Coki Pardede dan YouTuber Indah G menjadi sorotan di media sosial X. Keduanya menuai kecaman karena dianggap tidak memiliki empati terhadap korban genosida Palestina.
Dalam potongan video, mereka terlihat menertawakan aksi boikot produk pro-Israel, khususnya Starbucks, yang mendukung tindakan genosida Israel terhadap rakyat Palestina.
“Kamu masih minum Starbucks?” tanya Indah G dalam bahasa Inggris di akun YouTube-nya.
Dengan santai, Coki Pardede menjawab bahwa dirinya hampir setiap hari minum kopi dari brand tersebut.
“Gue enggak mau mempersulit diri gue, dengan enggak bisa minum kopi enak,” ujarnya sambil tertawa.
Komentar tersebut menuai reaksi keras dari warganet yang menilai bahwa Coki dan Indah tidak memiliki empati terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Sebagi seorang komika dengan persona komedi gelap (dark jokes), Coki bukan kali pertama memicu polemik di ruang media digital. Materinya yang kerap menyentuh topik-topik sensitif seperti kelompok rentan–baik secara struktur sosial, kelas ekonomi, hierarki politik, dan sentimen ras–memicu kesalahpahaman orang, untuk tidak menyebut ketersinggungan.
Orang dengan materi komedi seperti Coki sebetulnya cukup membingungkan, apalagi jika hal itu termediasi melalui jejaring media sosial. Dalam buku “Comedy and the Politics of Representation“, Helen Davies menjelaskan bagaimana komedi sering kali menjadi alat untuk membentuk dan meneguhkan identitas sosial dan budaya, atau bahkan menantangnya.
Komedi, kata Davies, memiliki ambivalensi dalam ekspresinya: bisa bersifat reaksioner dan konservatif atau radikal dan subversif. Misalnya, komedi bisa digunakan untuk menyerang kelompok marjinal atau justru untuk menentang status quo yang menindas.
Pembelaan “Itu Cuma Lelucon”
Sering kali, orang-orang dengan posisi kekuasaan tertentu (baca: power) atau figur publik yang memiliki pengaruh menggunakan pembelaan “itu cuma lelucon”. Ini terjadi, terutama, ketika mereka dituduh bersikap ofensif. Pembelaan ini biasanya dilakukan untuk melindungi diri mereka dari kritik. Biasanya, klaim yang dilontarkan adalah komentar mereka tidak serius dan tidak seharusnya diambil hati secara harfiah.
Saya tidak mengatakan bahwa Coki dan Indah berdalih demikian. Namun, komentar dan respons di media sosial banyak yang menganggap para pengritik Coki justru kurang literasi komedi.
Comedy Stereotyping
Serupa tapi tak sama, mewabahnya para pendukung Coki itu mengingatkan saya terhadap kasus Roseanne Barr. Komedian sekaligus aktor Amerika ini berdalil “itu cuma lelucon” setelah membuat komentar rasis tentang mantan pembantu presiden, Valerie Jarrett.
Kala itu, Selasa pagi, 29 Mei, Barr menulis di Twitter: “muslim brotherhood & planet of the apes had a baby = vj”.
Mencari pembelaan, Barr kemudian membuat serangkaian pernyataan membingungkan tentang ras Jarrett. Ia juga menyalahkan pil Ambien yang dia konsumsi. Dan, ya, mengklaim cuitannya “Itu cuma lelucon!!”
Tentu saja apa yang Barr lakukan adalah langkah retorika yang menarik. Tidak diragukan lagi bahwa komentar itu dibuat sebagai lelucon–tidak ada yang mengklaim Barr percaya sepenuhnya bahwa gerakan politik yang terpecah secara ideologis dan film fiksi ilmiah apokaliptik berhasil bereproduksi dalam ikatan perkawinan.
