Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia memiliki keistimewaan-keistimewaan dan kelebihan-kelebihan, yang disebut maziyyah dan fadhilah, apabila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Keistimewaan yang dimilikinya bukan saja terletak pada kejadian fisik jasmaniahnya saja, tetapi juga pada kejadian ruhaniahnya.
Kesempurnaan dan kelebihan manusia dalam bentuk fisik telah banyak dikaji dan dijelaskan oleh berbagai disiplin ilmu, dalam berbagai uraian yang membandingkannya dengan makhluk lain. Akan tetapi kesempurnaan dalam kejadian ruhani masih sedikit pengetahuan yang secara tuntas menjelaskannya.
Dalam hal ini, ilmu psikologi dan tasawuf adalah dua disiplin ilmu yang biasa digunakan untuk membaca struktur keruhanian manusia. Khusus pada kejadian ruhaniahnya, manusia juga memiliki kelebihan-kelebihan yang luar biasa, yang tidak pernah dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.
Jika kita masuk pada kajian filsafat Islam, maka wilayah yang pas untuk dibicarakan pada titik ini adalah kata al-nafs, di mana terma tersebut digunakan untuk menunjukkan substansi ruhaniah manusia. Nafs yang ada pada diri manusia bagi para filsuf berarti daya berpikir.
Berdasarkan pandangan ini, maka tidaklah aneh apabila mereka (para filsuf) mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan al-nathiq (hewan yang berpikir). Di samping karena pandangan sebagaimana saya paparkan di muka, satu hal yang dibidik oleh tasawuf sebagai perangkat dari konsep ihsan, yaitu hati. Maka tidak heran jika kita memasuki wilayah tasawuf, seringkali kata-kata Tazakiyah al-Qalb (penyucian hati) kerap menghampiri telinga kita.
Menurut perspektif al-Ghazali, kalbu (hati) seringkali diistilahkan sebagai objek untuk menentukan diri seseorang dalam melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Oleh karenanya, kalbu diberi beban pertanggungjawaban terhadap apa yang diputuskannya. Dengan demikian, di samping akal, kalbu merupakan anugerah Tuhan yang sangat agung dan luhur, yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lain.
Dalam Islam, ada tiga konsep yang dalam ranah praktiknya harus sejalan seirama. Ketiga konsep tersebut adalah syariah, thariqah, dan hakikat. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan syariat, tarekat, dan hakekat. Syariat merupakan peraturan-peraturan Allah bagi manusia melalui para nabinya yang masih berupa teks, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Pengembangan dari syariat ini lahirlah ilmu fiqih dengan berbagai corak dan madzhabnya. Untuk menuju hakikat, yang disebut sebagai tasawuf akhlaki maupun tasawuf falsafi, memerlukan jalan yang disebut tarekat. Dengan demikian, tarekat adalah jalan yang ditunjuki oleh para ahli atau syaikh untuk orang-orang awam, dalam rangka menuju pada hakikat dari ajaran agama.
Jalan menuju hakikat yang disebut dengan tasawuf, baik falsafi maupun akhlaki, tidak selamanya harus melalui tarekat atau medote-metode yang ditetapkan oleh guru sufi atau mursyid, tetapi juga bisa ditempuh secara perseorangan apabila orang itu telah memenuhi persyaratan dan memiliki ilmu agama yang sangat mendalam pada berbagai aspeknya.
Bagi orang-orang awam, tidak mungkin sampai pada hakikat tadi, kecuali melalui bimbingan para guru atau mursyid yang kemudian bimbingan itu disebut dengan tarekat. Tarekat ini berkembang dari masa ke masa dengan berbagai aliran, seperti aliran-aliran fiqih yang berkembang dari syariat.
Tarekat menurut pengertiannya secara bahasa sangat banyak sekali, namun yang sesuai dengan tema catatan ini ada tujuh, yaitu (1) jalan, (2) petunjuk, (3) cara, (4) sistem atau al-uslub, (5) madzhab atau aliran, (6) keadaan atau al-haal, (7) tiang tempat berteduh. Sedangkan pengertian tarekat menurut istilah adalah metode khusus yang dipakai oleh para salik (penempuh jalan sufi) menuju taqarrub kepada Allah s.w.t. melalui tahapan-tahapan tertentu yang disebut dengan maqamaat.
Pada perkembangan selanjutnya, tarekat memiliki dua pengertian; (1) metode pemberian bimbingan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.. (2) sebagai wadah persaudaraan kaum sufi yang disebut dengan sufi’s brotherhood yang ditandai dengan lembaga formal, seperti zawiyah, ribath, khanaqah, dan sebagainya. Dari aspek lain, tarekat mempunyai tiga sistem, yaitu (1) sistem kerahasiaan, (2) sistem kekerabatan, dan (3) sistem hierarki, seperti khalifah tawajjuh, khalifah suluk, syaikh atau mursyid, wali atau Quthb.
Aliran-aliran tarekat yang berkembang sampai sekarang cukup banyak. Semuanya bersumber dari sayyidina Ali yang langsung kepada Nabi, dan sayyidina Abu Bakar yang juga langsung kepada Nabi. Tarekat-tarekat itu antara lain: (1) Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abd. Qadir al-Jilani, yang dikembangkan di Baghdad dan kemudian berkembang di seluruh dunia. (2) Tarekat Naqsyabandiyah, (3) Tarekat Rifa’iyah, (4) Tarekat Samaniyah, dan tarekat-tarekat lain yang merupakan perkembangan dari tarekat-tarekat tersebut, jumlahnya sangat banyak. []