Seorang kawan mengirim pesan singkat lewat Whatsapp ke saya. Isi pesan itu adalah sebuah tangkapan layar percakapan seorang mahasiswa yang sedang menceritakan kasus pelecehan seksual di salah satu kampus bilangan Yogyakarta.
Sebelumnya, saya telah lebih dulu membaca pesan itu, di akun twitter @mahasiswaUwINd, kemudian akun tersebut itu menandai akun twitter @UINSK. Saya tahu, seorang kawan tadi mengirim pesan karena dia tahu kasus pelecehan seksual karena memang yang sedang jadi bahan perbincangan di media sosial itu adalah kampus saya.
Lagi rame nih, pelecehan seksual yang dilakuin dosen. Tapi masih belum denger ada peraturan tegas dari pihak kampus tentang pelecehan seksual. Pie? Arep meneng wae po? @UINSK pic.twitter.com/tKGlvL34Q7
— uwind sukijo (@mahasiswaUwINd) February 18, 2020
Pesan singkat itu mengingatkan saya pada beberapa kasus serupa, seperti kasus Agni yang mendapat pelecehan seksual saat KKN kampus berlangsung. Selanjutnya ada kasus yang sama pula terjadi di kampus UIN Yogyakarta.
Jika kasus Agni itu dilakukan oleh teman satu kelompok KKN, sementara dalam kasus yang diunggah oleh Instagram @srikandiuin ini melibatkan oknum yang diduga dosen namun menyalahi mahasiswinya. Walau berbeda pelaku, kudua kasus di atas memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama mengalami kasus pelecehan.
https://www.instagram.com/p/B8yom1WgxN4/?utm_source=ig_web_copy_link
Kita tidak pernah tahu pasti berapa jumlah kasus pelecehan di kampus, berapa korban dan siapa yang melakukan. Namun, yang pasti bahwa pelecehan seksual berpotensi tetap terjadi di kampus. Ini tentu saja tidak bisa dibiarkan.
Sudah semestinya merespon kasus pelecehan seksual ini terdapat aturan yang jelas. Upaya untuk mendamping secara tepat terhadap korban dan penerapan sanksi tegas terhadap pelaku juga tidak kalah krusial dan mendesak untuk dipikirkan.
Lebih-lebih jika itu melibatkan seorang yang berprofesi sebagai dosen. Setiap kita pastilah mengerti bilamana terdapat “relasi kuasa” seorang dosen terhadap mahasiswa, yaitu otoritas dosen terhadap nilai mata kuliah. Dan, relasi inilah yang paling memungkinkan adanya peluang dosen berlaku korup terhadap mahasiswa/i-nya.
Pada kasus yang diangkat oleh beberapa mahasiswa di UIN ini, misalnya, adalah contoh nyata betapa dosen memiliki otoritas terhadap masa depan nilai para muridnya. Sementara persoalan nilai ini adalah yang paling menyita perhatian para mahasiswa, terutama bagi mahasiswa baru.
Sampai tulisan ini dibuat, kawan-kawan mahasiswa menceritakan masih menelusuri kasus pelecehan ini sampai menemukan titik terang. Yang pasti, dari komentar-komentar yang ada dapat dipastikan bahwa kasus itu terjadi di lingkungan kampus UIN Yogyakarta, dan pelakunya adalah seorang dosen, sedang korbannya adalah mahasiswi. Jika memang kedepan kasus ini terungkap dengan jelas, korban haruslah dilindungi dan pelaku harus diberi sanksi yang berat.
Memang, dalam banyak kasus pelecehan seksual, korban selalu merasa malu dan seringkali mengurungkan niat untuk menceritakan kepada rekanan sejawat-seperjuangan lain. Ini dimungkinkan karena korban yang bersangkutan digentayangi banyak bayang-bayang seperti takut dikeluarkan dari kampus, takut terhadap pelaku, takut terhadap asumsi orang-orang terhadapnya, takut terhadap caci-maki dan segudang ketakutan-ketakutan lain.
Pada kurun 2019 media setamsil tirto.id sempat membuat program kolaborasi #NamaBaikKampus, dengan melibatkan media-media lain seperti Vice Indonesia dan The Jakarta Post, mengenai kasus Agni di Universitas Gajah Mada pada 5 Februari 2019.
Dalam laporan jurnalisme kolaborasi itu menunjukkan terdapat 207 orang yang memberi testimoni tentang 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi, dan berlangsung sekiranya dari tanggal 13 Februari sampai 28 Maret 2019.
Selain itu, dari data yang menunjukkan besarnya kasus pelecehan seksual yang terjadi di perguruan tinggi ini merupakan bukti adanya kasus pelecehan di kampus yang melibatkan sejumlah elemen, seperti mahasiswa, dosen, staf, maupun warga di lokasi KKN, bahkan dokter di klinik kampus.
Mengenai kasus pelecehan ini, Kemenag sempat mengeluarkan surat keputusan perihal “Penyampaian Keputusan Dirjen Pendis tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam”. Surat tersebut ditujukan kepada Rektor PTKIN/PTKIS mengenai banyak hal terkait kekerasan seksual, seperti pelayanan pengaduan yang harus difasilitasi oleh kampus, serta menyediakan sarana dan prasarana.
Dalam situasi normal, surat keputusan itu harusnya disambut oleh pihak kampus dengan, umpamanya, membuat aturan atau semacam Juknis terkait pencegahan dan penanganan terhadap kasus pelecehan seksual. Namun sejauh penelusuran penulis, sampai saat ini tidak ada aturan yang jelas dari pihak kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terkait perkara ini.
Akibatnya, perempuan pun seringkali menjadi korban pelecehan seksual. Selain itu perempuan juga menjadi sebatas objek atas berbagai aturan seperti tergambar dalam RUU Ketahanan Keluarga sehingga membuat perempuan terdomestifikasi.