Tiada Lagi Tersisa dari Puasa Kita, Termasuk Lapar dan Dahaga

Tiada Lagi Tersisa dari Puasa Kita, Termasuk Lapar dan Dahaga

Bagaimana puasa kita, apakah justru kita kalah?

Tiada Lagi Tersisa dari Puasa Kita, Termasuk Lapar dan Dahaga
Ilustrasi kegiatan berbuka puasa bersama di masjid.

Cuaca panas mewarnai beberapa hari awal Ramadan di Banjarmasin, padahal sepanjang minggu sebelum awal puasa kota seribu masjid dan langgar ini diguyur hujan dengan intensitas cukup deras. Kondisi cuaca tersebut membuat Pasar Wadai (Pasar kue ciri khas Banjar) yang dipenuhi dengan berbagai produk dagang dari makanan berat hingga kue khas Banjar dipadati pengunjung, dan penjual es buah keliling atau yang berjualan di pinggir jalan diserbu oleh umat Islam yang sedang menjalankan puasa untuk sekedar melepas dahaga pasca menjalani puasa di siang hari yang cukup panas.

Kebiasaan kita di saat cuaca panas di bulan Ramadan seperti beberapa hari ini di Banjarmasin, respon ingatan terfokus pada minuman segar yang ditawarkan di Pasar Wadai, yang dijajakan di pinggir jalan atau malah iklan minum sirup. Sudah menjadi kebiasaan, bulan Ramadan selalu disambut dengan berbagai iklan produk makanan, pakaian, hingga tiket pesawat, bentuknya pun beragam dari cetak hingga visual. Iklan dan media berita semakin ramai membincang Ramadan memasuki beberapa hari terakhir bulan Syaban hingga akhir bulan Ramadan nantinya.

Ramadan adalah bulan dari kalender Hijriyah yang paling banyak diserbu oleh iklan dan media. Fokus media dan pengiklan telah disetting dari sebelum Ramadan dimulai dengan masing-masing menawarkan program dan produknya untuk menyambut bulan Ramadan, demi “memeriahkan” menyambut bulan Ramadan. Konsep dan pemaknaan dari hadis “Perasaan sukacita menyambut Ramadan”, digeser menjadi kebahagiaan guyuran pundi uang yang semakin melimpah seiring kedatangan bulan Ramadan.

Sebagaimana laporan AC Nielsen, belanja Iklan di bulan Ramadan terus meningkat setiap tahun. Nilai belanja iklan meningkat 76% dari tahun 2017 ke 2018 yang lalu, di mana belanja tahun 2018 mencapai nilai hampir 250 milyar rupiah. Program Ramadan di berbagai media televisi dan pola konsumsi televisi dan internet yang meningkat di angka belasan persen dalam catatan AC Nielsen tahun 2018 kemarin disebut faktor paling mempengaruhi peningkatan belanja iklan di berbagai produk. Ramadan akhirnya menjadi lahan subur bagi para pemodal besar untuk meraup untung sebesar-besarnya. Di manakah posisi umat di tengah hingar bingar pundi uang yang dibelanjakan begitu besar?

Belanja iklan yang begitu besar dalam bulan Ramadan, tentu berpengaruh bagaimana bulan suci tersebut ditampilkan dalam media. Sepanjang hari dari sahur hingga ke sahur lagi program atau iklan Ramadan tak pernah berhenti menghiasi layar kaca dan gawai kita untuk menawarkan semua produk yang “berkaitan” dengan ibadah di bulan suci.

Ramadan ditafsirkan ulang melalui sudut pandang iklan dan media, membuat umat sebagai hamba yang menjalankan ibadah puasa hanya dinilai tidak lebih dari objek. Hampir tidak lagi ada yang tersisa dari Ramadan untuk umat, berbagai sendi di bulan suci dikuasai pemodal dan dijadikan fetisme komoditas. Dalam kajian budaya, fetisme komoditas dimaknai sebagai serangkaian kontrol sosial “industri budaya” yang dapat mengarahkan pikiran dan tindakan manusia.

Dalam perkembangannya, fetisme komoditas sudah menjadi simbol identitas yang merujuk pada perilaku konsumsi yang tidak lagi melihat fungsi atau keunggulan bahan dari sebuah barang, tapi sudah melampauinya dengan menjadikan perilaku konsumtif tersebut sebagai sebagai konstruksi identitas pribadi lewat representasi dan manajemen imaji dari sebuah produk.

Namun, dari beberapa variabel dalam fetisme di kajian budaya, iklan Ramadan lebih banyak menggunakan fetisme digunakan sebagai mengafirmasi hubungan manusia dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapinya, terlihat dalam tagline yang dipakai dalam iklan “maag aman, puasa aman”, “Isi sahur dengan sekaleng….(merek susu)” atau “Ibadah nyaman dengan memakai sarung ….(merek sarung).

Saat umat dijejali dengan model konsumerisme seperti ini, mereka harus menghadapi gempuran iklan memframing dan mengontrol otak dan perilaku, secara mandiri tanpa ada kehadiran Negara hingga agama lebih banyak berdiam, karena lebih sibuk mengurusi hal moral lain seperti jam operasional bioskop atau jam buka warung makan di siang hari, seperti yang terjadi di Banjarmasin dalam beberapa tahun terakhir.

Fetisme akhirnya bisa mengontrol perilaku dan pola pikir masyarakat dalam memaknai Ramadan, dengan memainkan seluruh problematika di bulan puasa bisa diselesaikan dengan berbagai produk yang dimunculkan sebagai solusi. Di sisi inilah, Zygmunt Bauman melukiskan kemunculan sebuah spiritualitas baru bernama “konsumerisme agama”, karena agama tidak lagi bisa menghentikan konsumerisme yang masuk hingga sisi paling dalam sebuah agama. Seperti yang terjadi atas umat Islam dan Ramadan.

Umat Islam tidak lagi bebas memaknai kehadiran Ramadan, karena sering terjebak dalam makna fetisme komoditas yang disebarkan oleh berbagai iklan. Pengalaman spiritual dari ibadah puasa semakin tergantikan dengan berbagai produk yang disebut menyelesaikan segala permasalahan bulan Ramadan, termasuk lapar dan dahaga.

Bahagia akan kedatangan bulan Ramadan, tidak lagi dirasakan sebagai pengalaman pribadi karena berhasil melewati kesulitan dan kesusahan bulan puasa, telah direbut dengan solusi dalam berbagai bentuk produk jualan para pemodal dan mereka meraup untung besar dari penjualan tersebut. Jadi, yang sebenarnya paling bahagia secara ekonomi adalah para pemodal.

Mari kita renungkan permasalahan ini, jika kita sedang dahaga dan lapar, ingatan kita sudah dipola untuk pertama kali terpikir adalah berbagai menu berbuka di daftar menu sebuah rumah makan atau es cream dari sebuah iklan televisi. Mengapa ini bisa terjadi, karena iklan sudah menyihir perilaku dan pikiran kita dalam menghadapi masalah dalam berpuasa. Jadi, apakah kita benar bahagia menyambut bulan Ramadan atau terjebak pada pola berpikir konsumerisme?

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin