Tradisi Pesta Lomban di Jepara: Kita dan Laut adalah Saudara

Tradisi Pesta Lomban di Jepara: Kita dan Laut adalah Saudara

Tradisi Pesta Lomban di Jepara: Kita dan Laut adalah Saudara

Masyarakat Jepara memiliki hubungan erat dengan laut, terutama nelayan yang hidup di bagian pesisir dan menggantungkan hidup pada kekayaan bahari. Pada bulan Syawal, mereka memiliki banyak tradisi lokal, salah satunya Pesta Lomban yang digelar setiap 8 Syawal. Seiring waktu, seremoni ini tidak hanya eksklusif dimiliki oleh masyarakat nelayan, tetapi juga masyarakat umum Jepara.

Dalam jurnal berjudul Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Lomban Masyarakat Jepara yang ditulis oleh Dewi Puspita Ningsih dari Universitas Nahdlatul Ulama NTB, dijelaskan bahwa istilah “Lomban” berasal dari kata “lomba-lomba”, merujuk pada tradisi masyarakat nelayan zaman dahulu yang merayakan kegembiraan lewat perlombaan di laut. Namun, ada juga pendapat lain yang menyebut istilah ini bersumber dari kata “lelumban”, yang berarti bersuka cita. Intinya, Pesta Lomban merupakan bentuk sedekah laut yang menjadi bagian penting dari perayaan masyarakat nelayan di Kabupaten Jepara.

Menurut sejarawan Jepara, Thabroni, pada mulanya tradisi Lomban dilakukan sebagai bentuk persembahan kepada Dewa atau Penguasa Laut. Namun seiring dengan masuknya Islam, makna dan praktik tradisi ini mengalami perubahan secara bertahap melalui proses akulturasi, sehingga kini mengandung banyak nilai ajaran Islam. Thabroni juga menyampaikan bahwa jika ditinjau secara akademis, cukup sulit menemukan bukti tertulis atau penanggalan pasti terkait asal-usul tradisi ini. Meski demikian, diyakini bahwa kemunculan Lomban tidak jauh berbeda waktunya dengan tradisi-tradisi pesisir lainnya di berbagai daerah di Nusantara.

Berita tentang Pesta Lomban sudah ada sejak seabad silam. Melayu Slompret, sebuah majalah berbahasa Melayu yang terbit pada tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 mewartakan tentang kondisi Pesta Lomban pada masa itu. Pusat keramaian pada waktu itu berawal di Pantai Teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor. Pulau Kelor yang kini menjadi kompleks Pantai Kartini dulunya merupakan pulau tersendiri yang kelak menyatu dengan daratan Jepara karena adanya pendangkalan.

Prosesi Pesta Lomban diawali dengan ziarah ke makam tokoh lokal, Mbah Ronggo dan Encik Lanang, lalu dilanjutkan dengan arak-arakan kerbau dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menuju lokasi penyembelihan. Malam harinya digelar pertunjukan wayang, sebelum mencapai puncak acara berupa pelarungan kepala kerbau ke laut yang dipimpin oleh Bupati Jepara bersama para pejabat dan warga Desa Ujungbatu.

Puncak tradisi Pesta Lomban ditandai dengan pelarungan kepala kerbau ke tengah laut, yang sebelumnya telah disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat. Bagian kepala dipilih sebagai sesaji karena dianggap sebagai simbol kehormatan, dikenal dalam budaya Jawa sebagai rojo koyo, hewan peliharaan paling berharga. Prosesi ini diawali dengan doa dari para tokoh agama, lalu kepala kerbau ditempatkan di atas perahu khusus dan dilarungkan oleh para nelayan.

Dalam pandangan masyarakat dahulu, event ini merupakan bentuk penghormatan kepada penguasa laut. Namun kini, makna tersebut bergeser menjadi simbol sedekah laut—ungkapan rasa syukur, semangat berbagi rezeki, dan penghormatan terhadap laut sebagai ciptaan Tuhan. Usai pelarungan, prosesi dilanjutkan dengan “perang laut”, yakni saling lempar ketupat dan lepet sebagai lambang kegembiraan dan kebersamaan warga.

Menurut hasil penelitian Muttaqin (2020), larung sesaji di Pesta Lomban mengalami proses Islamisasi secara gradual. Unsur-unsur ritual yang dahulu kental dengan nuansa mistik, kini diselaraskan dengan ajaran tauhid. Pembacaan doa-doa Islami dan shalawat menggantikan ritual pemanggilan roh, tanpa menghilangkan makna kolektif dari praktik tersebut. Islam tidak menghapus budaya, melainkan meresapinya, membersihkan dari unsur syirik, dan mengarahkannya pada makna transendental yang baru.

Pesta Lomban juga menjadi daya tarik pariwisata dan penggerak ekonomi lokal. UMKM, pedagang kuliner, hingga perajin kerajinan tangan menjadikan momen ini sebagai waktu panen. Namun di balik gemerlap ekonomi, makna spiritual dan edukatif dari tradisi ini tetap dijaga. Pesta Lomban memberi ruang bagi masyarakat untuk belajar mencintai laut, bukan hanya sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai entitas hidup yang punya hak untuk dihargai.

Kupat dan lepet menjadi pelengkap pesta. Ratusan bahkan ribuan ketupat dan lepet dibagikan kepada pengunjung. Ini bukan sekadar makanan tradisional, tetapi simbol keberkahan dan kerukunan. Dalam pandangan budaya Jawa-Islami, ketupat sering dimaknai sebagai ngaku lepat (mengakui kesalahan), dan lepet sebagai lambang lepat (kesalahan) yang harus dihalalkan. Masyarakat Jepara dalam tradisinya memang tidak membuat kupat dan lepet di tanggal 1 Syawal, melainkan 8 Syawal.

Nilai religius Pesta Lomban ialah sedekah dengan membagikan kupat, lepet, dan daging kerbau kepada masyarakat, sementara kepada kerbaunya disuguhkan kepada biota laut. Dalam doktrin Islam, berdasarkan hadis Nabi, sedekah dipercaya bisa menolak celaka dan menarik rezeki.

Salah satu hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan, “Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan menyayangi kalian.” Dalam konteks ini, Pesta Lomban bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan juga bentuk nyata dari kepedulian terhadap alam. Melalui simbol sedekah laut, seperti pelarungan kepala kerbau dan pemberian makanan bagi ikan-ikan, masyarakat diajak untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Praktik ini menyiratkan pesan agar kita tidak serakah dalam memanfaatkan sumber daya, melainkan tetap mempertahankan kelestarian laut sebagai amanah Tuhan yang harus dijaga.

Dalam kerangka budaya Islam Nusantara, tradisi seperti Pesta Lomban adalah contoh konkret dari bagaimana Islam tumbuh di bumi yang sudah memiliki akar kultural. Bukan dengan mencabut, tapi dengan menyatu. Bukan dengan menghapus, tapi dengan memberi arah. Di Jepara, kita menemukan satu bab penting dalam narasi besar hubungan manusia, Tuhan, dan alam.

(AN)