Keragaman pemikiran dan keyakinan dalam kehidupan merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan. Hal tersebut adalah bagian dari sunnatullah yang mustahil disangkal. Manusia kemudian diberi sekian pilihan untuk menyikapinya, apakah akan menerimanya sebagai anugerah ilahi atau mencelanya sebagai pihak yang “berbeda”.
Setiap umat manusia memiliki latar belakang berbeda-beda, misalnya, dari sisi pendidikan maupun kondisi lingkungan hidupnya. Hal itu secara alam bawah sadar akan mempengaruhi pola berpikirnya. Terlebih dalam konteks realitas masyarakat Indonesia, yang sejak dari awal memiliki keragaman suku, agama dan tradisi lokal, tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam merespon setiap persoalan sosial keagamaan yang sangat beragam.
Di sinilah kemudian lewat urgensi kesadaran kehidupan plural. Namun, jikapun kesadaran pluralitas itu tidak ada, hadirnya tiga komponen di bawah ini sudah cukup menjelaskan bahwa pluralitas itu sudah terjadi. Pluralitas yang saya maksud di sini bukan hanya kondisi sosial yang beragam saja, melainkan model kehidupan keberagaman yang aman dan sejahtera.
Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Seorang pemikir dan reformis Islam asal Iran, Abdulkarim Soroush, mengkritik bahwa diskursus Islam seringkali terfokus pada persoalan teologis sehingga cendeurng melupakan aspek-aspek kemanusiaan. Padahal, Islam tidak bisa dipahami secara nash saja, namun juga harus aplikatif sesuai dengan bagaimana masyarakat itu hidup.
Islam sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Hal ini seperti dinyatakan dalam kitab suci umat Islam sendiri bahwa faktor perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling merajuk tali persaudaraan. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa risalah tidak diperuntukkan bagi satu golongan umat manusia tertentu, tetapi beliau adalah rahmat bagi seluruh umat manusia. Memberikan kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaannya kepada penganut ajaran agama lain juga bagian dari ajaran Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Bahkan mereka dilarang untuk mencaci maki sesembahan atau Tuhan-Tuhan pemeluk agama lain karena khawatir cacian yang mereka lontarkan justru akan kembali kepada Tuhannya umat Islam sendiri.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dibantah. Keragaman ini diakui dalam konstitusi yang menjamin para pemeluk agama berbeda untuk melaksanakan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing. Untuk memastikan semua umat beragama di Indonesia bisa menjalankan hak-haknya dengan baik, maka sikap toleransi juga elemen yang harus ada dalam diri masyarakat Indonesia.
Mengenai toleransi antar umat manusia ini, tokoh pluralisme Indonesia, Nurcholis Madjid menghimbau kepada siapapun untuk bersedia memberi pertolongan kepada orang-orang yang sedang tertimpa musibah tanpa memandang latar belakang agama atau sukunya. Yang demikian itu merupakan sesuatu yang sangat bernilai dan mulia. Misalnya menolong korban banjir, kekeringan dan kelaparan di berbagai daerah, kemiskinan, dan masih banyak lagi masalah-masalah kemanusiaan yang membutuhkan uluran tangan.
Dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan pada 2019, toleransi merupakan salah satu indikator paling signifikan untuk menciptakan kerukunan umat beragama, yaitu sebuah kondisi kehidupan umat beragama yang berinteraksi secara harmonis, toleran, damai, saling menghargai, dan menghormati perbedaan agama dan kebebasan menjalankan ibadat masing-masing.
Aplikasi toleransi itu misalnya, sesama manusia tidak perlu lagi mempertentangkan si A beragama apa, dari keturunan siapa, warga mana, dan lain-lain. Yang terpenting adalah bahwa si A memang membutuhkan pertolongan. Dan menolong sesama merupakan bentuk aplikasi dari perbuatan baik yang diajarkan oleh semua agama di dunia. Sehingga terwujudlah masyarakat yang beretika agama dan tidak terkotak-kotakkan atas sentimen agama tertentu.
