Tauhid Rububiyah Bukan Alat Mengafirkan Muslim (Bagian 2-Habis)

Tauhid Rububiyah Bukan Alat Mengafirkan Muslim (Bagian 2-Habis)

Tauhid Rububiyah Bukan Alat Mengafirkan Muslim (Bagian 2-Habis)

Ibn Katsir dalam  tafsirnya menyatakan, “Tidakkah kamu takut menyembah kepada selain kamu dengan kebodohan dan pendapat kamu sendiri ?” Dari sini, ayat itu tidak sama sekali menunjukkan orang musyrik itu mentauhidkan Allah, justru ayat itu membuktikan kalau orang musyrik itu sebenarnya mengkhianati nurani mereka sendiri. Allah menyebut “tuhan-tuhan” kecil mereka sebagai nidd (penentang), dimana mereka mencintainya sudah sama dengan Tuhan.

Allah berfirman dalam surah al-Baqarah: 165,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Sebagian orang ada yang menyembah “tuhan-tuhan” selain Allah, mereka mencintainya selayaknya cinta mereka kepada Allah. Dan orang-orang yang beriman itu (sungguh) jauh lebih besar cintanya kepada Allah. Dan kalau orang-orang zalim itu melihat azab (mereka akan mengatakan) “kekuatan itu sesungguhnya hanya lah milik Allah dan Allah itu Azab-Nya sangat pedih”

Ibn Abi al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam al-Hanafi dalam karyanya Syarh al-‘Aqaidah al-Thahawiyah, adalah diantara yang menjelaskan pembagian tauhid menjelaskan seperti ini. Disadari atau tidak, sebenarnya klasifikasi tauhid yang beliau sampaikan adalah bagian dari pemahaman atas dalil-dalil Quran dan Hadis tentang bagaimana mentauhidkan Tuhan.

Klasifikasi itu sendiri adalah bagian dari penafsiran tentang tauhid seperti yang dibahas dalam ilmu kalam. Ini selayaknya pernyataan Ibn Taymiyyah dalam kitabnya al-Tis’inyyah – dan mungkin pada karyanya yang lain – yang mengatakan bahwa pemahaman tauhid yang dibawa oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam pemahaman yang mencampuradukkan antara pemahaman Mu’tazilah, mazhab yang lama “dilakoni” al-Asy’ari sebelum akhirnya meninggalkannya, dan pemahaman Kilabiyah dalam persoalan sifat Allah.

Jauh sebelum ada tokoh seperti Ibn Taymiyyah, di masa Abu al-Hasan al-Asy’ari sudah ada pihak yang menuduhnya dan ia membantahnya dalam karyanya Risalatun fi Istihsan al-Khawdh fi ‘Ilm al-Kalam (Risalah tentang Baiknya Mendalami Ilmu Kalam). Ia menjelaskan secara dialogis apa argumen-argumen yang membid’ahkan mereka yang menekuni ilmu kalam beserta bantahan-bantahan oleh al-Asy’ari. Fakta bahwa kenyataannya pemahaman tauhid juga bersifat dinamis dan bukan satu-satunya kebenaran adalah diantara kritik lain atas klasifikasi tauhid menjadi tiga ini.

Maka, tidaklah sepantasnya bagi kita mengatakan bahwa sebagian muslim hanya mengamalkan tauhid rububiyah dengan tuduhan bahwa mereka belum ibadah dengan bersungguh-sungguh mentauhidkan Allah. Apalagi sampai berakhir dengan pengkafiran. Rasulullah  Saw. bersabda yang diriwayatkan diantaranya oleh Imam Muslim, “Ketika seseorang mengkafirkan saudaranya sendiri, maka tuduhan tersebut akan kembali kepada salah-satunya.”