Dalam sebulan terakhir, ruang publik Indonesia disibukkan oleh diskusi tentang buzzer. Media massa konvensional maupun media online terus memberitakannya.
Ada yang berpendapat buzzer itu netral, ada pula yang curiga buzzer bagian dari permainan politik. Ada yang meyakini buzzer itu para profesional yang bekerja berdasarkan keahliannya, ada juga yang melabeli buzzer sebagai parasit atau sampah demokrasi. Ada yang memberi stigma buzzer istana untuk kelompok tertentu yang memiliki kesamaan pandangan dengan pemerintah. Namun sesungguhnya belum ada pemahaman yang sama tentang apa itu buzzer dan merujuk pada siapa.
Saya pagi tadi menyajikan makalah berjudul “Social Media, Propaganda of Hate and Epidemics of Post-Truth: A Study of the Indonesian Presidential Election 2019” menyinggung persoalan buzzer politik ini Konferensi Komunikasi Regional Asia Pasifik di Nusa Dua, Bali. Konferensi bertajuk “Searching for the Next Level of Human Communication: Human,
Social, and Neuro (Society 5.0)” ini diselenggarakan International Communication Association (ICA) bekerjasama dengan Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
(ASPIKOM), tanggal 16-17 Oktober 2019. Makalah di atas saya tulis bersama Dr Eriyanto, Sony Subrata, dan Dr Agus Sudibyo.
Saya antara lain menyoroti salah-paham yang muncul tentang penelitian Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Oxford Internet Institute (OII) yang bertajuk “The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”. OII meneliti keberadaan CYBER TROOPS di berbagai negara termasuk Indonesia. Mereka tidak memakai istilah BUZZER. Penelitian ini banyak digunakan sebagai acuan diskusi publik tentang buzzer politik di Indonesia belakangan.
Saya mengungkap beberapa salah paham tentang hasil penelitian ini, yang menunjukkan banyak negara di dunia, 87% dari 70 negara yang diteliti, telah mempraktikkan penggunaan akun manusia (80%), akun bot atau cyborg (11%) dan akun retasan (7%) untuk kebutuhan propaganda politik. Untuk kasus Indonesia, Bradshaw dan Howard
menemukan penggunaan akun bot dan akun yang dikelola manusia untuk menyebarkan pesan-pesan yang mendukung posisi pemerintah dalam isu tertentu. Namun di saat yang sama Bradshaw dan Howard tidak menemukan data yang meyakinkan terkait upaya pemerintah Indonesia memanipulasi opini publik melalui media sosial. Hal ini berbeda dengan yang mereka
temukan di China, Kamboja, Rusia, Iran dan Israel. Di negara-negara ini, setidaknya ada tiga kementerian atau lembaga resmi yang menggiring opini masyarakat melalui media sosial. Dengan demikian, kalaulah ada pasukan siber (cyber troop)yang operasinya menguntungkan posisi pemerintah di Indonesia, mereka tidak digerakkan oleh pemerintah secara langsung. Mereka kemungkinan digerakkan kelompok yang bersimpati pada pemerintah.
Sayangnya banyak pihak tidak secara seksama dan hati-hati dalam membaca hasil penelitian OII itu. Dengan merujuk pada penelitian itu, mereka menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah Indonesia telah menggunakan buzzer secara organik untuk menggiring opini publik. Padahal penelitian OII tidak menyimpulkan sejauh itu. Pemerintah Indonesia justru diidentifikasi lebih menahan diri dibandingkan pemerintah negara-negara lain dalam hal penggunaan media-sosial untuk pembentukan opini masyarakat.
Dalam penelitiannya, Bradshaw dan Howard membagi pasukan siber menurut ke dalam empat kelompok menurut besarnya ukuran tim, waktu kontrak yang dijalankan, kemampuan
strategi dan besaran anggaran yang dibelanjakan. Keempatnya adalah minimal cyber troop
teams, low cyber troop capacity, medium cyber troop capacity dan high troop capacity. Dalam
catatan Bradshaw dan Howard, pasukan siber yang beroperasi di Indonesia sejauh ini tergolong
berkapasitas rendah (low cyber troop capacity).
Hasil penelitian ini mematahkan sinyalemen berbagai pihak bahwa para buzzer politik di
Indonesia yang dituduh sebagai “buzzer istana” telah bergerak secara sistemik, struktural dan
massif hingga mampu memengaruhi opini masyarakat.
Dalam kesempatan ini, saya juga memaparkan hasil penelitian PoliticaWave tentang
bagaimana sesungguhnya Presiden Jokowi sebagai kandidat presiden pada pilpres 2019 yang lalu justru menjadi korban dari hoaks dan ujaran kebencian. Berbagai isu digunakan untuk menyudutkan Presiden Jokowi melalui media sosial: isu komunisme, ayahnya keturunan Tionghoa, beragama Katolik, anti Islam, kriminalisasi terhadap ulama dan antek China.
Walaupun menjadi sasaran hoaks yang bertubi-tubi, Presiden Jokowi tetap fokus dengan kampanye yang programatik dan empatik hingga akhirnya memenangkan pilpres dengan perolehan suara 55,5% dari total suara nasional. Ada total sekitar 48 jutaan Buzz atau cuitan warga di Twitter yang dipantau selama periode 1 November 2018 hingga 15 April 2019.
*) Irwan Julianto, mantan jurnalis, lulusan Harvard University.