Mungkin anda benar, mungkin juga tidak, namun saya lebih percaya kepada kyai-kyai yang ada di pesantren, yang jelas sanad keilmuannya daripada pembicara agama di yutub, televisi dan media sosial. Apalagi publik figur yang baru move on, berpenampilan agamis, lalu ngomong agama.
Bagaimana kalo dia keturunan nabi? Ya cukup dihormati, tetapi bukan berarti dipuja setengah mati bahkan sampai dibuat kebal hukum. Datuknya saja bersabda; kalo anaknya (Fatimah) mencuri, beliau sendiri akan memotong tangannya. Fatimah loh ini, anak kandung nabi, gak kebal hukum. Apalagi ‘hanya’ keturunan nabi.
Terus siapa yang perlu kita ikuti cara dakwahnya? Pertama, adalah beliau yang membuat hati kita tenang. Sebab, sekarang ini banyak penceramah yang membuat kita tidak tenang terhadap diri dan lingkungan tinggal kita. Mudah membid’ah dan mensyirikan perilaku keagamaan di sekitar kita. Padahal, cara-cara yang katanya disebut bid’ah dan syirik itu diajarkan oleh kyai-kyai lulusan lembaga pendidikan yang jelas sanad keilmuan agamanya seperti di pesantren-pesantren.
Kedua, beliau yang membuat kita tidak merasa lebih baik dan tidak mengajarkan untuk membenci siapapun. Sebab, hari ini, ada banyak berita hoax yang menggunakan identitas termasuk agama untuk memprovokasi dan membenci suatu golongan. Padahal, diakui atau tidak, para ahli agama atau golongan penceramah saja belum pasti masuk surga? Kalau memang ada yang berani menjamin masuk surga, emang situ punya orang dalam?
Ketiga, beliau yang jelas sanad keilmuannya. Bukan pembicara agama yang kemarin sore. Bukan artis yang baru move on (bahasa kekiniannya hijrah). Dan yang penting, tidak semua orang bertampang Timur Tengah bisa sertamerta menjadi panutan dalam agama. Kira-kira samalah dengan tidak semua bule bisa mengajar bahasa Inggris yang baik dan yahud.
Selanjutnya, apa yang perlu kita lakukan untuk membuktikan dakwah seorang ahli agama yang masuk tiga hal yang telah penulis sebutkan? Pertama, yakni rajinlah membaca, baik membaca teks dari berbagai sudut pandang maupun membaca keadaan. Membaca dari berbagai sudut pandang akan membuat kita lebih memiliki banyak pilihan dalam menyikapi dan mensepakati persoalan. Benar bahwa sumber kita hanya al qur’an dan hadis, tetapi membaca berbagai sudut pandang akan memperkaya pemahaman kita dalam mengambil hikmah dari kedua sumber agama tersebut.
Selain itu, hendaknya jangan mudah percaya gambar visual dan kalimat yang berlindung dibalik identitas SARA yang menyerang dan mengkambinghitamkan suatu kelompok. Hal-hal seperti ini banyak dilakukan saracenian (sebutan yang penulis berikan untuk akun-akun penebar kebencian di media sosial). Karena tujuan mereka tidak lain adalah untuk menggiring opini kita agar berprasangka buruk, yang pada akhirnya, terkoyaklah pesatuan dan kesatuan kita yang terbangun harmoni selama ini. Semoga kita bisa hidup rukun, walaupun di media sosial sungguh sangat ngeri sekali. Wallahhu a’lam.
Saiful Haq, Pegiat Gusdurian Bone.