Tahun 1939 ketika hubungan antara Inggris dan Jerman berada di ujung tanduk (World War II), Edith Pretty menyewa jasa ‘arkeolog lokal’ Basil Brown agar melakukan penggalian di tanah miliknya di Sutton Hoo, Inggris. Pretty, sebagai janda seorang Kolonel beranak satu memiliki firasat bahwa didalam tanah miliknya terdapat harta karun yang maha penting.
Basil Brown tidak memiliki legitimasi untuk melakukan penggalian arkeologis. Dilihat dari buku dan jurnal yang ditulisnya, ia memang memiliki minat lebih dalam astronomi dan arkeologi, namun putus sekolah sejak usia 12 tahun. Edith Pretty yang mengetahui keahlian Brown dalam penggalian dan arkeologi, segera memberikannya kesempatan untuk melakukan penggalian di tanah miliknya tanpa melihat ijazah Brown.
Edith Pretty sebagai keluarga kerajaan mewarisi tanah yang cukup luas di Sutton Hoo. Tanahnya terbentang luas dan memiliki beberapa gundukan tanah yang menandakan sebagai ‘kuburan besar.’ Tanah tersebut diliputi mitos bahwa bangsa Viking pernah menempatinya. Dari sekian kuburan besar, Brown memilih kuburan yang lebih kecil, mengingat gundukan ini pasti lolos dari para perampok harta karun puluhan hingga ratusan tahun silam.
Dugaanya tidak meleset, galian pertama, ia langsung menemukan bongkahan kayu, dan seterusnya logam-logam baud perahu. Namun periode artefak ini sedikit meleset, sebab yang mereka temukan bukan peninggalan bangsa Viking, justru peninggalan yang lebih tua, yakni zaman Anglo-Saxon yang dimulai sejak abad ke-5 Masehi. Satu Periode dengan artefak peninggalan kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Hindu tertua di Indonesia,. Sedangkan bangsa Viking baru masuk ke Inggris dua ratus tahun kemudian, abad ke 8 atau sekitar tahun 793 Masehi satu periode dengan kerajaan Sriwijaya di Indonesia.
Temuan ini segera menarik arkeolog ternama, Charles Philips dari Cambridge University yang meminta National British Museum mengambil alih penggalian tersebut. Thomas Kendrick pihak British Museum yang terlibat dalam penggalian ini menemukan fakta baru bahwa situs tersebut merupakan kuburan dari Raja Raedwald dari Anglian Timur. Ia merupakan raja terakhir zaman Anglo-Saxon yang menahan serangan dan kedatangan bangsa Viking. Setidaknya, temuan ini menambal historiografi Inggris-sentris dan menambah semangat moral bangsa Inggris untuk memenangkan Perang Dunia kedua.
Namun pemilik tanah, Pretty dan Phillips mulai berbeda pandangan ketika Peggy Piggott–salah satu tim penggali dari British Museum–menemukan 263 artefak yang diantaranya logam mulia.
Pretty ingin menyimpan artefaknya dahulu mengingat Perang Dunia kedua baru dimulai dan kota London adalah target pasukan udara Jerman–sehingga British Museum dan laboratorium arkeolog pusat bukan tempat yang aman bagi benda-benda arkeologis yang rapuh tersebut. Saat itu kota London diliputi kecemasan. Berbagai simulasi perang dilaksanakan seperti simulasi pemadaman listrik, instruksi perlindungan saat bom dijatuhkan, dan sosialisasi penanganan saat kekacauan terjadi. Ia saat itu mengidap kanker lambung. Penggalian dimulai sejak tahun 1938 persis ketika Jerman menyerang Polandia.
Edith Pretty meninggal tahun 1942 tanpa sempat melihat Perang Dunia berakhir dan dimenangkan Inggris (baca: sekutu). Beberapa tahun setelah kematiannya, pihak keluarga Pretty memberikan semua koleksi penggalian kepada pihak British Museum secara gratis. Meskipun saat itu Pretty diperbolehkan untuk mematok harga atas temuan di tanahnya tersebut.
Film Netflix ini disadur dari novel sejarah dengan judul yang sama ‘The Dig”. Novel ini ditulis oleh John Preston, yang merupakan sepupu dari Peggy Piggott, arkeolog perempuan yang pertama kali menemukan logam mulia emas dari situ arkeologis Sutton Hoo. Drama percintaan dalam film ini adalah hubungan tidak harmonis Piggott dengan suaminya sesama arkeolog, dan kisah cinta lokasi (cinlok) Piggott dengan Rory Lomax. Sayangnya, tokoh laki-laki sepupu Edith Peggy yang sedang melamar menjadi Pasukan Udara Inggris ini adalah tokoh fiktif. Dalam film dikisahkan Lomax memberikan perhatian lebih kepada Piggott yang diacuhkan suaminya.
Film ini berhasil menunjukan sebagian kondisi masyarakat Inggris dalam menghadapi Perang Dunia Kedua. Kemudian, pertentangan klasik antara mereka yang otodidak, seperti Brown dan mereka yang terlatih secara akademis seperti Philips. Dalam blog website British Museum hubungan tidak harmonis antara Brown dan Philips seperti ditunjukan film sempat dibantah dengan argumen bahwa Brown sendiri memuji Philips dalam buku yang pernah ia terbitkan. Selain itu British Museum mengkritisi adegan film tidak tidak akurat dengan kejadian sebenarnya. Seperti hubungan antara Brown-Philips, posisi situs arkeologis, penggambaran mengenai sosok Piggott, dan sentimen terhadap kalangan akademis yang tidak terbukti dalam foto aslinya.
Keahlian Brown dibidang arkeologis yang putus sekolah dibuktikannya dengan menerbitkan tiga jurnal ilmiah terkait arkeologi, dan namanya disebut kurang lebih 44 kali dikutip dalam jurnal-jurnal arkeologi Inggris. Edith Pretty sendiri mendapatkan penghormatan dengan disebut dalam list ‘People behind Collection’ British Museum. Sementara Basil Brown tidak mendapatkan pengakuan dari British Museum, Netflix mencoba memberikan penghargaan melalui film ‘The Dig.’