Apakah benar Salafi menganggap bahwa demokrasi merupakan sistem yang sesat? Kalau begitu, apakah mereka pernah mengikuti pemilu? Kalau mereka tidak mau ikut pemilu, lantas bagaimana sikap mereka terhadap presiden atau pemerintahan yang notabenenya kalau di Indonesia dihasilkan lewat sistem demokrasi?
Jawab:
Syekh Al-Albani dan Syekh Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i pernah menuliskan sebuah risalah yang menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi adalah sistem yang sesat (thaghut). Mereka mempersepsikan demokrasi sebagai sistem dari Barat yang diinjeksikan ke dalam umat untuk menghancurkan Islam.
Mereka beranggapan bahwa sistem demokrasi tidak ditemukan dalil penegasannya dalam Al-Qur’an dan sunah sehingga mengangkat pemimpin dengan jalan demokrasi adalah sesat.
Beranjak dari pemahaman tersebut, banyak Salafi yang tidak mau ikut berpartisipasi dalam pemilu dan tidak juga mau untuk masuk ke dalam partai politik tertentu. Maka tidak heran jika hingga saat ini kita tidak akan bisa menemukan perwakilan Salafi di keanggotaan legislatif.
Namun faktanya di lapangan, pada pemilu 2014, beberapa ustadz Salafi kedapatan mempromosikan Pemilu dan mendukung salah satu calon presiden. Pada Pemilu 2019, di TPS dekat stasiun radio Rodja, Cileungsi, Bogor, banyak Salafi yang ikut mencoblos.
Pada tahun 2018, Dewan Pimpinan Pusat Al-Irsyad yang beraliran Salafi lewat surat bernomor 004/DFPA/VI/1439 mengeluarkan fatwa bolehnya ikut pemilu. Mereka berlandaskan pada fatwa-fatwa para syekh Salafi di Arab Saudi, seperti Bin Baz dan Salih Fauzan al-Fauzan.
Secara fikih, diperbolehkannya mengikuti pemilu ini adalah berdasarkan kaidah irtikab akhaff al-dararain (memilih yang paling ringan dari dua kemudaratan). Mereka memandang bahwa ikut pemilu akan mengurangi akibat-akibat buruk sistem demokrasi. Mereka merasa perlu untuk memilih pemimpin yang membawa maslahat.
Beranjak dari sini, kita akan menyaksikan paradoks dalam sikap Salafi. Satu sisi mereka menganggap demokrasi sebagai sistem yang sesat dan tidak islami. Namun di sisi lain, jika pemimpin sudah terpilih, maka mereka wajib menaati pemimpin tersebut yang mereka anggap sebagai ulil amri.
Salafi memandang ulil amri sebagai pemerintahan yang sah berkuasa meskipun bagi mereka pemerintahan tersebut tidak menjalankan syariat Islam secara kaffah. Bagi mereka, asalkan muslim di Indonesia masih dibebaskan untuk beribadah, maka wajib hukumnya menaati pemerintah.
Keterlibatan aktif Salafi dalam program-program pemerintah menunjukkan sikap mereka yang mengakomodir negara. Sebagai contoh, Salafi aktif dalam program vaksinasi Covid-19 yang digalakkan pemerintah. Sampai sejauh ini tidak ditemukan satupun penceramah Salafi yang menyuarakan penolakan terhadap vaksin. Dalam beberapa situsnya, mereka bahkan memperolok pandangan orang-orang Islam yang menolak vaksin dengan mengatasnamakan agama.
Paradoks Salafi lainnya ialah sebenarnya mereka menolak konsep negara-bangsa (nation-state) yang bagi mereka tidak ada panduannya dalam Islam. Namun di sisi lain, saking taatnya kepada ulil amri, mereka bahkan tidak mau melakukan demonstrasi jika dirasa ada kebijakan pemerintah yang merugikan bagi mereka. Bagi mereka, ada prosedur Islami yang digunakan untuk mengingatkan ulil amri, yakni dengan nasihat yang baik (mauidhoh hasanah).
Lebih terperinci, terkait dengan sikap Salafi terhadap ulil amri, Joas Wagemekers, seorang peneliti Salafi dari Radbound University Belanda memerinci Salafi dalam tiga model, yakni yang sepenuhnya menjauh dari dunia politik, yang loyal kepada pemerintah dan mendukung program-programnya, serta yang bahkan mempropagandakan bahwa taat kepada pemerintah adalah bagian daripada iman.
Dengan demikian, bisa kita pahami bahwa penerimaan Salafi terhadap demokrasi memang tidak bersifat mutlak. Keterlibatan mereka dalam Pemilu sifatnya hanya sebatas respon atas kekhawatiran mereka dengan kondisi Islam di Indonesia. Ketika menemukan fakta bahwa Islam di Indonesia masih bisa melakukan peribadatan dengan tenang, maka mereka sepenuhnya taat kepada pemerintah.
Mengaca pada karakteristik semacam ini, Wagemakers kerap menyebut mereka sebagai kelompok quietis, artinya orang-orang yang memilih diam dalam hal politik. Mereka cenderung acuh dengan politik, dan hanya menginginkan stabilitas kedamaian yang baik saja di Indonesia ini.
Orang-orang pendiam secara politis ini biasanya hanya tergerak apabila sedang merasa dalam kondisi yang terdesak. Meskipun cenderung apatis dalam persoalan politik, nyatanya bagi mereka, seseorang yang mati dalam membela negara adalah orang yang mati sahid. Pandangan ini mengacu pada fatwa Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz:
ولاشك أن الدفاع عن الدين والنفس والأهل والمال والبلاد وأهلها، من الجهاد المشروع، ومن يقتل في ذلك وهو مسلم يعتبر شهيداً؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد)
Artinya:
“Tidak diragukan lagi bahwasanya membela agama, jiwa, keluarga, harta, dan juga negara beserta penduduknya merupakan bagian dari jihad yang disyariatkan. Seorang muslim yang terbunuh di dalam upaya tersebut, dianggap mati sebagai syahid, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw: “Barang siapa yang terbunuh untuk agamanya, ia mati dalam keadaan syahid. Barang siapa yang mati terbunuh untuk mempertahankan hartanya, ia mati dalam keadaan syahid. Barang siapa yang mati terbunuh untuk keluarganya, ia mati dalam keadaan syahid, dan barang siapa yang mati terbunuh untuk jiwanya, ia mati dalam keadaan syahid.” (HR al-Tirmidzi)
Bagi mereka, ambisi politik adalah sesuatu yang tercela sehingga mereka enggan memiliki ambisi semacam itu. Oleh karenanya, mereka enggan untuk terlibat sebagai anggota partai politik apapun. Bagi mereka, politik diperlukan hanya untuk memastikan keamanan dan kenyamanan umat Islam yang ada di Indonesia.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT