Toleransi Seorang Pemimpin (Muslim) Terhadap Gereja, Gimik atau Wajar?

Toleransi Seorang Pemimpin (Muslim) Terhadap Gereja, Gimik atau Wajar?

Masih banyak kasus-kasus penolakan gereja (kelompok minoritas) yang terus-menerus muncul dan seringkali menemui jalan buntu.

Toleransi Seorang Pemimpin (Muslim) Terhadap Gereja, Gimik atau Wajar?
Gereja St. Ludwina setelah kejadian penyerangan oleh pria memakai pedang

Apa yang spesial dari kabar tentang seorang bupati yang meletakkan batu pertama bagi pembangunan gereja dan ikut menyumbang 100 karung semen dari kocek pribadinya?

Tidak ada! Sangat wajar dan biasa-biasa saja. Sebuah kabar yang seharusnya kita terima tanpa reaksi berlebih, apalagi sampai ikut repot-repot memberi apresiasi dari lubuk hati terdalam.

Ayolah, apa yang terjadi memang seharusnya begitu. Seorang pemimpin memang sudah sepatutnya memedulikan rakyatnya. Terlebih, ia harus sudi turun ke bawah untuk mendengar, melebur, dan beraktivitas bersama mereka yang dipimpinnya. Lagi pula, bukankah kita sudah terbiasa melihat para politisi melakukan “gimik merakyat” demi menggaet simpati publik?

Tapi sayangnya, kewajaran itu enggan berpihak pada Indah Putri Indiriani, Bupati Luwu Utara, Sulawesi Selatan yang beritanya sempat viral beberapa waktu lalu karena aksinya tersebut. Bahkan fotonya yang sedang berjongkok menaruh batu untuk bakal gereja itu cukup ikonik saat malang-melintang di beranda media sosial kita.

Baca juga: Para Khalifah Islam yang Membantu Gereja

Bagaimana tidak wajar? Bayangkan saja, di tengah gelombang mayoritarianisme yang kuat di Indonesia, ada seorang bupati perempuan berjilbab sedang ikut membantu pembangunan Gereja Protestan di daerah dengan komposisi demografi pemeluk Islam sebanyak 81,81% dan pemeluk Kristen Protestan cuma 13,79%.

Di tengah banyaknya pejabat publik yang apatis dengan persoalan intoleransi, kita disuguhkan potret seorang bupati yang ikut membantu mendirikan rumah ibadah kelompok minoritas di mana biasanya malah dipersulit. Kalau pun tidak dipersulit, ketika ada penolakan dari masyarakat, seringkali para pemangku kebijakan yang bertanggung jawab lebih memilih “bermain aman” dengan dalih “kebaikan bersama”.

Apa yang dilakukan Indah Putri Indiriani adalah sebuah capaian besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa kita. Sebuah negara yang mengakomodir segala perbedaan dan menjunjung tinggi hak berkeyakinan di bawah naungan keadilan sosial. Aksi Bupati Luwu Utara itu juga telah menjadi simbol dan angin segar bagi semangat toleransi yang memang seharusnya hadir sejak awal di negara kita.

Tapi bukankah terlalu mudah dengan hanya meletakkan batu pertama dan menyumbang beberapa karung semen kepada gereja bisa dikatakan menjaga semangat toleransi?

Saya kira tidak juga. Indah adalah seorang pemimpin, seorang bupati Luwu Utara. Ia mempunyai pengaruh dan lingkup otoritas yang luas di masyarakat. Ketika ia hadir sebagai simbol melalui aksi toleransinya, maka sedikit banyak ia akan memberi dampak berarti bagi kerukunan antarumat di daerahnya.

Kalau pun memang mudah, kita akan jarang sekali mendengar berita tentang penolakan hingga penyerangan rumah ibadah. Karena akan banyak pemimpin yang turun langsung dan melakukan tindakan tegas membela warganya yang sedang dipersulit untuk menjalankan ibadah.

Karena sesungguhnya apa yang telah dilakukan Indah Putri Indiriani tidak hanya sekadar menjadi simbol, tapi juga mengandung konsekuensi. Ia tidak hanya datang, berfoto, lalu pulang; tapi juga melakukan dialog dengan pendeta, jemaat, dan warga setempat. Mereka saling mengenal dan mengisi tabungan emosi. Dari situlah benih konsekuensi muncul. Kelak, kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan, ia memiliki tanggung jawab melanjutkan apa yang telah ia awali sebelumnya.

Sejauh ini konsekuensi itu tidak banyak diambil oleh para pemimpin daerah. Karena pada faktanya, banyak kasus-kasus penolakan dan penyerangan rumah ibadah (kelompok minoritas) yang terus-menerus muncul dan seringkali menemui jalan buntu penyelesaian. Artinya, orang-orang yang seharusnya berpengaruh besar dalam penyelesaian tersebut, terutama para pemangku kebijakan, bahkan kesulitan dalam merajut toleransi di daerahnya masing-masing.

Tahun ini saja, setidaknya kita telah mendengar berita penolakan Gereja Katolik Santo Joseph oleh masyarakat sekitar di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Mereka melarang dan memprotes renovasi total gereja dan pastoran Paroki Santo Joseph yang telah berdiri sejak tahun 1928 itu.

Sedangkan di Semarang, Gereja Baptis Indonesia Tlogosari mendapat protes dari ratusan orang yang menamakan diri warga RW VII karena menganggapnya berstatus ilegal dan bermasalah pada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Belum lagi kasus-kasus dalam rentang tahun 2013-2018 yang berakhir dengan penutupan dan penolakan atas berdirinya 32 Gereja.

Semua hal ini, apalagi namanya kalau bukan mayoritarianisme? Padahal kalau mau mempersoalkan urusan IMB secara adil, bakal banyak rumah ibadah yang dibongkar, mengingat 85% rumah ibadah di Indonesia tidak berizin. Sedangkan sebagian besarnya adalah masjid dan musala. Menurut laporan Dewan Masjid Indonesia beberapa tahun lalu saja, Sekitar 95% atau 37.000 masjid dari total 39.000 masjid di Provinsi Jawa Tengah ternyata belum mempunyai IMB.

Pada akhirnya, kabar tentang seorang bupati Muslim yang mau membantu pendirian Gereja Protestan bukan menjadi spesial karena memang seharusnya itu yang terjadi, tapi ia menjadi berkesan karena telah menjadi oase di tengah keringnya pengayoman mayoritas terhadap kelompok beragama yang minoritas. [rf]