Suara tentang kesesatan Kanjeng Nabi Muhammad cukup santer beberapa hari yang lalu. Seorang dai kondang yang tengah mengisi sebuah acara pengajian dikabarkan mengatakan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad pernah sesat. Menurutnya, bukti kesesatan Kanjeng Nabi itu paling tidak selaras sebagaimana tertuang dalam Q.S. Ad-Dhuha ayat 7.
Telak, tak lama setelah penyesatan Kanjeng Nabi itu, berbagai respon mecuat ke permukaan. Beberapa menanggapi dengan meyuguhkan penafsiran yang mungkin lebih akurat dan mengingatkan untuk tidak memahami Al-Qur’an secara serampangan. Sedang beberapa yang lain, mencoba untuk membawanya ke ranah hukum, karena penyesatan itu dirasa tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dialami oleh mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Dari kejadian tersebut paling tidak terdapat tiga hal yang mungkin perlu untuk catat. Pertama, adalah tentang bagaimana idealnya memahami Al-Qur’an. Kedua, tentang bagaimana keadaan umat sekarang ini, dan ketiga tentang bagaimana kita menyikapi semangat Sang Dai dalam berdakwah sebagaimana Kanjeng Nabi.
Pertama, perihal persoalan bagaimana idealnya memahami Al-Qur’an sendiri memang amat sangat pelik. Bahasa Al-Qur’an yang sarat akan makna membutuhkan segudang pengetahuan untuk memahaminya. Misalnya saja, untuk dapat mengetahui makna sebuah kosa kata dalam Al-Qur’an, umumnya paling tidak merujuk kepada nama Al-Raghib Al-Asfahani. Belum lagi misalnya apa yang dikatakan oleh Al-Suyuti dalam Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, karya Al-Suyuti yang menyuguhkan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an.
Tentang bagaimana idelanya memahami Al-Qur’an paling tidak meski mengikuti rambu-rambu apa yang telah diwariskan para ulama dalam karya-karya mereka, meski pada saat yang sama juga tidak bermaksud untuk melakukan taqlid buta. Ibnu Marzuban misalnya telah menulis Al-Hawi Fi Ulum Al-Qur’an kurang lebih pada tahun 332 H.
Al-Zarkasy dalam Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an juga menulis kurang lebih sekitar 114 tema pokok yang berkaitan dengan Al-Quran. 32 tahun setelah meninggalnya Al-Zarkasy, Al-Suyuti dalam Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an menulis kurang lebih 156 tema pokok yang berkaitan dengan Al-Quran. Belakangan, Manna Al-Qattan meringkasnya menjadi kurang lebih 36 tema pokok yang berkaitan dengan Al-Quran dalam Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an.
Tidak berhenti sampai disitu, penafsiran-penafsiran ulama-ulama terdahulu pun menjadi salah satu yang meski diketahui sebelum mencoba untuk memahami Al-Qur’an. Seperti misalnya bagaimana penafsiran Muqatil bin Sulaiman, Al-Farra, Al-Tabari, Al-Zamakhsyari, Al-Razi, Al-Qurtubi, dan nama-nama lain seperti Muhammad Abduh, Aisyah bintu Syathi, Thabathaba’i, Al-Maraghi, dan sebagainya.
Kedua, tentang bagaimana keadaan umat sekarang ini. Tentu adalah sebuah pemandangan yang menyejukkan melihat beberapa orang mampu berhijrah menuju ke dalam keadaan yang lebih baik, karena memang untuk itu salah satu alasan diutusnya Kanjeng Nabi. Mendekat dan mempelajari Al-Qur’an, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada saat yang sama, dewasa ini, seolah menjadi daya tarik tersendiri di kalangan masyarakat untuk menjadikan mereka sebagai seorang panutan dan menghadirkan mereka dalam acara-acara keagamaan. Semangat mereka kembali mempelajari Al-Qur’an untuk menghiasi kehidupan sehari-hari mereka sendiri tentu adalah baik. Tapi bagaimana dengan penafsiran-penafsiran mereka atas Al-Qur’an yang terkadang masih mengandalkan terjemahan, tentu dengan tidak bermaksud merasa lebih pintar atau meragukan penguasaan mereka akan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Hanya saja, persoalan bagaimana memahami Al-Qur’an adalah sangat membutuhkan mereka yang memang benar-benar mengerti dan paham betul tentang Al-Qur’an itu sendiri dan seluruh keilmuan yang menghiasi termasuk di dalamnya Fikih, Teologi, dan Sejarah Nabi misalnya. Mungkin, oleh sebab itulah, beberapa bulan yang lalu, secara resmi Kementerian Agama Republik Indonesia merlilis 200 nama karena pada saat yang sama juga dirasa sejalan dengan tumbuhnya semangat masyarakat untuk mempelajari agama.
Ketiga, tentang bagaimana kita menyikapi semangat Sang Dai dalam berdakwah sebagaimana Nabi. Dalam hal ini, salah satu yang patut untuk dicontoh tentu adalah Kanjeng Nabi sendiri. Misalnya, ketika Kanjeng Nabi mencoba berdakwah di tanah Thaif. Beliau konon kembali ke tanah Mekah dengan kecewa sehingga membuat Sang Malaikat Penjaga Gunjung hendak menimpakan Akhsabain ke tanah Thaif.
Alih-alih melampiaskan kekecewaannya terhadap penduduk Thaif dengan menimpakan kepada mereka Akhsabain, Kanjeng Nabi justru mendoakan semoga kelak akan lahir dari keturunan mereka anak yang taat dan tidak menyekutukan-Nya. Kanjeng Nabi jauh mendahulukan kasih sayang ketimbang hal-hal lain yang mencerminkan kemurkaan.
Narasi historis lain tentang bagaimana cara Kanjeng Nabi menyikapi mereka yang pernah memiliki masalah senada setidaknya juga dapat dilihat dalam peristiwa penaklukan kota Mekah. Kajeng Nabi konon melarang para sahabat untuk menyatiki siapa saja termasuk kepada mereka yang dulu pernah menjadi seterunya.
Sebagai catatan akhir, ketidaksepaham tentang penerjemahan dan atau penafsiran Q.S. Ad-Dhuha ayat 7 dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang seolah-olah seperti menyulut keganjalan bukan berarti tentang siapa yang benar atau siapa yang salah. Ketidaksepahaman itu juga bukan pula untuk dipertontonkan sebagai kegaduhan dan perpecahan. Tapi sebaliknya, ketidaksepaham itu justru menjadi sebab bagi terciptanya kebaikan dan kasih sayang.