Kenapa Sih Perempuan Masih Aja Jadi Target Pelecehan Seksual, Plus Makhluk Kelas Dua di Level Hukum dan Kebijakan?

Kenapa Sih Perempuan Masih Aja Jadi Target Pelecehan Seksual, Plus Makhluk Kelas Dua di Level Hukum dan Kebijakan?

Sudah dilecehkan, jadi target kekerasan seksual, plus masih diapandang sebelah mata oleh hukum dan kebijakan. Hadehh…

Kenapa Sih Perempuan Masih Aja Jadi Target Pelecehan Seksual, Plus Makhluk Kelas Dua di Level Hukum dan Kebijakan?
Ilustrasi: Shutterstock

Beberapa waktu lalu, kawan saya sedang mengendarai motor di daerah yang sebetulnya tidak sepi-sepi amat. Tiba-tiba, dari arah belakang motor kawan saya dipepet oleh pengendara lain. Dan, ya, teman perempuan saya dilecehkan di tengah jalan, oleh pengendara tak bertanggungjawab (kebetulan laki-laki) yang melakukan percobaan meremas payudara. Padahal, itu terjadi di waktu yang belum larut malam.

Beruntung kawan saya tidak mengalami tonic immobility atau reaksi biologis kelumpuhan sementara yang sering membuat korban kekerasan seksual lainnya mematung ketika dilecehkan. Kawan saya mengelak dengan susah payah karena sambil mengendarai motor. Pelaku justru mencakar kawan saya dan menarik sweaternya hingga robek. Karena ditarik begitu kuat, kawan saya hilang keseimbangan dan jatuh dari motor. Pelaku lalu melarikan diri.

Sialan, pelaporan ke kantor polisi atas kasus tersebut belum ditindaklanjuti dengan sigap. Lelah hati yang dialami oleh kawan saya bertumpuk karena trauma psikis dan lelah berharap atas pengusutan kasus.

Kasus seperti di atas sering terjadi dengan sebutan begal payudara. Menurut catatan pemuatan SindoNews dengan judul artikel “Begal Payudara, Ketidaknyamanan bagi Perempuan” selama Januari sampai Juli tahun 2020 begal payudara terjadi di 18 wilayah di Indonesia seperti  Bekasi, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Surabaya, Sumatera Barat, Rangkasbitung, Serang, Pontianak, Wonosobo, Palembang, Jombang, Sulawesi Selatan, Sragen, Probolinggo, Depok, dan Soppeng. Begal payudara ini termasuk dalam kekerasan terhadap perempuan dengan kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan fisik.

Miris, pelaporan tentang kasus seperti ini jarang bisa diselesaikan dalam ranah hukum karena minim bukti dan juga tidak ada paying hukumnya. Begitu pula dengan kasus kawan saya yang minim bukti, permintaan kepada pihak berwajib untuk mengecek cctv asrama yang dekat dengan lokasi kejadian juga tidak disambut. Kesal rasanya mendengar perkembangan kasus di ranah hukum yang tidak gayung bersambut dengan permintaan korban.

Perempuan dan Kekerasan Seksual selama Pandemi

Selama tahun 2020 berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan terdapat kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sebesar 299.911 kasus yang ditangani berbagai lembaga. Dari jumlah kasus tersebut 8.234 kasus ditangani lembaga mitra Komnas Perempuan. Dari 8.234 kasus tersebut, kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling sering terjadi. Tercatat 30% kekerasan seksual di dalam keluarga atau ranah pribadi, 55% di ranah komunitas atau publik, dan 48% di ranah media sosial. Kasus kawan saya tadi salah satunya yang masuk di ranah publik.

Faktor kekerasan seksual yang meningkat selama pandemi bermacam. Laporan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) mengatakan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan selama pandemi baik di ranah privat maupun publik meningkat karena kekhawatiran akan keamanan, kesehatan, dan uang meningkatkan tensi dan ketegangan akibat kondisi kehidupan yang sempit dan terbatas karena pembatasan sosial. Mirisnya, ada pula kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik saat korban dan pelaku sama-sama menjadi relawan Covid19. Faktor lainnya, Intensitas orang menggunakan internet yang meningkat selama pandemi pun menjadi faktor yang memperparah angka kekerasan seksual di ranah siber.

Kekerasan Seksual Bukan Karena Seksi atau Malam Hari

Stigma terkait kekerasan seksual yang disebabkan karena baju seksi atau malam hari sudah tidak terbukti. Apa yang dialami oleh kawan saya jelas membuktikan bahwa dengan menggunakan swater yang longgar pun begal payudara tetap terjadi. Data dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) terkait pelecehan seksual (salah satu bentuk kekerasan seksual) yang terjadi pada perempuan menyatakan bahwa 17,47% korban pelecehan seksual memakai rok panjang dan celana panjang, 15,82% menggunakan baju lengan panjang, 14,23% mengenakan seragam sekolah, 13,20% menggunakan kerudung, dan 0,17% bercadar.  Pun juga dengan malam hari adalah mitos jika dihubungkan menjadi faktor kekerasan seksual. Banyak begal payudara atau bentuk kekerasan seksual lainnya yang terjadi saat gelap belum datang.

Sedikitnya Korban Kekerasan Seksual yang Melapor

Bagai jatuh tertimpa tangga dua kali, perempuan yang lebih sulit mengakses layanan kesehatan selama pandemi juga lebih rentan mendapatkan kekerasan seksual, ditambah lagi tidak seluruhnya kasus bisa dilaporkan dan ditangani secara hukum.

