Selepas Ramadan, kemanakah perginya Quraish Shihab dari televisi kita? Apakah tugas beliau memberi pencerahan umat sudah cukup sampai Ramadan? Kemana pula perginya Armand Maulana dan Cak Lontong yang biasanya memberi “tausiyah” sebelum azan magrib berkumandang? Juga sudah tak ada lagi Setya Novanto mengumbar pesan-pesan agama setiap sore di salah satu stasiun televisi swasta.
Acara-acara talkshow yang selain mengundang selebritas juga mendatangkan ustaz kini juga sudah tak menghadirkan ustaz lagi. Kenapa “semarak beragama” terasa hanya sesaat di televisi? Sudah hilangkah dahaga pemirsa akan tontonan bernuansa Islami?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengingatkan saya pada tulisan lama Wisnu Prasetya Utama yang berjudul Ramadhan, Televisi, dan Kelesuan Rohani. Wisnu melihat: religiotainment ala televisi menampilkan Ramadan sebagai bulan yang penuh sesak dengan hiburan bertopeng agama. Ia menyoroti sejumlah program-program Ramadan di televisi yang ditegur KPI bahkan sejak pekan pertama.
Baginya, acara-acara televisi yang “mendadak Islami” itu tidak dirancang sebagai penghormatan kepada Ramadan. Agama justru dieksploitasi sedemikian rupa. Agama hanya sebatas komoditas.
Oleh karena itu, usai Ramadan, televisi kita kembali menampilkan banalitas, kembali dengan program-program lama yang menjemukan itu. Mulai dari sinetron nir teladan hingga siaran langsung pidato ketum parpol sambil diselingi iklan mars salah satu partai. Segala yang serba religius perlahan pudar dan praktis hanya menyisikan kuliah subuh yang diampu ustaz-uztaz seleb.
Kajian Quraish Shihab yang mendalam dan menyejukkan sirna. Bukan karena kualitas acara buruk, namun karena persoalan rating. Bicara rating otomatis juga akan membicarakan iklan. Begitu seterusnya.
Benar belaka apa yang dikatakan Wisnu: tak ada nilai-nilai Ramadan dalam tayangan Ramadan, televisi hanya berorientasi pada akumulasi kapital sebagai anak kandung industri budaya populer.
Acep Iwan Saidi juga memiliki kegelisahan serupa terkait Ramadan dan televisi. Baginya, Ramadan yang mestinya hening dan sunyi justru menjadi bising dan berisik. Salah satunya disebabkan televisi. Ia membayangkan suasana puasa mirip dengan suasana menyepi umat Hindu. Tapi nyatanya Ramadan di televisi dirayakan dengan gegap gempita. Sehingga, boleh jadi, umat jauh dari khusyuk selama berpuasa karena saking banyaknya “suara” dari televisi yang memang tak pernah diam.
Acep juga menyebut, sekali setahun (setiap Ramadan) televisi seolah menyediakan “ruang spiritual” bagi umat Islam. Ruang itu, menurutnya, membentuk semacam struktur atau sistem berpuasa dalam televisi, yang membangun imajinasi kolektif bahwa “harus seperti itulah kiranya berpuasa”.
Ia mencontohkan, televisi telah mendikte kita selama Ramadan: sirup apa yang mesti diminum, apa yang seharusnya dimakan ketika sahur dan buka, obat apa yang dikonsumsi ketika sakit di bulan puasa dan seterusnya.
Begitulah, rupanya televisi kita masih meninggalkan wajah buram. Bagaimana agama ditampilkan dan Tuhan dicitrakan di televisi tak pernah lepas dari kritik.
Kedangkalan nyatanya memang masih mendapat tempat di televisi. Sebab “mencerdaskan kehidupan bangsa” kini bukan lagi menjadi tujuan utama, digantikan dengan lingkaran setan rating-iklan-uang. Berharap kepada KPI? Rasanya sia-sia belaka. Bukan begitu, bukan?