Dalam sejarah panjang peradaban Islam, seni penerjemahan adalah aspek penting yang sering kali tersembunyi namun sangat krusial. Penerjemahan dari bahasa non-Arab ke bahasa Arab tidak hanya menjadi jembatan antara berbagai budaya dan ilmu pengetahuan, tetapi juga katalisator utama dalam penyebaran pengetahuan yang mengubah wajah intelektual dunia.
Ketika Islam menyebar ke Syria dan Irak, kaum Muslimin menemukan bahwa wilayah ini dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan, terutama Yunani dengan pemikiran Neoplatonisme, serta pengaruh Nasrani, Buddha, dan Zoroaster. Ketertarikan terhadap kebudayaan ini mendorong Dinasti Umayyah di Damaskus untuk mulai menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Pada masa Dinasti Umayyah, penerjemahan ilmiah mulai dilakukan meskipun fokus utama dinasti ini adalah ekspansi wilayah dan penegakan kekuasaan. Usaha penerjemahan awal mencakup teks-teks medis dan matematika dari bahasa Yunani ke Arab. Salah satu tokoh penting pada masa ini adalah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (634-704 M), yang memperkenalkan filsafat Neoplatonisme kepada dunia Islam setelah belajar di Iskandaria dan menerjemahkan berbagai buku tentang filsafat, kedokteran, astronomi, dan sastra.
Salah satu naskah yang berhasil diterjemahkan pada masa ini adalah Kanash fi al-Thib oleh Ahran al-Qis atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (680-720 M) dengan bantuan dokter Masarjawaih, seorang dokter dari Bashrah yang berketurunan Israel dan ahli dalam kedokteran.
Penerjemahan mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya selama pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun. Pendirian Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad pada awal abad ke-9 merupakan tonggak penting. Baitul Hikmah berfungsi sebagai pusat penelitian, pendidikan, dan penerjemahan terbesar di dunia Islam saat itu. Di sini, banyak teks dari Yunani, Persia, dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Al-Ma’mun sangat mendorong penerjemahan setelah konon bermimpi bertemu Aristoteles, yang meninggalkan kesan mendalam baginya. Para ahli penerjemah diminta menerjemahkan karya-karya Yunani kuno, yang dikenal sebagai “Ulum al-Awail” (ilmu-ilmu kuno). Beberapa penerjemah penting dari periode ini adalah Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq (809-873 M), seorang ilmuwan Nasrani yang menguasai berbagai bahasa dan ilmu pengetahuan. Hunain bin Ishaq sangat terkenal karena menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani, khususnya Platon dan Aristoteles.
Di antara para penerjemah terkenal adalah Abdullah bin al-Muqaffa’ yang menerjemahkan karya-karya Aristoteles dalam bidang logika, serta Abu Yahya al-Bathriq yang menerjemahkan buku-buku kedokteran oleh Jalianus dan Abqarat. Anaknya, Yahya, menerjemahkan karya Aristoteles berjudul al-Siyasah fi Tadbiri al-Riyasah. Selain mereka, ada juga Georges bin Jibrail bin Bakhtisyu’ yang menerjemahkan buku-buku kedokteran dan al-Hajjaj bin Yusuf bin Mathar yang menerjemahkan karya arsitektur oleh Ekledes.
Penerjemahan dari bahasa non-Arab ke bahasa Arab memainkan peran sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Proses ini bukan hanya tentang mentransfer informasi, tetapi juga tentang pertukaran ide yang membentuk dasar bagi kemajuan intelektual umat Islam. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina tidak hanya menerjemahkan tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan.
Al-Kindi yang dikenal sebagai “Filsuf Arab” mempelopori penerjemahan dan pengembangan filsafat dan matematika. Al-Farabi sering disebut sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, memberikan kontribusi besar dalam penerjemahan dan komentar terhadap karya-karya Aristoteles. Ibn Sina yang juga dikenal sebagai Avicenna, adalah ilmuwan dan filsuf yang karyanya sangat dipengaruhi oleh penerjemahan teks Yunani dan Persia.
Metode penerjemahan pada masa ini sangat bervariasi. Para penerjemah sering kali tidak hanya menerjemahkan teks secara harfiah, tetapi juga memberikan interpretasi dan penjelasan untuk memastikan konsep-konsep yang rumit dapat dipahami dalam konteks budaya Arab. Ini mencakup penyesuaian istilah teknis dan konsep ilmiah agar sesuai dengan kerangka berpikir dan praktik ilmiah di dunia Islam.
Pada abad ke-11 dan ke-12, penerjemahan mengalami perkembangan signifikan di wilayah Andalusia, khususnya di kota Cordoba dan Toledo. Cordoba, yang pada masa itu merupakan salah satu pusat kebudayaan dan ilmiah terkemuka di Eropa, memainkan peran penting dalam menerjemahkan teks-teks Arab ke dalam bahasa Latin. Proses ini melibatkan penerjemahan karya ilmiah, sastra, dan filsafat.
Di dunia Islam Timur, penerjemahan juga memiliki dampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah periode kejayaan Abbasiyah, pusat-pusat ilmiah di Persia dan India melanjutkan tradisi penerjemahan. Salah satu contoh penting adalah upaya penerjemahan di kota-kota seperti Samarkand dan Bukhara, di mana para ilmuwan tidak hanya menerjemahkan teks dari kebudayaan Yunani dan Persia tetapi juga menyusun kembali dan memperluas pengetahuan yang ada untuk memperkaya tradisi ilmiah Islam.
Penerjemahan dari bahasa non-Arab ke bahasa Arab memiliki peran vital dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam. Proses ini tidak hanya sebagai alat untuk mentransfer informasi, tetapi juga sebagai medium untuk pertukaran ide yang membentuk dasar bagi kemajuan intelektual umat Islam. Dari era klasik hingga pertengahan, penerjemahan telah mempengaruhi berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat, dan berkontribusi pada penyebaran dan pengembangan pengetahuan di seluruh dunia Islam.
(AN)