Kerukunan Beragama dalam Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”

Kerukunan Beragama dalam Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”

Kerukunan Beragama dalam Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”

Ucapan Eggi Sudjana di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 02 Oktober yang lalu sangatlah disayangkan, dia secara terang-terangan mengatakan “… tidak ada ajaran selain Islam […] yang sesuai dengan Pancasila…” (CNN Indonesia 10 Oktober 2017). Ungkapan tersebut merupakan suatu pandangan yang sempit dalam melihat agama lain dalam konteks konsensus kehidupan berbangsa kita. Ucapan itu secara terang-terangan mendiskreditkan posisi agama lain dalam kehidupan berbangsa.

Kalau ditilik dari sejarah terbentuknya Pancasila sebagai dasar negara, ucapan Eggi Sudjana tersebut merupakan suatu kemunduran dalam konsensus keberagamaan kita. Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan” yang kemudian ditambahkan kata “yang Maha Esa” dalam sejarah  proses pembentukannya merupakan prestasi yang paling maju bagi umat beragama di Indonesia dalam mengelola keberagamannya. Kesepakatan tersebut merupakan jalan tengah yang paling maslahah antara kelompok nasionalis dengan kelompok yang mengajukan Islam sebagai dasar negara dalam sidang pembentukan dasar negara.

Perdebatan antara wakil-wakil kelompok nasionalis dengan wakil-wakil kelompok Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dimulai pada Sidang BPUPKI pertama yang dilaksanakan pada 01 Juni 1945. Kelompok Islam yang diwakili KH. A. Wahid Hasyim, KH. Masykur (dari NU), KH. A. Sanusi, KH. Abdul Halim (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH. Mas Mansur, dan Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Sukiman Wirosanjoyo (PII), Abikusno Tjokrosujono (PSII) dan Hadji Agus Salim. Keinginan dari wakil kelompok Islam yang bersikeras untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara “Indonesia Merdeka” belum mendapatkan titik temu dengan wakil kelompok nasionalis pada sidang tersebut.

Karena belum ditemuinya titik temu antara dua kelompok tersebut, akhirnya ada inisiatif untuk membentuk panitia kecil atau lebih popular dengan sebutan “Panitia Sembilan” dalam BPUPKI yang diketuai oleh Sukarno. Sembilan orang tersebut meliputi Sukarno sendiri, Hatta, KH. A. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosujono, Abdul Kahar Muzakkir, Hadji Agus Salim, Ahmad Subarjo, AA. Maramis dan Muhammad Yamin (Maarif, 2017). Pada sidang kecil tersebut, hadir juga sosok AA. Maramis yang beragama Kristen.

Pada sidang kecil tersebut, setelah terjadinya perdebatan yang alot, akhirnya tercapai sebuah kemajuan dengan disepakatinya tambahan tujuh kata pada sila pertama “ketuhanan” yaitu, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hasil keputusan itulah yang kemudian popular dengan sebutan Piagam Jakarta.

Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia, dilaksanakan sidang kembali untuk memutuskan dasar negara. Setelah melewati masa kitis, perdebatan yang alot, akhirnya perwakilan kelompok Islam menyepakati untuk menghilangkan tujuh kata Piagam Jakarta pada sila pertama Pancasila. Kemudian, akhirnya tujuh kata tersebut diganti dengan menambahkan kata “yang Maha Esa” (Maarif, 2017). Dari proses perdebatan yang panjang tersebut, akhirnya disepakatinya konsensus kebangsaan, yaitu Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang Merdeka, dengan sila “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertamanya.

Dihilangkannya tujuh kata tersebut, merupakan suatu keputusan besar untuk membentuk pondasi dasar kenegaraan Indonesia. Outputnya adalah Pancasila sebagai konsensus kebangsaan dan juga sebagai landasan untuk mengelola hubungan umat beragama kita. Dimana, dengan menuliskannya sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, secara eksplisit mencerminkan makna yang terbuka terhadap semua agama yang ada di Indonesia. Bandingkan saja semisal yang digunakan adalah tujuh kata seperti pada Piagam Jakarta, tentunya watak Pancasila akan hanya eksklusif agama Islam saja yang diterima.

Hal lain yang penting adalah, sila tersebut merupakan cerminan bahwa dalam negara Indonesia yang merdeka, didorong oleh spirit religiusitas yang tidak terjebak dalam keagamaan  yang sempit. Namun, mampu menjadikan agama sebagai spirit dalam membangun kebangsaan yang merdeka.

Setelah melihat begitu peliknya perjuangan sejarah terjadinya konsensus pembentukan Pancasila tersebut. Sungguh disayangkan kemudian statement  Eggi Sudjana masih memakai logika beragama sempit yang mendiskreditkan agama lain dan eksklusif. Seharusnya, umat Islam, sebagai agama yang pemeluknya paling banyak, mampu menjadi inisiator dalam menjaga kerukunan keberagaman kita.

M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.