Data dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menjelaskan jika per Juli 2020, jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat 75 persen selama masa pandemi dengan total kasus yang dilaporkan hanya 29%. Di tahun-tahun sebelumnya pun angka kasus kekerasan seksual yang dilaporkan minim. Data dari Unit Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta menyebutkan di tahun 2019  ada 692 kasus kekerasan seksual yang tidak melapor sedangkan hanya 487 kasus yang dilaporkan. Tahun 2018 sebesar 1.160 kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan dan hanya 609 yang dilaporkan. Sebabnya beragam, tetapi mayoritas karena kurang bukti dan bentuk kekerasan seksual yang menimpa mereka tidak didefinisikan oleh hukum Indonesia.

Perempuan Korban Kekerasan Seksual Tidak Dilindungi Hukum

Ketika ada kasus kekerasan seksual di ranah publik dan diangkat ke ranah hukum, biasanya akan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di KUHP sebenarnya tidak spesifik mengatur kekerasan seksual dengan 15 bentuk kekerasan yang berbeda sesuai dengan spesifikasi dari Komnas Perempuan. KUHP hanya mengenal istilah perkosaan, persetubuhan dan perbuatan cabul yang tertulis pada pasal 285 sampai 296 Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Definisi perkosaan yang diatur dalam KUHP hanya hubungan antara kelamin bertemu kelamin dengan adanya proses ancaman atau kekerasan. Sedangkan pencabulan yang diatur dipasal KUHP masih sebatas konteks fisik.

Masih banyak keterbatasan dari pasal-pasal KUHP terkait kekerasan seksual terutama dengan fakta banyak bentuk kekerasan seksual yang nyata terjadi di masyarakat: perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (misalnya sunat perempuan), dan kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Dari fakta banyaknya bentuk kekerasan seksual, lantas bagaimana korban kekerasan seksual yang dilakukan dengan memasukkan benda ke kelamin perempuan? Biasanya kasus ini dalam KUHP tidak bisa dikatakan perkosaan, tetapi hanya dimasukkan ke pencabulan yang hukumannya lebih ringan dari hukuman perkosaan yang ditetapkan maksimal 12 tahun penjara, maksimal sembilan tahun penjara. Kasus lain, bagaimana jika kekerasan seksual yang diterima adalah pencabulan dengan bentuk verbal? Tindakan itu di KUHP dikategorikan dalam tindakan melanggar kesusilaan yang hukumannya jauh lebih ringan, dua tahun delapan bulan.

Dari beberapa contoh kasus tadi, KUHP terlihat nyata belum dapat berpihak pada korban dengan banyaknya fakta kekerasan seksual. Hukuman yang dirasakan pelaku justru semakin ringan jika tidak masuk ke ranah perkosaan, sayangnya ranah perkosaan juga hanya maksimal 12 tahun penjara dengan ukuran yang ketat, harus kelamin bertemu dengan kelamin. Belum lagi jika kita berbicara syarat harus adanya minimal 2 bukti agar kasus perkosaan dapat diputuskan. Banyak korban yang merasa kesulitan untuk menghadirkan minimal 2 bukti diantara bukti dari keterangan ahli, keterangan saksi, surat visum, petunjuk, atau keterangan terdakwa.

Kasus perkosaan kecenderungannya dilakukan di tempat sepi sehingga sulit membawakan saksi. Kecenderungan pelaku setelah melakukan tindak perkosaan adalah menghilangkan bukti, begitupun dengan beberapa korban yang karena sangat panik dan menganggap perkosaan adalah aib justru malah menghilangkan jejaknya. Hal ini membuat banyak kasus perkosaan yang pelakunya bebas saat di pengadilan karena hakim merasa belum ada bukti yang kuat. Selain itu, kekurangan perundangan di Indonesia sampai saat ini adalah belum ada aturan terkait pemulihan korban. Padahal dampak kekerasan seksual yang dialami korban bisa berbekas secara psikis seumur hidup jika tidak dtangani dengan baik, jauh lebih lam adaripada hukuman penjara tadi.

Secercah Harapan yang Penting Diperjuangkan

Dari absennya aturan hukum yang ada di Indonesia untuk korban kekerasan seksual, terdapat secercah harapan yang perlu diperjuangkan. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang meski sudah bertahun-tahun keluar masuk program legislasi nasional (prolegnas), di tahun 2021 tetap layak untuk diperjuangkan agar DPR bisa mensahkan. RUU ini secara substansial mencegah Tindakan kekerasa seksual dan dapat berpihak kepada korban.

Beberapa hal fundamental yang diatur dalam RUU PKS adalah: upaya pencegahan kekerasan seksual,  menegaskan ke-15 bentuk kekerasan yang sudah diklasifikasikan oleh Komnas Perempuan sebagai tindak kekerasan seksual, larangan kriminalisasi korban, aturan proses penyidikan dan penyelidikan dengan perspektif ramah gender, serta perlindungan dan pemulihan korban.

Pengawalan bersama berbagai pihak tentu sangat penting agar RUU PKS ini tidak terpental lagi dari prolegnas yang diprioritaskan. Tidak ada lagi seharusnya alasan “banyak perdebatan” terucap di tahun 2020 ini seperti alasan DPR di tahun 2020 yang menjadi penyebab RUU PKS ini dihapuskan dari prolegnas. Kita tidak bisa saling berselisih di ranah politik dan membiarkan korban kekerasan seksual semakin bertambah dan tak tertangani secara hukum. Perlu ada payung hukum yang ramah perempuan, agar perempuan tidak lagi menjadi makhluk kelas dua yang tidak diperhatikan dalam ranah hukum dan kebijakan.

*Analisis ini hasil kerja sama Islami.co dan RumahKitaB*