Salah satu tanda atau ciri-ciri masuknya waktu shalat adalah kumandang adzan. Ketika adzan dikumandangkan, berarti waktu shalat telah masuk dan saatnya bergegas ke masjid untuk melakukan shalat di masjid atau mushalla.
Namun, ternyata adzan tidak hanya dikumandangkan ketika masuk waktu shalat saja. Ada beberapa hal atau perkara yang disunnahkan untuk melakukan adzan.
Imam an-Nawawi menyebutkan dalam al-Minhaj terkait adzan-adzan di luar shalat yang disunnahkan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj yang merupakan kitab syarah dari al-Minhaj yang merupakan karangan dari Imam an-Nawawi.
قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ ، وَالْمَهْمُومِ ، وَالْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ
“Disunnahkan adzan selain shalat, yaitu saat adzan untuk bayi yang baru lahir, orang yang sedang bersedih hati, orang yang menderita penyakit epilepsi, orang yang sedang marah, orang atau binatang yang memiliki perangai buruk, saat perang sedang berkecamuk, saat kebakaran, dan dikatakan juga menurunkan mayat pada liang kubur dengan mengqiyaskan saat awal terlahirnya ke dunia, namun aku (an-Nawawi) menententang kesunnahannya dalam syarh al-‘Ubaab, saat terdapat gangguan jin berdasarkan hadis yang shahih di dalamnya, juga Adzan dan iqamah dalam penyambutan musafir.
Dari penjelasan tersebut, jelas sudah bahwa ada beberapa hal yang disunnahkan untuk melakukan adzan selain waktu shalat.
Pertama, pada bayi yang baru lahir. Biasanya diadzani di telinganya oleh ayahnya. Namun, menurut Hasiyyah al-Syaubari yang juga menjadi syarh dari kitab al-Minhaj tidak disyaratkan seorang laki-laki, bisa juga perempuan, baik ibunya maupun saudara perempuan lain. Hal ini ditentang oleh Imam al-Haitami, menurutnya berdasarkan kaul yang mu’tamad (yang dipegang teguh oleh banyak ulama), disyaratkan yang melakukan adzan di telinga bayi yang baru dilahirkan adalah orang laki-laki, baik ayahnya si bayi maupun saudara laki-laki yang lain.
Kedua, pada seorang sedang bersedih. Bahkan menurut al-Haitami, jika kesedihan tersebut tidak hilang, maka dianjurkan untuk mengulangi adzan tersebut.
Ketiga, pada orang yang menderita penyakit epilepsi.
Keempat, pada orang yang sedang marah.
Kelima, pada orang atau binatang yang memiliki perangai buruk.
Keenam, pada saat perang sedang berkecamuk
Ketujuh, pada saat sedang terjadi kebakaran. Namun, bukan berarti mendahulukan adzan daripada memadamkan api. Sehingga tidak ada yang bergegas memadamkan api.
Kedelapan, pada saat menurunkan jenazah ke liang kubur. Hal ini diqiyaskan dengan kesunahan mengumandangkan adzan pada telinga bayi yang baru lahir.
Kesembilan, pada orang yang mendapat gangguan jin (kesurupan).
Kesepuluh, saat menyambut musafir yang baru datang. Asalkan perjalanannya bukan untuk maksiat. Dalam tradisi beberapa masyarakat di Indonesia, biasanya adzan dikumandangkan untuk melepas dan menyambut orang yang berangkat haji.
Wallahu A’lam.