Dua bulan lalu, karena keperluan tugas kuliah, saya mendapatkan naskah tesis Habib Rizieq Shihab. Tesis setebal 302 halaman itu berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia”. Ditulis tahun 2012 sebagai tugas akhir studi Master of Syariah di Universitas Malaya Kuala Lumpur. Dengan menelaahnya, setidaknya, kita dapat mengenal lebih dekat dan utuh pemikiran Habib Rizieq, khususnya terkait dengan relasi Pancasila dan syariat Islam. Gaya penulisan dan narasi tesisnya tidak jauh beda dengan gaya orasi dakwah beliau. Meletup-letup dan mengaduk-aduk emosi. Jika tidak hati-hati, pembaca akan mudah “tergerus-hanyut” dan “terjerembab”.
Demikian halnya, sejak dua hari yang lalu, dengan mudah saya mendapatkan naskah orasi ilmiah KH. Afifuddin Muhajir. Meskipun untuk membacanya tidak semudah mendapatkannya, butuh berulang kali. Teks padat 43 halaman dengan judul “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat; Kajian Pancasila dari Aspek Nushush dan Maqashid” ini merupakan salah satu bukti keluasan dan kedalaman Kiai Afif. Lebih dari itu, kita dapat merasakan nuansa kebijakan dan kejernihan Wakil Direktur Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo ini dalam menimbang titik tegang antara idealitas dan realitas.
Meskipun tidak sedikit terdapat perbedaan pemikiran Kiai Afif dan Habib Rizieq dalam melihat relasi Pancasila dan syariat Islam, namun tetap saja ada beberapa titik temunya. Pertama, keduanya sepakat bahwa Pancasila bukanlah penghalang (mani’) penerapan syariat Islam di Indonesia. Salah satu kesimpulan tesis Habib Rizieq adalah dimungkinkannya penerapan syariat Islam dalam bingkai Pancasila. Di satu sisi, secara lebih detail, Kiai Afif menjelaskan bahwa Pancasila tidaklah bertentangan dengan syariat. Bahkan, Pancasila selaras dengan syariat ataupun Pancasila adalah syariat itu sendiri. Hanya saja, di balik titik temu kedua tokoh tersebut, terdapat titik krusial. Khususnya pengejawantahan konsep pemikiran ke dalam strategi dakwah. Bahkan perbedaan keduanya cenderung saling menegasikan.
Habib Rizieq menganjurkan penerapan syariat tersebut harus dalam bentuk legal-formal. Salah satunya adalah dalam bentuk undang-undang. Di bagian akhir tulisannya, Habib Rizieq banyak membahas dan mendata undang-undang syariat yang telah ada di Indonesia. Selain itu, juga memetakan tantangan dan strategi perjuangan formalisasi syariat. Dari titik inilah, tidak aneh jika salah satu terminologi-simbolik perjuangannya adalah “NKRI Bersyariah”. Di sisi lain, dengan pertimbangan yang lain, Kiai Afif menyatakan bahwa penerapan syariat atau legislasi syariat dalam bentuk-bentuk hukuman had, qishash, dan takzir adalah persoalan yang (nampaknya) tidak harus mendapatkan porsi yang besar untuk dipikirkan dan diperjuangkan.
Terkait hal ini, Kiai Afif menyatakan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah lahan yang bersahabat dan tempat yang mudah untuk penerapan syariat Islam. Akan tetapi, itu memerlukan kehati-hatian, penuh pertimbangan, dan keramahan. Tanpa itu semua, harapan akan berujung pada kegagalan bahkan merugikan syariat, padahal kita mengusahakan kebaikan. Dan para tokoh Islam memahami sepenuhnya hal itu. Mereka cermat dan telaten serta tidak ceroboh dalam usaha-usaha mereka. Ketika mereka menilai bahwa penerapan syariat seutuhnya (bungkus dan isi) bukan perkara mudah dan jalannya terjal, mereka memilih yang mungkin dan tidak bersikeras pada yang sulit untuk diterapkan.
Dalam hal ini, Kiai Afif sependapat dan mengutip penjelasan Syeikh Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan bahwa legislasi syariat tidak diragukan adalah bagian dari Islam, tidak boleh diabaikan dan dicampakkan. Tetapi, berlebihan membahas dan usaha keras mewujudkannya, serta menganggapnya sebagai poin utama permasalahan, akan berdampak buruk pada pemikiran Islam dan pemikiran masyarakat awam, suatu yang mungkin dieksploitasi oleh penentang dakwah Islam. Undang-undang saja tidak cukup untuk membangun masyarakat. Masyarakat dan peradabannya mungkin dibangun melalui pendidikan dan peradaban, kemudian muncul undang-undang sebagai pemandu dan penjaga.
Titik temu kedua di antara Habib Rizieq dan Kiai Afif adalah dalam penerimaan demokrasi. Alasannya, syura dan musyawarah adalah ajaran yang sudah ada dalam Islam. Namun demikian, kedua tokoh ini hakikatnya tidak sepakat dengan demokrasi liberal ala Barat. Hanya saja, dalam penyampaiannya, keduanya memiliki cara yang berbeda. Habib Rizieq mengungkapkannya secara terbuka dan emosional. Sedangkan Kiai Afif cenderung kalem dan tersirat. Bagi Habib Rizieq, demokrasi Barat dinilai sebagai penghalang bagi penerapan syariat. Sedangkan Kiai Afif cukup menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia yang berasas Pancasila secara fundamental berbeda dengan demokrasi liberal Barat.