Al-Qur’an menjelaskan: Kam min fiatin qalilatin ghalabat fiatan katsiratan biidznillah, wallahu ma`ash-shabirin; Berapa banyak – terjemahan lain mengartikan “kerap kali”- kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan idzin Alloh, dan Alloh bersama orang-orang yang sabar (QS. Al- Baqarah [2]: 249).
Kutipan di atas adalah salah satu penggalan dari cerita tentang Thalut dan Jalut di dalam Al-Qur’an. Dari cerita itu disimpulkan bahwa banyak sekali kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar, dan kelompok kecil di situ adalah Thalut. Dan kunci terbesar dari kekuatan itu adalah pada tiang kesabaran, yang harus dimiliki kelompok kecil . Ayat ini berkaitan dengan perang dan strategi perang di dalam konteks Jalut Thalut, dan kesabaran di situ bisa dimaknai penyusunan strategi, langkah-langkah yang dilakukan secara cermat. Di tengah situasi seperti itu, hanya kelompok yang memiliki kesabaran, tidak gegebah, melakukan perhitungan dengan cermat, melakukan langkah-langkah taktis yang bisa memenangkan peperangan dengan idzin Alloh.
Kebenaran substansi dari ayat ini tidak hanya berlaku di dalam konteks strategi perang dan taktik peperangan. Ayat ini juga memiliki relevansi dengan keadaan non perang, yaitu memiliki dimensi upaya meraih sesuatu yang lebih baik dan lebih mashlahat, di dalam membangun-mengembangkan peradaban kelompok dan umat Islam: kelompok kecil akan dapat bertahan, meraih tempat, dan memimpin sebuah kelompok besar, bila memenuhi syarat-syaratnya, yang dilakukan dengan penuh kesabaran.
Pasukan Thalut yang jumlahnya lebih kecil, pertama diuji Alloh dengan kabar akan mem peroleh sungai, barangsiapa yang lupa diri dan meminum dari air sungai itu, dia dianggap tidak bagian dari golongan Thalut. Akhirnya, benar, sungai itu ditemukan. Dan sebagian kecil mereka meminum air dengan tangannya, dan setelah meminum merekapun berkata: “Pada hari ini kami tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan Jalut dan bala tentaranya.” Sementara mereka yang patuh dengan pimpinan dan berharap Ridho Tuhan berkata: “Berapa banyak kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan idzin Alloh, dan Allloh menyertai orang-orang yang sabar.” Dan kelompok terbesar di dalam kel ompok kecil itu, yang tidak meminum air sungai ujian yang dikabarkan Thalut dari Tuhan, ketika menghadapi pasukan Jalut. berkata: “Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran pada kami, dan kuatkanlah langkah kami.” Pasukan Thalut ini mampu mengalahkan Jalut setelah Daud mampu membunuh Jalut.
Arti dari hal itu, ada dua hal penting:
Pertama , sungai ujian. Setiap kelompok akan menghadapi berbagai ujian di dunia sosial . Sungai bisa bermakna godaan kenikamatan sesaat, sumbu pendek, berpikir cekak, karena pimpinan kelompok berdasarkan keputusan bersama mengeluarkan kode melarang minum air sungai itu. Larangan meminum air sungai ini memberi pesan, perlunya soliditas dan persatuan di bawah pimpinan dengan mempertimbangkan kepentingan kelompok yang lebih luas, tidak bertindak atas dasar kepentingan pribadi semata.
Kedua, kekuatan dari dalam, adalah kekuatan yang terus dikonsolidasikan oleh pasukan Thalut dengan memperkuat langkah, dengan penuh kesabaran. Kekuatan ini dibangun dengan mengandalkan kekuatan dari dalam, memberdayakan SDM kelompok, dan tidak tergantung pada ke kuatan luar (tanpa harus memutus hubungan dengan kekuatan dari luar). Kekuatan dari dalam, juga bermakna melakukan pengembangan, pen yesuaian, dan melakukan kreativitas sesuai dengan zaman, untuk bisa berdialektika di dalam dunia sosial.
Hubungannya dengan kita. Dulu, umat Islam adalah kecil, hanya beberapa keluarga, lalu besar, dan membesar. Tetapi besarnya umat Islam saat itu, bukan karena ditentukan oleh besar dalam jumlah, tetapi juga dalam gagasan ketika melakukan koreksi dan menawarkan alternatif, memanusiakan manusia, menggandrungi hidup rukun dan tenang antarsesama tanpa kehilangan kewaspadaan (dan siap tegas beradu manakala diperlukan), melaklukan empati terhadap kaum mustadafin, dan memberi jalan keluar sosial, baik secara spiritual, ekonomi, budaya, dan politik, dan relevan dengan zaman.
Masalahnya kita di Indonesia, masih saja disuguhi oleh sebagian pemimpin Islam, yang mengartikulasikan bahwa besarnya Islam adalah besarnya jumlah, sehingga mereka harus menunjukkan dengan kerumunan besar, unjuk video dengan penuh caci maki, dan perkataan-perkataan yang tidak ramah. Mereka menunjukkan Islam bukan sebagai kekuatan sebenarnya, kekuatan bertarung dalam ide, kekuatan untuk menawarkan alternatif pengelolaan pembangunan, mengatasi macet, banjir dan lain-lain.
Kekuatan Islam sesungguhnya harus menjadikan Islam mampu memberikan kekuatan konsolidasi bersama masyarakat sebagaimana bentuknya dicontohkan dalam Piagam Madinah, bukan mengisolasi dan menseparasi. Kekuatan yang mampu mengintegrasikan dan menjadi lokomotif positif bagi kekuatan-kekuatan lain, di tengah bangsa Indonesia yang telah dibuat dengan kesepakatan berbagai kelompok pendiri bangsa kita ini.
Kekuatan Islam yang mengisolasi, dengan meligitimasi sebagai aspirasi Islam berhadapan dengan aspirasi lain, adalah semakin memperlemah kekuatan umat. Padahal memperjuangkan aspirasi nasional, bersama kelompok-kelompok lain, berarti juga memperjuangkan umat Islam. Sayangnya, hal ini semakin terkikis oleh panggung selebrasi dari kekuatan umat Islam yang dipandu pimpinan-pimpinan panggung selebrasi berbalut dengan politisasi.
Walhasil, mengonsolidasi dan memperbaiki kelompok kecil untuk meraih tujuan yang lebih mashlahat, akan lebih mudah. Se baliknya memperbaiki kelompok besar yang tidak menyadari bahwa dia tidak memiliki kekuatan, dan semakin mengisolasi diri, akan lebih sulit, karena di dalam dirinya berbalut kesombongan, jumawa, dan ketidakhati-hatian. Di tangan pimpinan-pimpinan panggung seperti itulah , air sungai ujian yang dikabarkan Thalut itu, acap dilanggar dan direguk sendiri. Umat hanya diajari kepuasan sumbu pendek, yang sejatinya bukan kekuatan sesungguhnya dari Islam. []