Kebebasan Beragama Bagi Setiap Umat Beragama
Al-Qur’an secara eksplisit menjelaskan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui surat al-Baqarah: 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Konteks ayat di atas turun ketika ada salah seorang ayah memaksa anaknya untuk masuk ke dalam agama Islam, namun sang anak enggan untuk mengikuti perintah ayahnya tersebut. Maka pesan yang dapat diambil berkaitan dengan konteks turunnya ayat tersebut ialah memaksakan untuk memeluk agama Islam kepada anggota keluarganya saja tidak diperbolehkan, apalagi pemaksaan tersebut dialamatkan kepada orang lain yang notabenenya tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Alasan dibalik larangan tersebut dijelaskan pada frase “telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah” sehingga tidak perlu lagi memaksakan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti jalan kebenaran yang begitu jelas. Oleh karena itu, M. Quraish Shihab dalam hal ini mengomentari bahwa terdapat permasalahan pada jiwa orang yang enggan menempuh jalan yang benar setelah ditunjukkan kepadanya jalan yang mengantarkannya menuju kebenaran.
Jika Islam mengatur kebebasan berkayinan ini dalam QS. al-Baqarah: 256, maka di Indonesia, mengaturnya dalam UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Amandemen UUD 1945 kemudian mengatur lebih jelas tentang kewajiban negara terhadap HAM maupun kebebasan beragama berkeyakinan.
Komitmen negara ini juga bisa dilihat dalam Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama Tahun 1981. Rumusan Pasal 2 Deklarasi ini menegaskan “tidak seorang pun boleh menjadi sasaran diskriminasi oleh Negara, lembaga, kelompok atau individu atas dasar agama atau kepercayaan”. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menjadi hukum Indonesia melalui UU. Nomor 12 Tahun 2005. Kebebasan beragama dan berkeyakinan ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 1-4.
Meminimalisir Klaim Kebenaran Absolut
Abdulkarim Soroush mengatakan bahwa kebenaran itu adalah selama manusia mampu membedakan mana agama sebagai ajaran Tuhan dan pemahaman manusia mengenai agama itu sendiri. Pada kenyataannya, kita belum benar-benar bisa membedakan dikotomi tersebut.
Memang benar bahwa teks suci yang berasal dari Tuhan itu adalah sakral dan tanpa cacat, namun ketika masuk dalam dinamika pola pikir manusia, hal itu akan berubah karena pemahaman manusia akan agama itu bersifat profan. Agama adalah hal yang konstan dan tidak mengalami perubahan, sedangkan pemikiran manusia tentang agama akan terus berubah.
Permasalahannya bukan terletak pada agama, karena ia bersifat absolut. Namun pada pola pikir manusia yang dinamis karena akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan lingkungan di sekitarnya.
Dalam konteks Indonesia, upaya mengikis klaim absolutisme beragama bisa dilihat dari konsep moderasi beragama yang digaungkan pemerintah. Kementerian Agama Republik Indonesia, terkait hal ini, telah menerbitkan buku berjudul Moderasi Beragama yang menjadi pedoman laku beragama warga Indonesia. Klaim kebenaran absolut tafsir agama terindikasi berangkat dari kutub-kutub ekstrem keagamaan. Satu sisi cenderung ekstrem ke kiri, sedangkan sisi lain cenderung ekstrem ke kanan.
Konsep Moderasi Beragama membawa umat Islam menuju jalan tengah yang menghargai keragaman tafsir, tidak terjebak pada sikap ekstrem, intoleran, dan tindak kekerasan. Terdapat empat indikator untuk merujuk sikap moderasi beragama, yaitu: Komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Prinsip-prinsip tersebut ditawarkan negara sebagai fondasi sekaligus upaya memberantas doktrin ektremisme yang sarat dengan klaim kebenaran absolut sepihak. Moderasi beragama tersebut bukan dalam kapasitas memperbaiki doktrin keagamaan, namun memperbaiki wawasan keagamaan masyarakat terkait bagaimana melihat realitas terutama terkait pluralitas agama di Indonesia.