Saya sering mendengarkan kajian yang menyatakan bahwa musuh utama Islam, khususnya Nabi Muhammad SAW ialah orang-orang Yahudi. Kabarnya, di akhir zaman nanti kita akan perang melawan Yahudi. Di Al-Qur’an, saya juga sering membaca ayat-ayat yang menyebutkan permusuhan kita dengan orang-orang Yahudi, dan bahkan kabarnya Nabi pernah memerangi orang Yahudi hingga memvonis mati banyak orang dari mereka. Sesungguhnya, bagaimanakah hubungan antara Nabi dengan orang-orang Yahudi?
Jawab:
Pada saat dakwah di Mekah, Nabi mendapati dua kekuatan kepercayaan yang sangat dominan waktu itu, yakni kaum Musyrikin para penyembah berhala yang hidup di Mekah, dan kaum Yahudi Nasrani atau biasa disebut sebagai ahlul kitab yang hidup di Madinah. Jika harus memilih antara keduanya, sesungguhnya Nabi Muhammad lebih suka bersahabat dengan ahlul kitab. Hal ini karena antara Islam dengan Yahudi dan Nasrani bermuara pada ajaran yang sama, yakni ajaran Nabi Ibrahim As.
Kecenderungan Nabi terhadap Ahlul Kitab ini tercermin misalkan pada kebahagiaan Nabi ketika menerima wahyu QS. Ar-Rum: 1-3:
الٓمٓ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ فِىٓ أَدْنَى ٱلْأَرْضِ وَهُم مِّنۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
Artinya:
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.”
Perlu diketahui bahwasanya pada saat itu, terjadi peperangan antara kerajaan Byzantium yang beragama pagan dengan kerajaan Romawi yang beragama Nasrani atau ahlul kitab. Mendengar bahwa meskipun awalnya kalah, namun akhirnya Romawi menang, Nabi bersuka cita karena kebanyakan penduduk Mekah saat itu banyak yang mendukung Byzantium mengingat mereka sama-sama penyembah berhala.
Keakraban Nabi dengan ahlul kitab juga bisa dilihat dari kesediaan mereka untuk menerima Nabi Muhammad Saw. berhijrah. Setelah sebelumnya upaya untuk hijrah ke Thaif menemukan jalan buntu, Nabi kemudian mendapatkan angin segar untuk bisa hijrah ke Yatsrib. Nama Yatsrib ini kemudian dirubah menjadi Madinah.
Terjadilah kerjasama yang saling menguntungkan antara Nabi dengan penduduk Madinah pada saat itu. Satu sisi Nabi mendapatkan tempat hijrah untuk ditinggali, dan di sisi lain, penduduk Madinah didamaikan dengan keberadaan Nabi. Sebelumnya, di Madinah selalu terjadi pertikaian antara dua aliansi besar yakni Nasrani kabilah Aus bersekutu dengan Yahudi Bani Quraizhah berperang dengan Nasrani kabilah Khazraj yang bersekutu dengan Yahudi Bani Nadhir.
Nabi berhasil mendamaikan semuanya. Nabi bahkan menuliskan sebuah perjanjian damai yang dikenal dengan nama Piagam Madinah yang menyatukan antara Islam, Yahudi dan Nasrani dalam satu negara, yakni Madinah. Semua perwakilan kelompok yang ada di Madinah turut menandatangani perjanjian tersebut. Abdurrahman Mas’ud dalam tulisannya, Menuju Paradigma Islam Humanis menyebutkan bahwa Nabi bahkan mengangkat sekretaris dari orang Yahudi agar mudah mengirim dan membaca surat berbahasa Ibrani dan Asiria. Namun karena orang tersebut berkhianat, akhirnya Nabi menggantinya dengan Zaid bin Tsabit.
Artinya, Nabi memberikan kesempatan yang terbuka kepada sesiapapun untuk berkiprah tanpa melihat latar belakang agamanya. Dalam pasal 16 Piagam Madinah bahkan disebutkan bahwa orang Yahudi berhak menerima pertolongan dan santunan sepanjang mukminin tidak terzalimi dan ditentang olehnya.
Kondisi damai terus bertahan di Madinah. Apalagi ditambah dengan keputusan Nabi yang menjadikan Madinah sebagai kota haram. Artinya, kota yang didalamnya diharamkan terjadi pertumpahan darah.
Hingga kemudian terjadi perang parit atau perang Ahzab, yakni ketika kota Madinah dikepung pasukan musuh kafir Quraisy dari Mekah. Nabi dan para Sahabat membuat parit yang melindungi kota dari serbuan tentara musuh. Mengacu pada Piagam Madinah, semestinya Yahudi Bani Quraizhah harus ikut mempertahankan kedaulatan kota. Namun, Huyai bin Akhtab dari kabilah Bani Nadhir menghasut Ka’ab bin Asad al-Quraiszi dari Bani Quraizhah untuk berhianat dan mendukung musuh.
Rahman al-Mubarakpuri dalam Sirah Nabawiyah menyebutkan bahwasanya saat itu pasukan Nabi yang sedang berjaga di sekeliling parit terkejut dan segera kembali ke kota Madinah begitu mendengar bahwa pasukan musuh bisa memasuki kota lewat jalur perkampungan Bani Quraizhah.
Nabi kemudian menerima wahyu untuk mengepung perkampungan Bani Quraizhah. 25 hari kemudian mereka menyerah. Nabi kemudian menghukum mereka sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab: 26:
وَأَنزَلَ ٱلَّذِينَ ظَٰهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا
Artinya:
“Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan.”
Apa yang sudah dilakukan oleh Bani Quraidhah ini ialah pengkhianatan yang tidak bisa diampuni. Mereka dengan jelas melanggar Piagam Madinah dimana pasal 44 menyebutkan: “Mereka pendukung piagam ini bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib (Madinah)”. Mereka terbukti dengan sengaja tidak membantu menanggulangi penyerang kota Yatsrib.
Bahkan dalam pasal 20 disebutkan: “Orang musyrik Yatsrib (Madinah) dilarang melindungi harta dan jiwa orang musyrik Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman”.
Dengan demikian, tindakan tegas yang dilakukan oleh Nabi terhadap Bani Quraizhah adalah akibat dari pengkhianatan yang telah mereka lakukan, bukan karena kepercayaan yang mereka anut. Dengan demikian, selama seorang Yahudi tidak berkhianat kepada kita dalam hidup bernegara dan berdampingan, maka Yahudi tersebut tetap tidak boleh kita musuhi. Sebaliknya, jika ada yang mengkhianati kedaulatan sebuah negara, maka sudah sepantasnya apabila ia atau mereka kita perangi.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT