Kiyai Sepuh, Ustadz Layar Kaca, dan Penceramah Jadi-Jadian

Kiyai Sepuh, Ustadz Layar Kaca, dan Penceramah Jadi-Jadian

Kiyai Sepuh, Ustadz Layar Kaca, dan Penceramah Jadi-Jadian

Berdakwah atau mengajak kepada kebaikan adalah perintah agama. Namun, bila terburu-buru dalam berdakwah justru seringkali berakibat tidak baik. Selain berdakwah yang juga harus menggunakan metode atau cara yang baik (bil mau’idzatil hasanah), tidak terburu-buru dalam berdakwah juga penting untuk diperhatikan.

Haraam.. tidak  boleh.. Sesat..”pernah tidak kita mendengar ujaran seperti itu di layar televisi oleh para penceramah, ustadz, atau da’i, yang sementara ujaran itu dikeluarkan oleh mereka yang belum bertashowur (memiliki gambaran secara utuh) dari pokok permasalahan, akan tetapi, langsung menjustifkasi.

Itulah potret terburu-buru dalam berdakwah yang memiliki potensi negatif. Ketika pengetahuan yang disampaikan belum lengkap atau tidak utuh, justru bisa menjadi suatu hal yang berbahaya. Sejauh sepengetauan penulis, jarang ditemukan seseorang penceramah, dai, atau ustadz layar kaca yang berani dan tidak malu mengatakan “saya tidak tahu” atau “saya belum tahu”. Sehingga hukum atau fatwa yang dikeluarkan tidak menjadi sembarangan.

Ada cerita menarik tentang bagaimana para kiyai sepuh dalam mengajarkan ilmu agama. Para kiyai sepuh tidak segan dan tidak malu mengakui tidak tahu ketika mengajar, dan meminta waktu untuk mencari tahu terkait materi atau pertanyaan yang diajukan. Beliau-beliau tidak terburu-buru menyampaikan materi atau jawaban dari pertanyaan tersebut. Tak jarang beliau-beliau mengarahkan penanya untuk bertanya kepada kiyai lain yang dianggapnya lebih tahu terkait masalah yang ditanyakan.

Ternyata apa yang dilakukan oleh para kiyai sepuh di atas juga telah menjadi tradisi di kalangan sahabat Nabi Muhammad. Kiyai Nawawi al-Bantani, dalam kitab Maraqil Ubudiyyah—pejelasan beliau terhadap kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali—menjelaskan bahwa salah satu ciri ulama akhirat—ulama’ yang dalam mencari maupun mengajarkan ilmunya karena Allah, bukan untuk kepentingan dunia seperti menumpuk harta, meraih jabatan ataupun popularitas semata—adalah tidak terburu-buru dalam berfatwa. Jika ada yang bertanya pada mereka tentang suatu hal, mereka tidak selalu memberikan jawaban, namun mengarahkan penanya untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu terkait pertanyaan yang diajukan.

Kiyai Nawawi al-Bantani mengutip beberapa riwayat. Diceritakan, Syuraih bin Hani’ bertanya kepada Siti Aisyah tentang mengusap sepatu kulit (khuf). Siti Aisyah tidak menjawab, namun menyuruh Syuraih menemui Ali bin Abi Tholib, karena Ali pernah bepergian bersama Nabi Muhammad. Diceritakan juga dari Sa’ad bin Hisyam bin Amir, yang bertanya kepada Ibnu Abbas terkait shalat witir yang dilakukan Nabi Muhammad. Ibnu Abbas juga tidak menjawab, namun menunjukkan orang yang menurut Ibnu Abbas adalah yang paling tahu tentang shalat witir Nabi Muhammad, yaitu Siti Aisyah.

Imran bin Haththan juga diriwayatkan pernah bertanya kepada Aisyah terkait sutera. Aisyah tidak menjawab, tapi menganjurkan Imran bertanya kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas juga tidak menjawab, dan mengarahkan Imran bertanya kepada Ibnu Umar, dan dijawablah pertanyaan Imran oleh Ibnu Umar.

Begitulah tata krama yang telah diajarkan turun temurun dalam menyampaikan ilmu atau ajaran agama. Salah satu syarat mencari ilmu adalah sabar, begitu pula dalam menyampaikan ilmu atau pengetahuan, seseorang harus  bersabar.

Tampaknya di era sekarang, kesabaran dalam menyampaikan ilmu agaknya tidak terlalu diperhatikan. Mungkin seperti seorang pemuda yang baru belajar Islam, lalu mengatakan bahwa nasionalisme tidak ada dasar agamanya, Pancasila itu harus diganti dengan khilafah, dan menyalahkan para ulama yang mendukung tegaknya NKRI, adalah salah satu contohnya.

Contoh-contoh yang lain masih banyak, apalagi di era ini, banyak orang yang tiba-tiba menjadi ahli agama, ahli politik, ahli sejarah dan ahli-ahli yang lain, yang serba tahu. Dari itu, menjadi penting untuk selektif dalam mengundang penceramah dalam acara pengajian, baik dalam peringatan hari besar, halal bi halal, atau lain. Bukankah berbahaya bagi umat, jika ternyata yang kita undang adalah penceramah jadi-jadian?

Zaim Ahya, penulis adalah Sarjana Tafsir Hadis UIN Walisongo Semarang.