Saya membaca koran Kompas edisi 9 Maret di kereta Solo Ekspress dalam perjalanan menuju Jogja. Tulisan pertama yang saya baca adalah kolom politik M Subhan SD yang bertajuk Akal dan Hati di halaman 3. Tulisan itu menyoal maraknya kampanye hitam. Disebut di tulisan itu kasus ibu-ibu yang melakukan kampanye di Makassar dengan mengatakan Jokowi akan menghapus kurikulum agama dan pesantren. Sebelumnya, sejumlah ibu juga melakukan kampanye serupa, menyebar sas sus Jokowi akan menghapus azan dan melegalkan pernikahan sama jenis.
Membaca tulisan itu saya terdiam cukup lama. Sudah sedemikian barbar kah dunia politik kita? Mengapa cara yang digunakan sedemikian keji? Tidak kah terpikir tentang persatuan anak bangsa yang terancam?
Sejatinya, tidak perlu kecerdasan tingkat tinggi untuk tahu bahwa Jokowi tidak sebodoh itu melalukan semua yang dituduhkan. Sayangnya, gorengan dengan bumbu agama masih paling laku, mengingat betapa gurih dan renyahnnya gorengan yang satu itu. Padahal terlalu banyak gorengan tak baik untuk kesehatan.
M. Subhan SD mengutip pernyatan Ali bin Abi Thalib di akhir tulisan: lidah orang berakal di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya. Kolom politik M Subhan SD adalah tulisan pendek yang bernas sekaligus “menampar”. Namun, bagian terbaik Kompas edisi 9 Maret tidak terletak di kolom politik yang saya ceritakan, melainkan di halaman 18.
Di sana ada wawancara antara Kompas dengan Tawfiq Ramadan al-Bouti, Ketua Umum Persatuan Ulama Bilad Syam. Hasil wawancara pun disajikan dengan judul yang tajam: Jangan Biarkan Ekstremisme Membesar.
Tawfiq Ramadan al-Bouti sejujurnya bukan nama yang familiar bagi saya. Namun Ramadan al-Bouti mengingatkan saya pada satu nama: M Said Ramadan al-Bouti, seorang ulama besar yang dibunuh pada 2013. Rupanya, Tawfiq Ramadan al-Bouti adalah putra M Said Ramadan al-Bouti. Tawfiq merupakan Guru Besar Damascus University.
Kompas bertanya banyak hal, termasuk soal perang Suriah. Bagian yang bagi saya cukup “mengejutkan” adalah ketika Kompas bertanya “Apa pemicu perang?”. Tawfiq menjawab: Perang diawali dari fitnah yang membenturkan antara Alawiyah dan Sunni, antara Syiah dan Sunni, antara Muslim dan Kristiani. Masyarakat diprovokasi agar menuntut perbaikan, kebebasan, kemudian menurunkan rezim. Kelompok Kurdi juga didorong untuk memberontak.
Seketika saya teringat Indonesia. Semoga saya salah, tapi tampaknya semburan fitnah (juga hoaks dan ujaran kebencian) serta benturan antar kelompok menjadi mudah kita temui belakangan ini, di tahun politik. Siapapun tahu, jika kita belajar dari Suriah, maka segala macam fitnah dan anak turunnya, harus dihentikan. Baik oleh kubu A maupun kubu B, atau kubu manapun.
Hal itu amat berbahaya apalagi ketika bertemu cara beragama yang ekstrem. Kata Tawfiq: … ekstremisme tidak memberikan manfaat apa-apa, kecuali kehancuran.
Pun demikian, harapan tentu ada. Indonesia dengan corak Islam wasatiyah dengan Pancasila sebagai tonggak serta karakter masyarakatnya yang khas tentu mampu bertahan menghadapi badai ekstremisme. Tawfiq memberikan pandangannya tentang Indonesia: Keagamaan masyarakat Indonesia berkarakter damai dan moderat. Radikalisme dan ekstremisme bukan watak asli bangsa ini, melainkan datang dari luar dan bukan ajaran yang dipelajari.
Apa yang disampaikan Tawfiq penting untuk terus dijaga dan dirawat, yakni tentang Islam damai dan Islam moderat. Menurut Azyumardi Azra, Islam moderat berciri inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan dengan umat agama lain. Ciri tersebut selaras dengan semangat kebhinekaan yang selama ini dijunjung.
Maka, meminjam judul artikel Yahya C. Staquf, kini sudah saatnya “menduniakan bhineka tunggal ika”. Terakhir, ada tiga pesan Tawfiq yang layak kita renungkan.
Pertama, jangan biarkan paham ekstremisme merasuki generasi muda. Kelompok ekstremis berusaha menyebar luaskan gagasannya. Siapapun harus menegakkan ajaran Islam yang benar dan sesuai perintah Allah, Islam yang moderat. Utamakan dialog, bertukar argumentasi. Jangan tempuh jalan kekerasan.
Kedua, jangan berlebih-lebihan dalam beragama. Ketiga, apabila Islam dipelajari secara benar, tidak mungkin terjadi perpecahan. Masyarakat mesti disadarkan akan pemahaman yang benar, persatuan, keadilan, dan menyingkirkan ekstremisme.