Seorang anak hitz zaman now berujar lewat akun Instagram, isinya kurang lebih seperti ini: “Iri deh liat teman-teman yang udah hijrah. Jadi pengen hijrah juga. Tapi, kalau udah hijrah, masih boleh nge-like foto artis ganteng nggak ya? Masih boleh belanja online nggak ya? Masih boleh ngefans sama artis Korea nggak ya?”
Apakah Anda sedang berhijrah saat ini? Akankah pertanyaan di atas juga menjadi kegalauan Anda? Jika iya, bagaimana cara anda menyikapinya? Jika Anda pengguna aktif media sosial, terlebih Instagram, tentu sudah tak asing lagi dengan kata ‘hijrah’. Namun, ‘hijrah’ di sini tidak dimaknai sebagaimana adanya.
KBBI mendefinisikan hijrah sebagai perpindahan Nabi Muhammad bersama sebagian pengikutnya dari Mekkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dsb dari tekanan kaum kafir Quraisy Mekkah. Definisi lain yaitu berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dsb).
Adapun ‘hijrah’ yang saat ini dimaknai oleh para generasi milenial lebih pada perubahan sikap, gaya hidup dan tata cara berpakaian yang sesuai syariat Islam.
Apabila dicermati dengan seksama, interpretasi kata ‘hijrah’ yang baru ini sebenarnya masih memiliki kaitan dengan apa yang didefinisikan oleh KBBI yakni ‘berpindah dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik’. ‘Hijrah’ dalam perspektif yang baru dimaknai lebih personal, yakni perpindahan dari diri dengan segala masa lalu buruknya ke diri yang baru dan fitrah.
Penggunaan kata ‘hijrah’ semakin marak di tahun 2016-an yang sering disandingkan dengan selebgram-selebgram saleh bersuara merdu. Kata ini seketika menjadi primadona, dipakai di mana-mana. Akun-akun Instagram dengan kata ‘hijrah’ bermunculan, hasthtag-nya pun demikian.
‘Hijrah’ ala generasi milenial tak mengharuskan Anda untuk meninggalkan suatu tempat. Alih-alih pindah, yang harus Anda lakukan adalah mengubah sikap dan prilaku yang sesuai dengan tuntunan Islam.
Generasi milineal yang berhijrah identik dengan perubahan yang signifikan terhadap cara berpakaian, yang dulunya memakai jeans dan pakaian ketat, kini berubah menjadi lebih syar’i, dengan kerudung panjang dan lebar menutupi dada dan baju yang longgar, bahkan bercadar. Laki-laki cenderung memanjangkan jenggot dan memendekkan celananya di atas mata kaki.
Konten-konten yang mereka bagi di media sosial pun cenderung sama, yakni ceramah singkat ustaz-ustaz yang sedang terkenal di media sosial seperti Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Khalid Basalamah, Ustaz Hanan Attaqi dan Ustaz Abdus Somad.
Konten lain berupa kata-kata motivasi untuk memperbaiki diri agar jodohnya dipercepat, motivasi untuk menjauhkan diri dari pacaran, termasuk konten-konten yang menyerukan untuk melakukan nikah muda.
Indikasi yang paling mudah dilihat, khususnya bagi para perempuan yang sedang memulai ‘hijrah’nya adalah terhapusnya foto-foto selfie yang menampakkan wajah ayu mereka. Jikalau ingin mengunggah foto selfie, mereka akan menutupi wajah mereka dengan tangan atau meletakkan emoticon sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak terekspos dengan sempurna. Hal ini dilakukan karena mereka meyakini pandangan bahwa wajah adalah aurat yang harus ditutupi, bukan diumbar dan menjadi konsumsi warganet.
Dari putus cinta hingga tren
Ada beragam motivasi berhijrah. Umumnya dikarenakan kegagalan dalam percintaan, diputusi atau diselingkuhi oleh sang pacar sehingga merasa terluka dan mendekatkan diri kepada Allah, agar segera digantikan dengan jodoh baru yang lebih baik.
Ada pula yang memandang hijrah sebagai tren, sehingga untuk memperkukuh eksistensinya sebagai generasi kekinian yang islami, mereka juga ikut berhijrah. Namun, ada juga yang memang sungguh-sungguh dari awal ingin memperbaiki diri dikarenakan kesadaran dari dalam diri, bukan dipengaruhi oleh kegagalan percintaan di masa lalu atau ikut tren belaka.
Ketika memutuskan berhijrah, mereka perlahan menarik diri dari pergaulan dan gaya hidup yang tidak bernapaskan Islam. Hal ini dikarenakan esensi hijrah yang memang erat kaitannya dengan nilai-nilai religius. Selain cara berpakaian, mereka pun menghindari penggunaan bahasa Inggris dalam interaksi di media sosial. Istilah seperti goodluck, Get well soon, Thank you dsb dicarikan padanannya ke dalam bahasa Arab karena identitasnya sebagai “bahasa umat Islam”. Idola mereka pun berpindah haluan kepada para hafiz dan tokoh-tokoh Islam.
Bagi mereka yang dahulunya sangat terobsesi dengan pesona artis, seorang k-popers, dan gemar belanja online, sekonyong-konyong akan timbul kegalauan seperti pembuka tulisan ini saat ingin berhijrah. Meskipun sebenarnya sah-sah saja menyukai artis korea dan belanja online, tetapi mereka yang berhijrah merasa bahwa gaya hidup semacam itu tidak matching dengan apa yang sedang mereka jalani, sebab sekali lagi, hijrah dan gaya hidup islami adalah kesatuan yang utuh.
Menyadari atensi generasi milenial yang baru berhijrah, media sosial akhirnya memanfaatkan kesempatan ini dengan menjadikan akun-akun yang beratmosfer hijrah, tidak hanya untuk memberikan tuntunan dan motivasi berhijrah yang benar, tetapi juga sebagai sarana untuk berjualan. Tak jarang, akun-akun hijrah tersebut mengunggah gambar produk seperti gamis syar’i, satu set kerudung dan cadar, kaos, serta buku.
Untuk meningkatkan daya tarik, biasanya produk tersebut dipromosikan (endorse) oleh selebgram yang juga melakukan hijrah yang sama. Mereka akhirnya memiliki ruang untuk menyalurkan hasrat belanja. Semakin kuatlah gaya busana khas para penghijrah yang modis nan syar’i. Begitulah, perkawinan antara agama dan komodifikasi tak bisa dinafikan sebagai alasan mengapa hijrah ala generasi milenial sangat digandrungi.
Akhirnya, hijrah generasi milenial tidak hanya memindahkan gaya hidup yang dulu ke gaya hidup yang sekarang (yang diyakini jauh lebih baik dan islami), tetapi juga bagian dari fenomena sosial untuk memperkuat identitas sebagai generasi hitz zaman now versi syariah.
Selengkapnya, klik Alif.id