Sebuah riwayat terkenal perihal ketawadhuan Imam Malik Ra mengingatkan saya pada betapa sungguh lebih utamanya adab ketimbang ilmu –atau dalam ungkapan lain: tingginya adab seseorang mencerminkan kedalaman ilmunya. Seseorang yang datang dari jauh bertanya suatu hukum kepada Imam Malik. Beliau menjawab, “Ma uhsinu bih, aku tidak tahu dengan baik hal tersebut.” Orang itu kembali mengajukan pertanyaannya sampai tiga kali dan Imam Malik tetap dengan jawabannya.
Mengapa Imam Malik yang masyhur, guru banyak orang alim di masanya, termasuk Imam Syafii Ra, memilih sikap demikian dibanding memberikan jawaban saja? Bukankah sangat mungkin baginya untuk menjawab dengan lebih umum, atau diluaskan, yang pada intinya lalu tersampaikan suatu jawaban kepada sang penanya? Bukankah memilih menjawab “saya kurang tahu” rawan mengancam reputasinya sebagai sang alim?
Saya kira tepat di titik inilah semua kita seyogianya belajar banyak kepada beliau ini. Ya, semua kita.
Ini adalah zaman di mana kita berkecenderungan untuk menjawab apa pun, mengomentari apa pun, bahkan hal-hal yang secara kompetensi keilmuan kita sendiri tahu betapa tak pahamnya kita. Ini adalah zaman eksis, bukan? Tujuan eksis acap lebih sering kita bela ketimbang bertulus kepada hati sendiri bahwa kita tak ahli dalam hal tersebut.
Tak hanya di sosial media, bahkan di panggung ceramah terbuka pun, model tanya-jawab spontan telah dirayakan begitu rupa, dengan menyeolahkan sang penceramah, sang ustadz, adalah sang ahli ilmu yang bisa menjawab segalanya tanpa kecuali. Ia berposisi “serba tahu” dan siap menjawab pertanyaan apa pun.
Saya tak merasa pola ceramah begitu sebagai kemaslahatan yang bersih dari risiko-risiko besar kemadharatan. Bukti besarnya risiko kemadharatannya, dari model taklim beginianlah kita belakangan ini kerap dihantam keriuhan, kontroversi, dan bahkan permusuhan.
Kiranya, demi kemaslahatan semua kita di negeri yang majemuk ini, sangat perlu bagi kita untuk berendah hati meneladani ketawadhuan Imam Malik tersebut yang tanpa ragu memilih berkata “Saya kurang tahu hal tersebut” ketimbang menempatkan diri serba tahu.
Dalam kitab kecil Washiyyatul Mushthafa, Rasulullah Saw berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Wahai Ali, orang alim itu memiliki tiga tanda, yakni berkata benar, meninggalkan keharaman, dan bertawadhu’.”
Saya ingin fokus kepada tanda tawadhu’ saja di tulisan ini. Apa itu tawadhu’?
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah dalam kitab Fathul Ghaib mengatakan: “Tawadhu’ adalah pintu rahmat yang dapat mematahkan pintu kesombongan dan tali ujub. Tawadhu’ adalah otaknya ibadah, puncak kemuliaan orang-orang yang zuhud, dan tanda orang-orang yang ahli ibadah. Tawadhu’ adalah sikap yang akan menentang sifat khianat, kesombongan, dan pengingkaran dari dan kepada hatinya.”
Berdasar nasihat Sulthanul Auliya’ ini, kita memahami bahwa tawadhu’ bermusuhan selalu dengan segala bentuk keangkuhan dan kesombongan –atas nama ilmu sekalipun. Tawadhu’ adalah semata kerendahan hati, berkah dari kesetiaan kepada hati yang murni, yang bersumber dari rasa takut kepada Allah Swt serta keyakinan yang haq bahwa hanya Allah Swt lah yang Maha Mengetahui dan diri ini hanya sang dhaif.
Dikarenakan selalu menyadari bahwa diri ini hanyalah makhluk yang fana, lemah, dan terbatas, logisnya kita tak pernah berani menempatkan diri sebagai “sang serba tahu” atau “serba ahli” lagi. Kita pun hanya akan bersetia kepada kejujuran hati karena keyakinan bahwa Allah Swt Maha Tahu segala apa pun yang terbetik di dalam hati, dengan berdasar pada ilmu-ilmu yang kita kuasai, bukan pada ambisi hawa nafsu untuk merayakan diri serba tahu.
Walhasil, kepada pertanyaan atau hal yang kita kurang tahu dengan baik tentangnya, enteng saja hati membunyikan alarm pengingat untuk tetap istiqamah bersetia kepada kebenaran atas dasar kompetensi ilmu. Enteng saja kita akan mengatakan “Saya kurang tahu….”
Bukan hanya itu bahkan.
Lebih jauh dan mendalam, setiap keputusan untuk menyampaikan sesuatu, menjawab pertanyaan, walaupun ahli tentangnya, niscaya akan selalu dibingkai dengan sebenar-benar asas-asas kemaslahatan belaka. Menimbang dengan saksama dampak maslahah yang akan ditimbulkan kemudian niscaya selalu menjadi bagian dari langkahnya. Jika terselip risiko madharat di dalamnya, niscaya dihindarinya atau dikemasnya ulang dengan kehati-hatian yang lebih presisi.
Dengan kata lain, dalam ungkapan terbalik, seseorang yang benar-benar berilmu dan tawadhu’ niscaya akan jauh dari denyar-denyar kesombongan hati merasa serba tahu dan abai pada risiko kemadharatan dari tuturan-tuturannya. Dengan modal tawadhu’nya yang mbalungi, ia hanya akan mengungkapkan kemaslahatan-kemaslahatan. Tidak selain-lainnya. Imam Suyuthi menasihatkan: “Min ‘alamatil faqih an yaqula wallahu a’lam bish shawab, di antara tanda orang yang faqih (ahlinya ahli) ialah gampang berkata Allah Swt lah yang lebih tahu….”
Inilah yang disebut bijaksana. Sang faqih, sang ulama yang haq.
Ilmu tanpa kebijaksanaan, tanda tak bersendikan ketawadhu’an, tanda tak selaras dengan nasihat Rasul Saw di atas, tiada lain adalah ilmu yang tak bermanfaat; bahkan ia bisa menjelma sumber bencana-bencana belaka. Kita telah diingatkan oleh Allah Swt: “Ara-aita man ittakhada ilahahu hawahu wa adhallahuLlahu ‘ala ‘ilmin, tidakkah engkau tidak memperhatikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, maka Allah Swt pun menyesatkannya dari ilmuNya….” Ada yang menafsirkannya sebagai “Allah Swt menyesatkannya dalam keadaan ia memiliki ilmu….”
Semoga Allah Swt senantiasa merahmati kita semua. Amin.
Wallahu a’lam bish shawab