Dalam Islam, mencela dan mencaci seseorang merupakan perbuatan yang dilarang. Kita tidak diperbolehkan mencaci seseorang, baik dari segi fisik dan perbutannya. Jika kita melihat ada hal yang tidak kita sukai dari orang lain, maka kita dianjurkan untuk mendoakan kebaikan bagi orang tersebut. Sebaliknya, jika kita melihat ada hal yang kita sukai dari orang lain, maka kita dianjurkan untuk mengapreasi dan mengucapkan rasa syukur kepada Allah.
Jika kita sudah terlanjur mencaci orang lain karena sebab tertentu yang tidak kita sukai, maka kita wajib minta maaf sekaligus memohon ampun kepada Allah. Selain itu, kita juga wajib mendoakan orang yang terlanjur kita caci. Kita tidak cukup hanya minta maaf saja, namun juga harus mendoakan agar cacian tersebut dijadikan sarana yang mendekatkan dirinya kepada Allah.
Hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi SAW ketika beliau tidak sengaja menyakiti orang lain melalui sebuah perkataan. Beliau mendoakan kepada Allah agar perkataan yang menyebabkan sakit hati orang lain dijadikan sebagai rahmah, kebaikan dan sarana yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi SAW pernah berdoa sebgai berikut;
اللَّهُمَّ فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ سَبَبْتُهُ فَاجْعَلْ ذَلِكَ لَهُ قُرْبَةً إِلَيْكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ya Allah, siapa saja orang mukmin yang pernah aku caci, jadikanlah cacian tersebut sebagai sarana yang mendekatkan dirinya kepada Engkau di hari kiamat.”
Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik, dia mengisahkan bahwa Ummu Sulaim mempunyai anak perempuan yatim. Suatu saat Nabi SAW melihat anak perempuan tersebut seraya berkata, “Oh kamu rupanya. Kamu memang sudah besar tapi belum dewasa.”
Mendengar ucapan Nabi SAW ini, anak perempuan tersebut pulang menemui Ummu Sulaim sambil menangis. Melihat kejadian ini, Ummu Sulaim bertanya, “Ada apa denganmu wahai anakku?.”
“Rasulullah telah mengatakan kepada saya bahwa saya belum dewasa dan saya tidak akan pernah menajdi dewasa selamanya,” jawab anak perempuan tersebut.
Mendengar pengaduan anak perempuannya ini, Ummu Sulaim pun segera keluar dengan memakai kerudung untuk bertemu Rasulullah. Setelah bertemu, Rasulullah langsung bertanya, “Ada apa denganmu wahai Ummu Sulaim?”
Ummu Sulaim kemudian menjawab, “Anak perempuan saya mengadu kepada saya bahwa engkau mengucapkan kata-kata yang menyedihkan hati anak perempuan saya yang masih yatim.”
“Apa maksudmu wahai Ummu Sulaim?,” Rasulullah balik bertanya.
Kemudian Ummu Sulaim menjelaskan, “Kata anak perempuan saya, engkau mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menjadi dewasa selamanya.”
Mendengar penjelasan ini, Rasulullah malah tertawa dan berkata, “Wahai Ummu Sulaim, tidak tahukah kamu apa yang telah aku syaratkan kepada Allah, Tuhanku?”
Tanpa menunggu jawaban dari Ummu Sulaim, Rasulullah melanjutkan, “Aku pernah berkata, ‘Ya Tuhanku, aku hanyalah seorang manusia. Aku bisa bersikap ridha seperti orang lain, aku juga bisa marah seperti orang lain. Jika ada seseorang dari umatku yang tersakiti oleh kata-kataku yang semestinya tidak layak aku katakana kepadanya, maka jadikanlah hal tersebut sebagai penghapus dosa dan sebagai pahala yang mendekatkan dirinya kepada-Mu di hari kiamat kelak.”
Melalui kisah ini, Nabi SAW sudah mengajarkan bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap orang yang pernah kita caci dan tersakiti dengan ucapan kita. Yaitu minta maaf kemudian mendoakan kebaikan agar kata-kata yang menyebabkan sakit hati orang tersebut dijadikan sebagai pahala dan sarana mendekatkan diri kepada Allah.