Perbincangan mengenai poligami hari ini kian menghangat di tengah masyarakat. Meski telah banyak ditulis oleh para ulama mengenai tema ini dari berbagai aspek mulai dari dalil hingga penafsirannya. Dalih dominan saat ini untuk mempraktekkan poligami adalah karena ittiba’an (mengikuti jejak Sunnah) Nabi Muhammad Saw.
Dari banyak penafsiran para ulama, kita diajak memasuki dan memahami konteks sejarah praktek poligami yang dilakukan oleh nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian, kaum muslim hari ini, bisa memahami konteks praktek poligami yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw sendiri.
Ajaran Islam tidak terlepas dari konteks sosial arab ketika ia datang. Perlu diketahui bahwa masyarakat arab saat itu merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi hidup berkabilah-suku (klan). Atau yang oleh Ibnu Khaldun disebut Ashabiyyah, sehingga permasalahan mengenai keluarga dan lainnya sangat ditentukan oleh aturan yang ingin menunjukkan superioritas kesukuan.
Di antara bagian trend kesukuan saat itu adalah menikahi banyak istri. Saat itu menikahi banyak istri merupakan trend yang sangat membanggakan sehingga layak dipamerkan. Kesukuan (ashabiyyah) merupakan unsur utama dalam membanggakan kesukuan di masyarakat arab. maka demi memperkuat hubungan kesukuan laki-laki dianjurkan untuk menikahi banyak istri.
Ini dibuktikan dengan banyak para sahabat yang telah mempraktekkan menikahi banyak istri bahkan puluhan sebelum masuk Islam. Ini seperti dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak:
عن سلم ، عن أبيه – رضي الله عنه – أن غيلان بن سلمة أسلم وعنده عشر نسوة ، فأمره رسول الله – صلى الله عليه وآله وسلم – أن يختار منهن أربعا .
Dari Salim dari ayahnya RA menceritakan bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam dan ia memiliki 10 orang istri, lalu Rasulullah memerintahkannya untuk memilih empat dari 10 orang istrinya. Pembatasan saat itu dianggap perlu saat itu.
Dari hadis ini ketentuan pembatasan istri menjadi 4 saat itu merupakan tahap pembatasan untuk menikahi perempuan. Kebiasaan untuk menikah banyak wanita dianggap bagian dari sikap kesukuan yang dimaknai lebih sebagai harga diri seorang laki-laki dan modus kekuasaan di masyarakat patriarki.
Jika kita merujuk kepada praktek poligami nabi sendiri, kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan poligami bukan dalam arti menuruti hasrat-syahwat semata. Akan tetapi karena Nabi ingin mengangkat derajat perempuan janda yang biasanya mendapat stigma negatif di masyarakat arab ketika itu. Alasan lebih jauh dari praktek poligami yang dilakukan Nabi Muhammad Saw itu, menurut Fathullah Gulen dalam buku sirah nabawiyah-nya, adalah keingin nan untuk menyatukan dan membaurkan segmen kesukuan yang telah menyebabkan banyak perpecahan, bahkan peperangan.
Dengan demikian, poligami merupakan strategi nabi Muhammad Saw untuk tujuan yang lebih luhur. Itulah kenapa Nabi Muhammad Saw hanya menikahi soerang perawan, Sayyidah Aisyah Ra. semata. adapun selainnya adalah para janda yang berlatarbelakang dari suku yang berbeda. Sebut saja, Shofia Binti Huyay. Ia adalah seorang janda dan putri dari kepala suku Yahudi yang bernama Huyay bin Akhthab. Nabi Muhammad Saw ketika menjadi Nabi juga tidak langsung mempraktekkan poligami. Akan tetapi setelah Sayyidah Khadijah Ra wafat.
Jadi jika mereka yang melakukan praktek poligami atas nama mengikuti nabi sudahkah mempertimbangkan aspek sosial dari perempuan-selain pribadi nya tentunya- atau hanya semata kepada keinginan syahwat atau popularitas semata?