Hanya karena berbeda pilihan, seseorang Muslim seolah berhak menjadikan atas orang lain yang juga jelas-jelas Muslim sebagai sasaran olok-olok, caci maki semaunya sendiri.
Terlepas dari sudut pandang perbedaan pendapat ulama dalam memilih pemimpin, hukum menyakiti saudara Muslim adalah dosa besar sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Habib Umar bin Hafidz, Hadramaut, Yaman.
Tidak ada dalil yang memperbolehkan orang Muslim menyakiti saudaranya yang lain walaupun orang tersebut telah melakukan dosa besar. Sehingga ketakutan atas olok-olok itu bisa menjadikan orang lain takut atas keburukan tindakan kita.
“Kalau kita tak memilih yang sama dengan dia, jangan-jangan kita nanti akan dicemoooh”. Ketakutan orang lain terhadap kita sebab perkara demikian berbahaya.
Dalam shahih Bukhari, Nabi Muhammad SAW pernah dimintai izin seseorang untuk bertamu. Beliau mempersilakan. Sebelumnya Nabi sudah mengatakan kepada Aisyah bahwa yang datang kali ini adalah orang paling buruk.
Namun anehnya justru setelah orang itu masuk dan kemudian duduk bersama Rasul, Baginda Nabi ini tidak menampakkan muka masam, marah. Padahal Nabi tahu siapa sebenarnya orang yang ia hadapi ini. Nabi Muhammad menghadapi tamunya dengan wajah penuh ramah.
Sontak, kejadian ini mengagetkan istri termuda beliau. Bagaimana mungkin, kata Rasul tadi, orang ini adalah pria yang buruk, tapi mengapa malah beliau bersikap lembut saat menghadapinya?
Saat perasaan Aisyah ini diungkapkan pada Rasul setelah tamu ini pulang, Rasulpun menjawab:
يَا عَائِشَةُ مَتَى عَهِدْتِنِي فَحَّاشًا إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
Artinya: Hai Aisyah, kapan engkau menemukanku melakukan hal-hal yang buruk? Sesungguhnya orang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh masyarakat karena mereka takut atas sikap buruk orang tersebut. (Shahih Al Bukhari, 457)
Abdur Rauf Al Munawi dalam kitab Fathul Qadir menjelaskan, orang yang ditakuti ini bisa jadi ditakuti karena ucapan ataupun sikapnya yang buruk melewati batas syara’ sehingga menjadikan orang lain takut.
Begitu pula dalam pandangan dalam memilih pemimpin. Siapa pun pemimpin yang dipilih oleh saudara kita, kita hanya boleh mengajak dalama level dakwah atau maksimal pada level amar ma’ruf nahi munkar. Namun tidak diperbolehkan mencela, menghardik, menebar fitnah atau isu yang menyakitkan hati umat Islam yang lain.
Demikianlah cara Rasulullah menghadapi orang yang tidak baik. Beliau tidak menghardik, mengancam, ataupun mengumpat. Beliau berwajah ramah penuh senyum. Dengan begitu, siapa pun orangnya, seburuk apa pun perangainya, tak ada satu pun orang yang takut kepada Rasul karena khawatir akan disikapi buruk oleh Rasul. Para sahabat takut kepada baginda Nabi karena segan mereka atas kemuliaan akhlak Nabi bukan sebab takut diperlakukan jahat oleh Nabi.
Dalam satu riwayat dikisahkan, saat Rasul memberi taushiyah, semua sahabat duduk diam dengan wajah tertunduk, seolah di atas masing-masing kepala mereka ada burung yang hinggap. Ini saking khusyuk mereka atas kewibawaan Nabi. Kecuali hanya dua sahabat yang berkepala tegap, yaitu Abu Bakar dan Umar. Selain sahabat, keduanya merupakan mertua Nabi.
Di saat Nabi berceramah, ketika kebetulan bertatapan dengan di antara dua sahabat ini, mereka masing-masing melempar senyum.