Belasan tahun silam, cerita pendek gubahan Umar Kayam berjudul Marti tersaji di koran nasional. Kita mengandaikan ribuan pembaca menikmati cerita dan membuat tafsir Lebaran. Kebiasaan berkumpul keluarga besar di rumah untuk reriungan, sungkeman, dan makan bersama mulai dianggap kuno.
Orang-orang memiliki pilihan meninggalkan rumah dan mengalami Lebaran di hotel. “Akhirnya mereka memutuskan untuk melewatkan hari-hari Lebaran di suatu hotel berbintang empat di pinggir pantai. Hotel itu indah, mewah, kamar-kamarnya luas, jendela-jendela lebar menghadap ke laut,” tulis Umar Kayam dalam pembuka cerita.
Marti dan suami tak lagi mau berkumpul bersama keluarga. Mereka meninggalkan rumah, memanjakan diri di hotel. Dalih suami Marti, “Kamu itu belum bosan to dengan kumpul-kumpul Lebaran. Repot, rebyek, sungkem sini, sungkem sana, makan, makan, makan, untuk kemudian jatuh KO.” Lebaran di hotel bakal memberi kenikmatan tiada tara. Hotel dijadikan oposisi dari rumah.
Kini, Lebaran di hotel sudah lumrah. Di hotel, tamu tinggal setor duit untuk mendapatkan pelbagai fasilitas. Kamar bersih, rapi, dan wangi. Pemanjaan selera makan bisa dituruti. Usaha mencari hiburan gampang dipenuhi. Lebaran di hotel jadi capaian kepuasan dan kesenangan tanpa direpotkan tradisi-tradisi cap Indonesia.
Marti sempat menuduh usulan Lebaran di hotel itu absurd. Penjelasan-penjelasan suami perlahan memberi kepastian usulan itu masuk akal. Marti pun menikmati Lebaran di hotel. Nuansa Lebaran masih tersisa di sekeranjang makanan kaleng dan botol minuman pemberian dari perusahaan suami. Kartu ucapan disertakan, “Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kerasan tinggal di hotel ini.” Makna Lebaran itu kerasan di hotel.
Hari-hari menjelang Lebaran, hotel-hotel di pelbagai kota rajin promosi dan mengiklankan diri. Pelbagai program disajikan ke publik agar bernafsu tinggal di hotel. Lebaran tak wajib lagi di rumah. Di hotel, Lebaran pun bermakna.
Empat dalih dan bujukan agar orang-orang mau menginap di hotel: (1) rumah kerabat sudah penuh oleh sanak saudara; (2) kelelahan dan mengantuk di tengah perjalanan mudik; (3) ditinggal asisten rumah tangga; (4) batal mudik ke kampung halaman.
Penjelasan agak keterlaluan tercantum di dalih ketiga. Kita dianjurkan tidak perlu repot mengurusi rumah saat asisten rumah tangga sedang mudik. Kerepotan tak bakal terjadi jika kita memilih “mengungsi” ke hotel. Kita berhak memanjakan diri mendapat fasilitas-fasilitas di hotel asal berduit. Lebaran cenderung ingin diartikan orang boleh malas.
Di hotel, tamu bisa menghindari kesibukan dan kerepotan andai masih menuruti tradisi dengan berkumpul bersama keluarga besar di rumah. Derajat santai dan kenikmatan tentu berbeda meski menggunakan acuan tak setara.
Di hotel, nuansa Lebaran diciptakan agar bisnis tetap berlaba. Di lembaran “Klasika Jateng & DIY” dimuat di Kompas, 8 Juni 2018, kita membaca sekian iklan hotel bertema Lebaran. Iklan dari hotel ternama di Jogjakarta, “Hotel Santika Premiere Joga mempersembahkan ragam hidangan khas Lebaran untuk melepas kerinduan pada kampung halaman.”
Bujukan berbeda diberikan oleh Hotel di Semarang, “Hotel Grasia memberikan penawaran menarik untuk tamu yang akan menginap di Semarang pada periode Lebaran ini. Hanya dengan Rp 600.000 per malam, tamu dapat menginap di kamar tipe superior dan menikmati sarapan pagi untuk dua orang. Ditambah, tamu akan mendapat oleh-oleh khas Semarang dari Hotel Grasia.”
Kita mulai gamang membandingkan cerita pendek Marti dan ketekunan hotel-hotel mengadakan iklan demi Lebaran. Peristiwa dalam cerpen telah terbukti. Pada 2018, Lebaran di hotel menjadi kelaziman. Di pelbagai kota, jumlah hotel terus meningkat dan membuktikan Indonesia sah sebagai “negeri sejuta hotel.” Dulu, hotel dimengerti tempat menginap dan beracara bisnis, politik, hiburan, dan pelesiran. Hotel-hotel perlahan mendefinisikan diri sebagai tempat “religius”.
Semula, bisnis hotel berkaitan rapat, seminar, festival, karnaval, dan konser musik. Ramadan dan Lebaran pun masuk dalam hitungan bisnis. Kesan religius semakin melekat ke hotel. Ratusan ribu orang mudik ke kampung halaman untuk berjumpa rumah dalam kehangatan dan nostalgia rindu-dendam bersaing ribuan orang “mengungsi” ke hotel demi keuntungan dan kenikmatan. Begitu.