Dewasa ini kepemimpinan dijadikan ajang rebutan oleh banyak orang untuk memenuhi hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia. seringkali seseorang mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin dan menyalahgunakannya untuk memperoleh keuntungan pribadi baik itu yang bersifat material maupun non-material. Rasulullah dalam satu haditsnya tidak mengizinkan memberikan kepemimpinan kepada orang yang berambisi terhadapnya.
Tidak juga hanya sampai itu, ambisi akan kekuasaan atau kepemimpinan tersebut akan mengalanginya untuk mendapatkan kebaikan di Akhirat (surga). Sebagaimana yang difirmankan dalam surah Al-Qashas ayat 83:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ (83)
“Negeri akhirat itu, kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menerangkan bahwa kebahagiaan dan segala kenikmatan di akhirat disediakan untuk orang orang yang tidak takabbur (tidak menyombongkan diri) dan tidak berbuat kerusakan dibumi seperti menganiaya dan sebagainya. Kalimat “Lā yurīdūna ‘uluwwan” (tidak menghendaki keangkuhan) mengisyaratkan bahwa yang bersangkutan tidak melakukan suatu keangkuhan atas kehendaknya. Penyebutan kata “Fasādan” (perusakan) sesudah kata “keangkuhan” bertujuan menekankan keburukan bersikap angkuh. Sekaligus mengisyaratkan bahwa sikap angkuh akan mengantarkan kepada perusakan.[1]
Quraisy Shihab mengungkapkan bahwa ayat di atas di dahului dengan kisah jatuhnya siksa kepada Qarun dan harta bendanya karena keangkuhannya, maka ketika kita korelasikan dengan ayat sebelumnya dapat memberikan kesimpulan bahwa kebahagiaan hakiki (akhirat) tidak akan diperoleh orang yang semacam dengan Qarun.[2] Yakni orang-orang yang angkuh dan mengharapkan derajat yang tinggi di mata orang atau dengan kata lain orang yang berambisi terhadap kepemimpinan untuk mengambil sesuatu darinya baik itu harta benda, kehormatan atau yang lainnya.
Namun demikian, di sisi yang berbeda yakni di Surat Yusuf ayat 55 dijelaskan bahwa Nabi Yusuf meminta dijadikan bendaharawan pada masa itu.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55)
“Berkata Yusuf: jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yususf:55)
Ayat tersebut menggambarkan bagamana Nabi Yusuf As. meminta jabatan untuk dirinya yakni menjadi bendaharawan Mesir. Karena beliau orang yang paling mampu dan pandai menjaga (jika menjadi bendaharawan) dan orang paling mengetahui (urusan perbendaharaan). Dalam bahasa yang lain, Nabi Yusuf As. meminta jabatan sebagai bendaharawan Mesir karena beliau berkompeten dalam bidang itu. Dan pada saat itu pula tidak ada yang lebih baik dari Nabi Yusuf As.
Baca juga: Indonesia VS Al-Maidah ayat 51
Jika kita perhatikan, kedua ayat di atas memang terlihat saling bersinggungan satu sama lain. Akan tetapi ketika kita mengorek lebih dalam lagi dari masing-masing ayat tersebut maka akan tampak konteks yang berbeda di antara dua ayat tersebut (al-Qashas 83 dan Yusuf 55). Sehingga dari kedua ayat tersebut memberikan batasan-batasan dalam permasalahn ini yakni ambisi terhadap kepemimpinan.
Al-Qashas ayat 85 memberikan batasan bahwa kita tidak boleh meminta ataupun mencalonkan diri menjadi pemimpin ketika kita tidak mampu memegang amanah tersebut dan ketika ambisi kita untuk menjadi pemimpin atau memangku sebuah jabatan hanya untuk memenuhi keinginan nafsu dunia semata yang pada akhirnya akan membawa kita menuju untuk berbuat kerusakan dan hal-hal negatif lainya.
Sebaliknya, surat Yusuf ayat 55 menjadi dasar diperbolehkannya meminta jabatan atau mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin. Ketika seseorang memiliki kualitas dan kompeten dalam kepemimpinan serta mampu menegakkan syariat-syariat agama maka diperbolehkan mengajukan diri untuk menjadi pemimpin. Bahkan ketika dikhawatirkan kepemimpinan tersebut akan diambil alih oleh orang yang dzalim yang akan membawa kepada kerusakan. Dalam konteks yang semacam itu seseorang yang kompeten dan mampu menegakkan syari’at agama harus mencalonkan diri menjadi pemimpin untuk menghindari pemimpin yang dzalim. (AN)