Namun, statusnya sebagai lelucon tidak menghilangkan unsur rasisme, atau Islamofobia yang tersirat dalam penggunaan frasa “Ikhwanul Muslimin” (muslim brotherhood), yang kala itu ditetapkan sebagai organisasi Teroris Asing oleh pemerintahan Trump, sebagai singkatan untuk menggambarkan dunia Muslim sebagai sumber ketakutan.
Politik Representasi Komedi
Jadi, klaim “itu cuma lelucon” harus memiliki makna yang lebih dalam. Karenanya, alih-alih mampu mengatasi kritik yang diterimanya, komentar atau klarifikasi Barr justru dianggap semakin memperkuat stereotip negatif. Ia juga malah menunjukkan sikap apatis terhadap kelompok yang kurang beruntung.
Demikian pula, komentar Coki dalam konten video bersama Indah tentang boikot Starbucks. Argumen yang coki berikan dalam video justru memperkuat stereotip bahwa gerakan boikot tidak memiliki arti signifikan dan tidak efektif.
Ia juga sedang mempertontonkan kurangnya empati terhadap penderitaan rakyat Palestina yang, pada gilirannya, bisa memperkuat sikap apatis atau kurangnya empati terhadap isu-isu kemanusiaan. Ini menjadi semakin membingungkan ketika persona Coki sebagai seorang komedian kerap kali membranding dirinya dengan adagium, “humanity above religion”.
Jadi, jauh dari kata menertawakan, Coki agaknya lebih tepat sedang mengolok-olok orang yang berusaha melakukan gerakan solidaritas untuk memperjuangkan nasib warga Palestina di tengah kolonialisme Israel. Ini seperti dijelaskan Davies, bahwa representasi dalam komedi adalah kunci dalam mengarahkan respons audiens: apakah mereka akan tertawa bersama si pelawak atau malah mentertawakan objek komedi tersebut.
Dalam hal ini, baik Indah maupun Coki tampaknya lebih fokus pada menertawakan usaha boikot tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas.
Kekuasaan dan Lelucon
Anshuman Mondal, seorang aktivis kebebasan berbicara, menyatakan bahwa lelucon bukan hanya memiliki sifat dasar kritis terhadap kekuasaan, tetapi juga sering digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan bahkan menegaskan superioritas.
Dalam konteks ini, Coki Pardede, sebagai seorang komika dengan platform, kapital simbolik, pengaruh, dan audiens yang luas, menggunakan leluconnya untuk mempertahankan posisinya. Ia seolah juga sedang menunjukkan ketidaktergantungannya pada gerakan sosial seperti boikot produk pro-Israel.
Pernyataan Coki tentang “gue enggak mau mempersulit diri gue, dengan enggak bisa minum kopi enak (Starbucks)” bisa dilihat sebagai permainan kekuasaan. Melalui politik bahasa, Coki hendak menegaskan superioritasnya atas gerakan tersebut dan orang-orang yang mendukungnya.
Selain itu, lelucon yang melibatkan isu-isu sensitif seperti genosida dan penderitaan rakyat Palestina sebetulnya tidak beroperasi dalam ruang hampa. Mereka memiliki dampak nyata terhadap cara audiens memandang isu tersebut.
Reaksi negatif warganet terhadap pernyataan Coki dan terbahak-bahaknya Indah menunjukkan bahwa banyak orang merasa lelucon tersebut tidak saja tidak lucu. Ia juga sangat tidak sensitif terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina.
Hal itu mestinya bisa menunjukkan pentingnya tanggung jawab etis dalam komedi. Para komika dan figur publik harus bisa mempertimbangkan dampak dari lelucon mereka terhadap audiens dan subjek lelucon.
Yah, tapi, dalam dunia di mana humor atau komedi memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik dan sikap sosial, penting bagi kita untuk mengingat bahwa tawa bukanlah pembenaran untuk menyakiti atau merendahkan orang lain.
Bukankah gelak tawa itu bukan sekadar kesenangan intelektual, tapi juga aktivitas manusiawi dan dengan demikian memiliki makna sosial untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan? Ini kata Henri Bregson, gak pake Pardede..