Ada nada dan argumentasi pembelaan yg relatif seragam terhadap penyerangan kegiatan sedekah laut baik dari kalangan agama, kebudayaan dan pejabat pemerintah. Bahwa sedekah laut itu sebenarnya hanya kegiatan kebudayaan saja. Tidak lebih tidak kurang.
Perayaan seperti itu sebenarnya lebih merupakan atraksi budaya dan wisata. Jangan dipandang sebagai kegiatan ritual, lebih-lebih dianggap bid’ah dan syirik, sehingga ditakutkan mendatangkan murka Tuhan.
Seorang intelektual dan penulis Muslim menegaskan bahwa berdasarkan yang ia lihat, kegiatan sedekah laut itu bahkan banyak diisi dengan doa-doa Islam. Sama sekali tidak ada unsur syiriknya.
Nah, pertanyaannya andai sedekah laut itu memang benar-benar sebuah ritual, sebuah upacara terima kasih dan pemujaan kepada ‘kekuatan yang menguasai laut’, apakah ia lalu boleh diberangus? Sebab asumsi inilah yang dipegangi para penyerang.
Di luar itu, cara pandang yang relatif senada di atas memperlihatkan kenyataan bahwa sedekah laut –dan banyak upacara, perayaan, pesta, atau festival adat sejenis:
Pertama, telah direduksi dan dipotong unsur ritualnya, karena berbagai sebab. Kedua, Perayaan spt ini telah mengalami inkulturasi, terutama dengan nilai-nilai agama besar.
Perayaannya tidak dihapuskan, tetapi diakomodasi dan diadaptasi dengan memasukkan aspek agama (Islam), terutama dalam prosesi doa dan peran modin.
Saya banyak menyaksikan pola seprti ini di berbagai daerah. Tetapi bagi kalangan Islam puritan, rupanya hal ini tetap tidak bisa diterima dan masih dianggap syirik.
Ketiga, Perayaan-perayaan seperti ini sekarang banyak diinisiasi, didukung oleh pemerintah (Dinas Pariwisata) dan digelar sebagai tontonan dan atraksi wisata. Karena itu, jadwalnya tidak mengikuti perhitungan langit, tapi hari liburan atau weekend. Karena itu juga jangan heran jika banyak invensi upacara sejenis di berbagai tempat akhir-akhir ini.