang berkait dengan Islam.

Dalam konteks ini juga kita bisa melihat bagaimana pengajian dan praktik-praktik ibadah yang diselenggarakan, seharusnya bersifat lebih privat tidak lagi sekedar medium untuk menuntut ilmu, tapi ritual menunjukkan kesalehan di ruang publik. Umrah tidak lagi sebagai bentuk ibadah melainkan juga bagian dari tamasya yang dipertontonkan melalui penunjukkan foto melalui media sosial. Ironisnya, kondisi ini juga berimbas kepada pilihan-pilihan politik. Demonstrasi 212 yang menuntut dalam memenjarakan Ahok merupakan cermin bagaimana watak konservatisme dalam kelas menengah Muslim Indonesia, khususnya pada wilayah urban, ini bekerja.

Atas nama sentimen agama, meskipun berpendidikan tinggi, nalarnya tumpul saat membicarakan keadaban publik. Memilih figur politik seakan menjadi cermin atas kesalehan yang sedang dibangun tanpa mengkritisi lebih detail bagaimana sentimen keagamaan itu sebenarnya digunakan oleh predator politik dalam mendapatkan suara lebih banyak untuk meraih kekuasaan.

Dalam dua konteks inilah menjadi seorang Muslim kemudian kehilangan kepekaan dan daya kritis terhadap penggunaan simbol keagamaan. Seolah-olah hanya karena menggunakan simbol dan sentimen hal itu dianggap berpihak dan mencerminkan nilai-nilai keislaman. Pilkada DKI Jakarta kemarin dan Pilpres 2019 yang akan datang ini menjadi cermin bagaimana penggunaan sentimen agama sambil melucuti lawan politik yang dianggap cerminan anti-Islam.

Sementara itu, saat predator politik mempraktikan kekuasaannya di luar etika dan ajaran Islam, mereka kemudian diam seribu bahasa atas pilihan politik yang diambilnya. Padahal, hal itu justru digunakan sekedar medium untuk memenangkan kekuasaan. Dalam konteks korporasi, sertifikasi halal, kemudian menjadi alat penguat kapitalisme untuk menguasai pasar masyarakat Muslim Indonesia, dengan menjadikan lemari es menjadi lebih terlihat Islami. Meskipun tujuan utamanya, bukanlah agar lemari es menjadi lebih Islami sehingga tidak mengkhawatirkan saat digunakan untuk menaruh makanan. Sebaliknya, hal itu bertujuan komersialisasi, agar barang itu laku di tengah masyarakat Muslim yang konsumtif.